Seni Mengelola Masalah Hidup
Hampir setiap orang, untuk mengatakan “Aku baik-baik saja”. Nyatanya itu tidak semudah yang diucapkan. Berbagai problem yang dihadapi masing-masing orang memiliki intensitas dan kapasitas berbeda. Sakit mental sering dikatakan berbahaya dibanding sakit fisik. Sakit fisik mudah diketahui dan diagnosa berikut penyembuhannya. Namun sakit mental sangat berbeda. Keberadaan dan kehadirannya hanya dirasakan oleh pribadi masing-masing.
Setiap orang memiliki masalah, tetapi di antara mereka memiliki cara yang berbeda saat menyikapi serta menemukan solusi permasalahannya. Sebagai bentuk luapan emosi, sakit mental sering kali diekspresikan dengan menangis, marah, atau bahkan lainnya. Hal yang lebih tragisnya lagi, mereka menyakiti diri sendiri atau memilih mengakhiri hidupnya sendiri.
Berdasarkan data Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJKN) pada 2019, Indonesia memiliki tingkat kasus bunuh diri yang tinggi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat bahwa lebih dari 16.000 kasus bunuh diri setiap tahun terjadi di Indonesia.
Dari kasus tersebut, akhirnya banyak para ahli menyebutnya seperti fenomena gunung es, yang tampak di permukaan hanya bagian kecil dari kasus yang lebih besar. Kondisi psikis atau mental diri yang terganggu, sering menimbulkan trauma. Trauma yang kita sadari bahwa ia sangat mengganggu kondisi diri.
Dari paparan data kasus tersebut, kita tidak pernah menyadari atau bahkan tidak sempat jauh berpikir, misalnya hal demikian terjadi di lingkungan kita. Penyebab itu semua tidak dapat dihakimi sebagai kesalahan sendiri. Bisa jadi lingkungan yang menyebabkan ia memilih jalan demikian.
Bunuh diri merupakan salah satu ekspresi kekecewaan yang mendalam, sakit hati, dan lainnya yang akhirnya menyebabkan seseorang memilih mengakhiri nyawanya sendiri. Karena itu, untuk meminimalisir melonjaknya angka kasus bunuh diri, maka seseorang penting memaksimalkan kecerdasan Adversity Quotient (AQ) atau kecerdasan saat menghadapi kesulitan
Adversity Quotient sebagai Solusi
Selain IQ, EQ, SQ, ada pula AQ atau lebih dikenal dengan Adversity Quotient. Adversity Quotient dikenalkan oleh salah satu tokoh intelektual dari negara Barat, yang bernama Paul G. Stoltz yang melakukan hasil penelitian tentang penentu kesuksesan seseorang. Ia menemukan bahwa AQ merupakan salah satu penentu hal tersebut. AQ merupakan salah satu ukuran kemampuan seseorang dalam mengelola, menerima, dan merespons masalah dalam dirinya.
Melalui kemampuan mengelola masalah yang dialaminya, seseorang mampu membaca tantangan atau masalah diri menjadi peluang. Hal ini menjadi salah satu ciri seseorang yang memiliki kemampuan mengelola masalah dalam dirinya sendiri. Dari masalah, ia mampu berkembang dengan baik, cepat move on, dan menemukan solusi dari masalah hidupnya.
Hingga detik ini, kemampuan mengelola masalah mendapat perhatian lebih dalam di dunia pendidikan. Usaha mencerdaskan anak bangsa dengan diimbangi kemampuan AQ dapat melahirkan generasi yang bermental kuat dan cerdas membaca permasalahan. Karena itu, untuk membaca atau menelisik AQ, Stoltz memberikan ciri-ciri individu yang memiliki kemampuan tersebut.
Pertama, Quitters. Ciri ini merupakan ciri individu yang memiliki kemampuan yang biasa saja, biasanya mencari aman, dan berhenti jika menghadapi masalah. Artinya seseorang dalam kategori ini mencari aman dan cenderung tidak kreatif. Kedua, Campers, yaitu individu yang pernah berusaha menghadapi masalahnya sendiri. Biasanya, ciri orang ketika dihadapi masalah, ia cenderung berhenti dan tidak melanjutkan apa yang menjadi proyeksinya. Ketiga, Climbers, yaitu tipe orang yang membaca permasalahan sebagai tantangan. Ia akan berusaha keras untuk melalui tantangan itu hingga akhirnya mencapai keberhasilan (Hasan Baharun, dkk. 2019: 135).
Sering di antara kita merasa terpuruk dengan keadaan. Menjadi down oleh masalah. Namun bila kita mampu menghadapi permasalahan sebagai sebuah peluang, dalam pandangan Stoltz merupakan langkah terbaik untuk membuat diri menjelma menjadi pribadi dengan hal-hal yang lebih baik lagi di masa depan.
