Seni Bertauhid Imam al-Junaidi al-Baghdadi
Imam al-Junaid Al-Baghdadi memiliki nama asli Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri. Ia lahir di Baghdad.
Para ulama menyatakan pendapat berbeda tentang tahun kelahirannya. Beberapa ada yang menyatakan tahun 215 Hijriyyah, dan tahun 210 Hijriyyah menurut pendapat lainnya.
Ia tumbuh dan berkembang di Baghdad. Ia keturunan dari warga Nihawand, asal nenek moyangnya. Kota Nihawand merupakan daerah pegunungan yang keras, salah satu daerah di Provinsi Jibal, Persia.
Sepeninggal ayahnya ia tinggal dan sesekali belajar kepada pamannya, Sari as-Saqati. Imam al-Junaid menempuh pendidikan di berbagai tempat.
Awalnya ia belajar fikih dan hadits kepada pamannya, kemudian ia pergi merantau untuk mendalami ilmu fikih dan hadits di Majlis al-Harits al-Muhasibi. Setelah meguasai bidang ini, ia mengamalkannya dengan cara tekun beribadah. Melalui pengalaman itulah, lamat-lamat ia mulai mengenal dan mendapat pengetahuan tentang tasawuf.
Setelah berkenalan dan mempelajari ajaran tasawuf dari gurunya, Imam al-Junaid berhasil mengawinkan pemikiran tasawuf dan syari’at Islam. Di samping itu pula ia menyadari bahwa tasawuf tidak bisa dipisahkan dengan fikih. Keduanya saling melengkapi.
Dalam kehidupan manusia, tasawuf memiliki hubungan yang dekat karena menjadi jalan bagi manusia untuk selalu berdekatan dengan Maha Pencipta (Nadia Febrianti, dkk., 2019). Bahkan ajaran tasawuf Imam al-Junaidi banyak menginspirasi masyarakat Indonesia karena dinilai memiliki muatan yang moderat, masuk akal, dan sesuai dengan kondisi faktual yang ada (Republika.co edisi 20 Agustus 2020).
Dalam perjalanan hidupnya, kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan terbilang cukup besar. Ia mendalami banyak keilmuan dan menguasainya dengan baik. Dari keilmuan tersebut ia kemudian menulis dengan orientasi untuk menyebarkannya supaya dapat dibaca dan dipahami oleh generasi selanjutnya.
Karya-karyanya menurut Al-Hujwiri dalam Kitab Kasyf al-Mahjub meliputi Kitab Amtsal al-Quran, Kitab Rasail, serta Tashihul Iradah.
Ada juga yang berpendapat beberapa karyanya yang telah lenyap di antaranya Tashih Iradah, Kitab al-Munajat, Muntakhab al-Asrar fi Shifat ash-shiddiqqin wa al-abrar, Hikayat, al-Mufarriqat, al-Ma’tsurat’an al-Junaid wa asy-syibli wa abi Yazid al-Bisthami.
Selain itu, terdapat pula karya-karya yang diduga karya Imam al-Junaid, di antaranya Risalah Abu al-Qasim al-Junaid ila Yusuf bin al-Husain, Risalah fi al-Syukr dan Risalah fi al-Faqah, Kitab al-Qashd ila Allah, Ma’ali al-Himan, dan As-Sirr fi Anfas ash-Shufiyyah (Ali Hassan Abdel Kader:2018).
Karya-karya di atas menjadi indikasi dari keluasan dan kecintaan Imam al-Junaid terhadap ilmu pengetahuan. Ia berguru kepada seseorang yang sanad keilmuannya terpercaya. Mendapat keberkahan dari setiap doa yang mengalir dari guru-guru serta keikhlasannya sendiri dalam menuntut ilmu. Pengalamannya tersebut dapat kita teladani sebagai salah satu kunci sukses dalam menyelami luasnya ilmu pengetahuan.
Tauhid Imam al-Junaid al-Baghdadi
Menurut Imam al-Junaid, tauhid menjadi gagasan yang tidak bisa dijelaskan secara menyeluruh karena di dalamnya tercakup pengetahuan yang luas dan mendalam. Butuh nalar yang kritis dan keilmuan yang banyak untuk memahami tauhid.
Kendati demikian, Imam al-Junaid memberikan keterangan berdasarkan konsep tauhid yang dapat dipahami oleh semua orang. Bersumber dari perkataannya, “Tauhid adalah pemisah antara yang dahulu dengan yang kini.” Maksud dari perkataan tersebut tersirat beberapa makna.
Pertama, bersandar pada esensi Allah dan mengabaikan esensi yang lain.
