Seni Mendidik Anak Maria Montessori

slider
18 Juli 2023
|
1038

Musabab seorang anak tidak pernah bisa memilih lahir dari orang tua semacam apa, maka tugas orang tua mendidik anak sebaik mungkin. Hadis terkenal dari Nabi Muhammad Saw menyatakan bahwa seorang anak terlahir dalam keadaan fitrah. Dikatakan bahwa kedua orang tualah yang dapat menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Pastinya pemahaman terhadap hadis ini tidak eksklusif hanya dalam konteks pilihan keimanan. Namun dapat ditarik ke dalam konteks yang lebih luas, misalnya soal determinasi orang tua atas anak. Bagaimana orang tua menjadi figur determinan dalam pembentukan seorang anak?

Di sekolah, misalnya, bagaimana posisi determinan tersebut diambil alih guru. Dengan posisi determinan orang tua (guru juga) atas anak, penting kiranya memerhatikan bagaimana pola pendidikan yang ideal. Pola pendidikan yang salah akan berakibat fatal untuk anak ke depannya.

Apalagi usia enam tahun pertama adalah masa terpenting dalam perkembangan seorang anak. Pertumbuhan anak ke depannya ditentukan oleh pola pengasuhan yang ia terima rentang waktu 0-6 tahun.

Membahasa pendidikan anak, kurang afdal kalau tidak menyebut nama Maria Montessori, seorang dokter, ilmuan, serta pendidik. Ia lahir dan besar di Italia dan menekuni profesi sebagai dokter. Montessori menaruh konsentrasi pada problem anak dengan keterbelakangan mental. Klaimnya bahwa kebanyakan persoalan mental pada anak disebabkan oleh orang dewasa.

Kepedulian Montessori termanifestasikan pada pendirian sekolah yang secara eksklusif dikhususkan bagi anak yang susah belajar. Tidak heran kalau Montessori punya cara dan metodenya tersendiri yang ia kembangkan dalam pendidikannya.

Mula-mula pola pendidikannya berjangkar pada kepercayaan bahwa anak kecil bukan semata tubuh, ia memiliki potensi. Potensi yang ada dalam diri anak inilah yang harus dikembangkan. Setiap anak memahami diri mereka sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.

Dengan demikian, metode Montessori mempunyai strategi dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk bergerak sebebas mungkin. Melakukan eksperimen-eksperimen, membuat kesalahan lalu memperbaikinya.

Ringkasnya, tidak ada pola mendikte terhadap anak, ia dibiarkan bebas dengan gerakannya sendiri.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa usia enam tahun pertama merupakan masa paling menentukan anak. Karenanya, pada masa-masa tersebut anak dengan cepat menangkap segala sesuatu.

Anak dapat mengembangkan dengan lekas pemahaman terhadap budayanya, lingkungannya, hingga kepribadian mereka sendiri. Inilah fase yang dalam bahasa Montessori disebut absorbent mind.

Dari periode absorbent mind kemudian dilanjutkan ke periode sensitif (sensitive periods). Fase ini mempunyai karakter semacam fokus yang intens, komitmen pada tugas, hingga konsentrasi yang lama.

Periode sensitif melingkupi enam aspek dalam diri anak-anak. Pertama, periode sensitif terhadap keteraturan. Anak-anak sangat sensitif terhadap keteraturan dan beranggapan bahwa kehidupan di luar rahim amat menakutkan.

Pada titik ini, orang tua harus membantu anak menghadapi keteraturan. Hanya dengan begitu anak-anak akan merasa dunia sebagai tempat yang nyaman.

Kedua, periode sensitif bergerak di mana pada fase tersebut anak akan aktif dalam bergerak. Kemampuan motorik anak akan semakin terasah dan akan lebih maksimal pada proses belajar tahap berikutnya.

Ketiga, periode sensitif terhadap benda kecil yang ditandai dengan hasrat ingin tahu terhadap benda-benda kecil. Anak-anak pada fase ini sangat terobsesi untuk merasakan benda-benda kecil yang dapat dijangkaunya.

Kemudian dilanjutkan dengan periode sensitif terhadap bahasa sebagai aspek keempat. Di antara tandanya adalah kemampuan anak dalam mendengar hingga menirukan kosakata yang telah didengarnya. Pada fase inilah, anak-anak akan mudah mengikuti ucapan-ucapan orang di sekitarnya.  

Kelima, periode sensitif dalam bersosialisasi yang umumnya ditandai dengan pengenalan anak terhadap orang-orang di sekitarnya.

Periode sensitif yang terakhir, yakni eksplorasi sensorial. Salah satu tanda fase ini adalah ketertarikan anak dalam menjelajah atau melakukan kegiatan yang menggunakan kelima indranya.

Seterusnya, Montessori menekankan pada pendidikan yang menyeluruh terhadap potensi anak. Maksudnya, setiap potensi yang ada dalam diri seorang anak harus diperhatikan secara holistik.

Montessori juga menekankan bagaimana pembelajaran dipersonalisasikan untuk setiap anak sesuai dengan minat, kebutuhan, hingga perkembangannya.

Setelahnya, inilah yang paling penting yakni freedom of movement and choice. Sebagaimana telah disinggung di awal bahwa pendidikan anak dalam pandangan Montessori berjangkar pada poin pemberian kebebasan.

Pembelajaran terbaik bagi anak tatakala mereka dibiarkan bebas dengan pilihannya. Dalam belajar anak dibiarkan bebas di lingkungan yang sudah dipersiapkan (prepared environment) sebelumnya.

Lingkungan ini memang sengaja dirancang untuk memantik anak mengembangkan proses berpikir logis. Jelas bahwa teknik pendidikan anak oleh Montessori cenderung menekankan keaktifan anak. Langkah seperti ini berupaya untuk memunculkan hasrat belajar dari dalam (intrinsic motivation).

Lalu, apa kemudian tujuan pendidikan dalam tesmak Montessori? Tidak lain bahwa pendidikan dimaksudkan sebagai sarana untuk kemandirian. Atas dasar pandangan semacam ini maka perlu disiapkan lingkungan, materi, hingga bimbingan untuk belajar secara mandiri.

Seorang anak diposisikan sebagai pembelajar alami yang mampu belajar dengan sendirinya. Hanya saja, penting untuk dicatat, hal tersebut bisa efektik ketika anak diberi stimulus yang tepat. Kemandirian juga menjadi penting untuk kehidupan anak seterusnya.

“Anak yang tidak pernah belajar untuk bekerja sendiri, menetapkan tujuan untuk tindakannya sendiri atau menjadi tuan dari kekuatan kehendaknya sendiri dapat dikenali pada orang dewasa yang membiarkan orang lain mengarahkan kehendaknya dan merasa selalu membutuhkan persetujuan orang lain” ungkap Montessori dengan lugas.

Bahasa sederhananya, anak yang tidak mandiri pada saat dewasa tidak punya pendirian dan tidak mampu memilih. Konklusinya, seni mendidik ala Montessori adalah membebaskan anak, membiarkan anak merdeka dan bertanggungjawab atas pilihannya sendiri.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Moh. Rofqil Bazikh

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meski bukan pembaca yang rajin, ia menaruh minat pada kajian keislaman dan usul fikih. Tulisan-tulisannya telah tersebar di berbagai media cetak dan online. Bermukim di Sapen, Sleman, Yogyakarta.