AQ Faktor Kesuksesan
Hasil penelitian dari Stoltz menyebutkan bahwa kemampuan AQ dapat memacu kesuksesan seseorang. Bagaimana itu bisa terjadi? Secara definisi, kesuksesan memiliki makna subjektif dan sangat sensitif. Ada yang menyebutkan sukses itu ketika seseorang mencapai hidup nyaman. Ada pula yang mengategorikan ketercapaian materi atau bersifat keduniawian, semisal hidupnya tidak susah dan dalam kemewahan. Ada pula yang memahaminya sebagai tercapainya suatu impian, misal mengimpikan memiliki pasangan yang sudah lama diidam-idamkan.
Perbandingan seseorang memiliki kecerdasan IQ dan AQ. Kecerdasan intelektual cenderung membuat orang hanya pintar di bidang pengetahuan, ia mampu mengaitkan teori-teori pengetahuan hasil belajarnya. Orang semacam itu sering diistilahkan ‘kamus berjalan’ yang artinya menjadi sumber atau tumpuan pengetahuan. Berbeda dengan orang yang memiliki kecenderungan dalam AQ. Kemampuan AQ cenderung membuat pribadi seseorang tetap tenang meski dihantam oleh masalah yang dihadapi (Mohd Effendi, dkk.: 2016). Ketenangan mental dan kemampuan mengelola emosi biasanya dimiliki oleh orang tersebut.
Inilah yang menyebabkan orang yang berkemampuan AQ memiliki kapasitas berbeda dalam mengelola masalah. Ia mempersiapkan diri ketika dihadapi masalah dan mampu bersikap tenang serta dapat mengontrol diri dan mengelola emosi. Oleh karena itu, inilah yang menurut Stoltz menjadi penyebab orang yang memiliki AQ dapat memacu kesuksesan pribadi. Pada dasarnya, kemampuan mengelola emosi, kontrol diri merupakan basis dari segala hal, termasuk proses membuat keputusan.
Ada banyak manfaat yang didapat bagi seseorang yang memiliki AQ tinggi. Jika mampu mengelola diri dan emosinya, ia bisa kreatif, terus produktif berkarya, memiliki motivasi tinggi, selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik meski masalah yang dihadapi sangat pelik, selalu melakukan perbaikan, meminimalisir stres dalam hidup, dan memiliki daya saing tinggi. Sebab, apa pun yang terjadi dalam hidupnya, ia bisa kokoh sebab telah mengenal dan mampu menguasai dirinya sendiri.
Selain itu, AQ tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri. Seseorang yang AQ-nya tinggi juga mampu menulari kebaikan-kebaikan lainnya terhadap lingkungan. Senyatanya, kita krisis orang yang ber-AQ tinggi di lingkungan kita. Kita bisa membuktikan sendiri perbedaan ketika berada di tengah-tengah orang yang hidupnya dipenuhi hal-hal baik, prasangka baik, dan selalu semangat dalam hidup, dibanding dengan orang yang selalu mengeluh, mudah menyerah dan seakan merasa hidup tidak lagi memihaknya.
Dari kedua hal itu, apakah berdampak terhadap diri sendiri? Jawabannya jelas berpengaruh besar. Teori dari John Locke yang menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya ibarat kertas putih yang bersih. Suatu pengibaratan yang jelas dan cukup kuat. Setiap hal dalam diri merupakan punya pengaruh dari internal dan eksternal. Kita boleh memilih dan berada di lingkungan mana saja.
Kemampuan mengontrol diri atau memimpin diri sendiri dan tidak membiarkan emosi menguasai, merupakan senjata awal orang-orang sebelum bertanding atau melawan segala hal yang berada di luar dirinya. Inilah alasan AQ penting ditanamkan oleh kepada anak sejak dini. Karena untuk hidup dan bertahan ketika menghadapi masalah, penting dimiliki oleh masing-masing orang. Menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah adalah kunci menuju sukses dalam hidup dan meraih impian.
Referensi
Hasan Baharun dan Syafiqah Adhimah, “Adversity Quotient: Complementary Intelligence in Establishing Mental Endurance Santri in Pesantren,” Islam Futura, Vol. 19 No. 1, Agustus 2019.
Mohd Effendi, Ewan Mohd Matore, Ahmad Zamri Khairani, “ Correlation between Adversity Quotient (AQ) with IQ, EQ and SQ Among Polytechnic Students Using Rasch Model,” Indian Journal of Science and Technology, vol. 9, December 2016.
Category : buletin
SHARE THIS POST