Sinar Terang Erich Fromm di Tengah Upaya Peredupan

10 Oktober 2020
|
1406

Judul: Erich Fromm Psikologi Sosial Materialis yang Humanis | Penulis: Nur Iman Subono | Penerbit: Kepik Ungu + LabSosio UI, 2010 | Tebal: 176 halaman | ISBN: 978-602-95766-6-5

Buku Erich Fromm Psikologi Sosial Materialis yang Humanis yang ditulis oleh Nur Iman Subono, merupakan buku yang menarik untuk dibaca, terutama untuk peminat Teori Kritis secara umumnya, maupun peminat pemikiran Erich Fromm secara khususnya.

Buku tersebut menyajikan gambaran secara umum mengenai Teori Kritis, dan menyajikan gambaran yang komprehensif mengenai pemikiran Erich Fromm, serta menyinggung juga latar belakang kehidupan Fromm yang sudah barang tentu turut membentuk pemikiran Erich Fromm itu sendiri.

Selain itu, buku tersebut pun menyajikan dinamika konflik di dalam Mazhab Frankfurt, dan yang tidak kalah penting, menyajikan juga komparasi antara tradisi Freudian dan Marxisme yang juga memengaruhi pemikiran Erich Fromm, seorang tokoh yang dibahas dalam buku biografi pemikiran ini.

Erich Fromm hidup pada 1900-1980. Karya klasiknya, yakni Escape from Freedom (1941) dan The Art of Loving (1956). Erich Fromm sendiri berkebangsaan Jerman, kemudian pindah ke Amerika setelah Nazi menguasai Jerman dan Fromm kemudian berkewarganegaraan Amerika.

Erich Fromm yang dikenal luas berlatar keilmuan psikologi sosial ini adalah salah satu tokoh Teori Kritis (Mazhab Frankfurt) generasi pertama, di samping nama-nama tenar lainnya, seperti Theodor W. Adorno (filsuf, musikolog), Max Horkheimer (filsuf, sosiolog), Herbert Mercuse (filsuf), Friederick Pollock (ahli ekonomi) dan sebagainya (hlm. 35). Oleh sebab itu, mengingat latar belakang keilmuan para tokoh Teori Kritis yang beragam ini, Teori Kritis dicirikan sebagai kajian interdisipliner.

Nur Iman Subono menjelaskan, tugas Teori Kritis adalah menciptakan teori perubahan sosial dan membawa pembebasan bagi manusia dalam masyarakat. Di satu sisi, ia mempunyai misi membangkitkan kesadaran kritis masyarakat; dan di sisi lain, ia mendorong serta menyempurnakan konsepsi masyarakat alternatif yang bebas dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan (hlm. 34).

Berdasarkan catatan K. Bertens dalam buku Sejarah Filsafat Kontemporer Jerman dan Inggris (2014) dikatakan bahwa kemunculan Teori Kritis ini tidak bisa dilepaskan juga salah satunya sebagai bentuk reaksi terhadap positivisme logis, terutama dengan adanya Lingkaran Wina. Adapun Teori Kritis didirikan pada 1923 oleh Felix J. Weil.

Pembahasan di dalam buku, dimulai oleh penulisnya dengan ungkapan yang cukup provokatif, bahwa Erich Fromm adalah pemikir penting bagi Teori Kritis, meskipun dalam perkembangan diskursus Teori Kritis itu sendiri, namanya tenggelam atau bahkan sengaja ditenggelamkan.

Simpulan Subono bisa dikatakan provokatif, mengingat sebagaimana yang dikutipnya sendiri, bahwa Horkheimer saja yang dianggap salah satu tokoh terpenting dalam Teori Kritis, menganggap keterlibatan Erich Fromm di dalam Teori Kritis “kurang dekat” (less close) (hlm. 35). 

Apa yang diungkapkan Subono jelas beralasan, mengingat dalam perkembangan Mazhab Frankfurt, Fromm terlibat konflik dengan tokoh-tokoh penting Mazhab Frankfurt. Konflik tersebut bermula saat Fromm mengkritik beberapa konsep penting dari pemikiran Freud, yang kemudian kritik-kritik Fromm ini dianggap salah kaprah oleh Adorno dan Mercuse.

Sementara itu, Horkheimer mengambil posisi yang memihak Adorno dan Marcuse. Penting untuk diketahui, bahwa konflik antar kedua kubu ini tidak hanya bersifat intelektual, namun sarat akan kepentingan pragmatis dan politis juga (hlm. 36-37).