Kedua, bersandar pada Allah dan mengabaikan seluruh sifat yang lain.
Ketiga, memisahkan perbuatan, maksudnya memisahkan perbuatan Allah dan mengabaikan seluruh perbuatan yang lain. Bertauhid kepada Allah artinya menyandarkan segala hal yang terjadi termasuk setiap persoalan dan segala sesuatu tanpa memiliki kekhawatiran atau ketakutan kepada daya-daya dari selain Allah (Ali Hassan Abdel-Kader: 2018) .
Pendapat Imam al-Junaid tentang tauhidnya ini mengundang banyak perdebatan tokoh muslim lainnya. Ibnu Taimiyah misalnya. Ia mengatakan, “Apa yang dikatakan al-Junaid mengenai yang kekal dan ciptaan merupakan petunjuk bagi banyak sufi agar tidak tersesat dalam kekeliruan yang menyesatkan.”
Sedangkan Ibnu Arabi membantah perkataan al-Junaid dengan memberi terang, “Wahai al-Junaid siapakah yang bisa membedakan dua hal, kecuali dia sendiri bukan salah satunya.” Namun Ibnu Taimiyah menanggapi komentar tersebut dan menyatakan bahwa Ibnu Arabi salah dan al-Junaid benar.
Selanjutnya, Imam al-Junaid mengklasifikasikan tingkatan-tingkatan para Muwahhidun. “Ketahuilah bahwa dalam ilmu tauhid terdapat empat tingkatan, pertama tauhid orang-orang awam, tingkatan kedua tauhid orang-orang yang menguasai pengetahuan agama, kemudian tingkatan ketiga dan keempat tauhidnya orang-orang yang terpilih yang memiliki pengetahuan esoteris (ma’rifat).”
Pertama, tingkatan tauhid orang awam terletak dalam penegasan mereka atas keesaan-Nya dan penolakannya terhadap seluruh konsepsi tentang teman, musuh, sekutu, dan segala sesuatu yang mempersamakan Allah. Namun mereka masih memiliki harapan dan ketakutan kepada selain Allah.
Kedua, tingkatan tauhid orang-orang yang menguasai ilmu agama yang di dalamnya terkandung penegasan atas keesaan-Nya.
Ketiga, tingkatan tauhid esoteris jenis pertama memuat kesadaran kehadiran Allah dalam dirinya dengan segala kemahaan-Nya. Pada tingkatan ini manusia sudah mampu mengimplementasikan tauhid dalam keseharian.
Keempat, tingkatan tauhid esoteris jenis kedua merupakan tingkatan seorang hamba yang meraih wujud sejati keesaan-Nya. Orang yang mencapai tingkatan ini akan kehilangan kesadaran dan perilakunya karena Allah melimpahinya dengan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya (Ali Hassan Abdel Kader: 2018).
Imam al-Junaid memberi penuturan, “(jika ada) Tindakan orang-orang yang memperlakukan kewajiban agama sebagai sesuatu yang tidak penting, aku menganggapnya sebagai dosa yang mengerikan. Para pencuri ataupun penzina bahkan memiliki kedudukan yang lebih baik ketimbang orang-orang yang berpandangan semacam itu. Seseorang yang mengetahui Allah akan menerima kewajiban-kewajiban dan kemudian mengembalikannya kepada Allah. Seandainya aku hidup seribu tahun, sungguh sebutir debu pun aku tidak akan mengurangi kewajiban-kewajibanku kepada Allah.”
Dari pengalaman hidup dan konsep keilmuan Imam al-Junaid, kita mengetahui bahwa pengakuan cinta kepada-Nya secara sadar memiliki tanggung jawab yaitu melakukan hal-hal yang membuat diri menjadi lebih dekat dengan-Nya.
Cara-cara yang bisa dilakukan bisa dengan berdzikir, bersedekah, selalu bersyukur atas anugerah-Nya, dan menyadari akan kebesaran kasih sayang Allah pada diri kita. Bila Allah memberi limpahan anugerah kepada manusia dengan cinta-Nya yang tanpa ragu, mengapa kita masih sering meragu akan kuasa-Nya?
Referensi
Ali Hassan Abdel Kader, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi: Pemimpin Kaum Sufi, Yogyakarta: Diva Press, 2018.
Nadia Febrianti, Abu Bakar, HM., Muhammad Husni, “Eksistensi Tarekat JUnaidi AL-Baghdadi Terhadap Pembinaan Masyarakat di Majelis Darul Ikhlas Kota Palangkaraya,” Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, volume 15, Nomor 2, Desember 2019.
Republika.co edisi 20 Agustus 2020
Category : keilmuan
SHARE THIS POST