Lalu mengapa dikatakan bahwa sebenarnya Fromm adalah pemikir yang berkontribusi penting bagi Mazhab Frankfurt? Jawabannya, karena Fromm menulis mengenai sintesa antara Marxisme dan Psikoanalisa.

Melalui The Development of the Dogma of Christ (1931), Fromm memaparkan bahwa Marxisme membutuhkan Psikoanalisa untuk mempertajam kritik ideologi Marx. Bagi Mazhab Frankfurt, karya Fromm tersebut adalah contoh nyata dari upaya untuk mengintegrasikan atau menyintesakan ajaran Freud dengan Marx (hlm.82). Upaya dan pemikiran Fromm, tentu sejalan dengan keinginan Horkheimer agar memasukkan psikoanalisis dalam tradisi Teori Kritis.

Dalam khazanah Teori kritis sendiri, salah satu ciri khas utamanya yakni upaya untuk menyintesakan pemikrian Karl Marx dengan Sigmund Freud untuk menghasilkan sebuah teori yang menjembatani antara jiwa (psyche) dan masyarakat (society), sesuatu yang sebelumnya diabaikan oleh Marxisme tradisional.

Fromm berjasa besar dalam konteks tersebut, yang kemudian disebut sebagai psikologi sosial materialis sebagaimana yang ditulis oleh Fromm dalam Jurnal Penelitian Sosial (hlm. 36).

Penting untuk dicatat, bagi Erich Fromm, ia berpandangan bahwa analisis psikologi sosial mampu memperlihatkan bagaimana struktur sosial-ekonomi memengaruhi dan membentuk perlengkapan naluri dan insting, baik kepada individu maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat (hlm. 93). Karena itu, Fromm percaya bahwa kedua tradisi pemikiran tersebut dapat disintesakan.

Menurut Subono, sumbangan Fromm terhadap Teori Kritis menyerupai apa yang telah dilakukan para teoretisi Mazhab Frankfurt secara umumnya. Mengutip George Ritzer, sedikitnya ada dua kontribusi Fromm, yakni perumusan kembali subjektivitas dan dialektika (hlm. 151).

Selain terpengaruh oleh Marxisme dan Freudian, Fromm pun terpengaruhi juga oleh pemikiran eksistensialisme dan Weberian (hlm. 143-147). Pemikiran Fromm dianggap mengandung berbagai permasalahan dan menghadirkan berbagai macam kritik, salah satunya yakni pemikiran Fromm dianggap bersifat elektik (hlm. 159).

Bila kita cermati bagaimana derasnya kritik terhadap Fromm, maka pemikirannya seakan seperti hasil dari sebuah perselingkuhan yang kehadirannya tidak pernah diinginkan, baik dari kalangan Marxisme maupun Freudian itu sendiri.

Tetapi yang menarik, Fromm tetap bisa menunjukkan sinar terangnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Peter Beliharz dalam buku Teori-Teori Sosial (2002), bahwa Fromm bukan hanya sebagai pemikir yang terkenal, tetapi sebagai pemikir yang berpengaruh juga di Amerika Serikat (hlm. 138).

Saya kira akan lebih menarik bila penulis buku lebih mengelaborasi hal tersebut. Artinya, menggalih alasan-alasan yang menyebabkan di tengah upaya pemarjinalan Fromm tetapi mengapa Fromm tetap dianggap pemikir yang penting dan berpengaruh, dan hal tersebut dapat juga menjadi saran bagi peneliti lain yang berminat mengkaji pemikiran Fromm lebih lanjut.

Buku Erich Fromm Psikologi Sosial Materialis yang Humanis ditutup dengan menimbang relevansi pemikiran Fromm dalam konteks Indonesia.

Salah satunya, yakni saat Fromm menyoroti berbagai macam kemajuan yang dialami masyarakat kapitalis modern seringkali dijadikan sebagai keberhasilan manusia dalam menyelesaikan persoalan yang ada, tetapi di saat bersamaan, ada berbagai macam persoalan seperti bunuh diri, narkoba, dan sebagainya, atau dengan kata lain yang menyangkut kesehatan mental, dan Subono mengungkapkan apa yang dikemukakan oleh Fromm tersebut terjadi juga di Indonesia (hlm. 164-166).

Sebagai catatan, saya pikir menimbang relevansi pemikiran Fromm dalam konteks kekinian atau meninjau relevansinya dalam konteks kehidupan di Indonesia, bisa dijadikan perhatian khusus bagi peneliti selanjutnya yang berminat mengkaji Fromm, mengingat pembahasan Subono memberikan porsi yang minim untuk pembahasan tersebut dalam buku karyanya ini.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Cusdiawan

Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran