Schopenhauer: Kehendak sebagai Akar Penderitaan dan Keinginan yang Tak Berujung

slider
18 September 2024
|
624

Kehendak merupakan suatu istilah yang sering diartikan sebagai suatu keinginan atau hasrat yang muncul dari dalam diri manusia, baik itu kehendak baik maupun buruk. Keinginan atau hasrat di sini biasanya merujuk pada kebutuhan akan sesuatu. Secara sederhana, kehendak adalah dorongan dari dalam diri manusia untuk memutuskan atau memilih suatu tindakan yang akan dilakukannya. Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemikiran Arthur Schopenhauer tentang kehendak.

Schopenhauer

Artur Schopenhauer adalah seorang filsuf Jerman yang hidup pada 1788-1860.[1] Ia dikenal sebagai seorang filsuf yang misantropos dan misoginis (pembenci manusia dan pembenci perempuan). Schopenhauer juga membenci dunia, bahkan satu-satunya hal yang ia sukai hanyalah anjing peliharaannya.[2]

Dalam kariernya sebagai seorang filsuf, Schopenhauer memiliki minat pada kajian metafisika dan juga persoalan etika. Salah satu karya yang paling terkenal ialah The World as Will and Representation (Dunia Sebagai Kehendak dan Representasi).

Di buku ini Schopenhauer menuliskan pandangannya tentang realitas, yang menurutnya adalah representasi dari suatu entitas metafisis dan itulah Die Wille (Sang Kehendak). Baginya, entitas ini mengatur seluruh dinamika yang terjadi di dalam realitas kehidupan dari tingkat yang terendah (tumbuh-tumbuhan) sampai pada tingkat yang tertinggi (kehidupan manusia). Singkatnya, realitas kehidupan semesta berada dalam kontrol dari Sang Kehendak.

Teori Kehendak Schopenhauer

Teori kehendak Schopenhauer bertumpu pada pengalaman manusia akan suatu “kekurangan” yang hendak dipenuhi ataupun dipuaskan. Menurut Schopenhauer, suatu kebutuhan adalah titik awal dari semua manifestasi kehendak, di mana itu menunjukkan adanya suatu kekurangan dan itu dapat diakhiri dengan suatu kepuasan.[3]

Meskipun kekurangan ataupun kebutuhan telah mendapatkan pemuasannya, ia tetap tidak akan berhenti dan selalu merasa kurang karena kepuasan hanya bersifat temporal. Sebab, ketika suatu kebutuhan telah dipenuhi atau terpuaskan, maka akan ada sepuluh kebutuhan lagi yang menanti pemuasannya.[4]

Tak satu pun objek kehendak dapat memberikan kepuasan final yang menenangkan, misalnya memberikan makanan kepada seorang pengemis—sebuah tindakan yang sia-sia karena itu hanya memberikan kepuasan sesaat dan esoknya ia akan kembali lapar.[5] Dalam hal ini, Schopenhauer memandang bahwa keinginan adalah derita akan kekurangan yang senantiasa mencari dan meminta pemenuhannya. Pemenuhan suatu kebutuhan tidak akan membuat seseorang berhenti untuk menginginkan sesuatu, bahkan siklus ini akan berlangsung secara terus-menerus, yaitu: ingin, puas, kecewa, ingin lagi, dan seterusnya.[6]

Untuk menyederhanakannya, Schopenhauer memberikan suatu ilustrasi tentang laki-laki yang senantiasa menggonta-ganti perempuan. Menurutnya, ketika seorang laki-laki sudah merasa terpuaskan oleh perempuan yang dimilikinya, maka perempuan-perempuan lain akan lebih menarik daripada perempuan yang telah dimilikinya itu.[7] Sederhananya, manusia terkurung dalam siklus penderitaan hidup yang dikendalikan oleh suatu kekuatan metafisis.

Siklus penderitaan ini menurut Schopenhauer diprakarsai oleh suatu kekuatan metafisis, yang ia sebut Sang Kehendak (Wille).[8] Dalam hal ini, Schopenhauer membagikan dua model kehendak, yaitu Sang Kehendak (Wille) dan kehendak partikular (willkur), yaitu keinginan-keinginan yang ada di alam semesta. Akan tetapi, sebelum sampai pada kesimpulan tentang Sang Kehendak, Schopenhauer menjelaskan tentang siklus penderitaan manusia disebabkan oleh hidup itu sendiri. Sebab, hiduplah yang mengkondisikan manusia untuk terus-menerus berkeinginan dan merasa tidak puas.[9]

Selain itu, Sang Kehendak tidak pernah berhenti membuat keinginan manusia senantiasa berubah-ubah dan melahirkan keinginan-keinginan yang baru. Di sini, Schopenhauer melihat bahwa ketika kehendak partikular (willkur) berhenti (ingin jajan, jajan, keinginan jajan berhenti), tidak berarti bahwa Sang Kehendak berhenti, melainkan terus-menerus melahirkan dan memunculkan keinginan-keinginan baru.

Sang Kehendak dalam pemikiran Schopenhauer mungkin dapat diasosiasikan dengan Dalang tanpa pakem, yang mendalang tanpa suatu tujuan ataupun itensionalitas.[10] Ini adalah suatu ironi, yang mana alam semesta diatur oleh sesuatu yang tidak memiliki kejelasan dan mungkin terkesan ambigu jika kita menghubungkannya dengan kehendak-kehendak partikular (willkur). Tetapi hal yang harus diperhatikan ialah kehendak merupakan kekuatan metafisis yang beremanasi, “ia menerobosi segala sesuatu yang ada di alam semesta.”

Sebagai kekuatan yang metafisis, “Sang Kehendak hendaknya dipahami secara simbolis, sebuah kekuatan yang memunculkan kehendak-kehendak partikular dalam seluruh realitas dari yang paling rendah hingga paling tinggi.” Mengenai hal ini dapat dilihat dari “tiga realitas”.

Pertama, pada tingkat paling rendah, ia tampak dalam dorongan buta hukum daya tarik dan daya tolak. Kedua, pada tingkat yang lebih tinggi, ia mengerakkan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan inferior. Ketiga, pada tingkat yang paling tinggi, ia menampakkan dirinya pada semua motif dan representasi buatan manusia.

Tingkat realitas ketiga adalah bentuk pembalikkan Schopenhauer yang menunjukkan bahwa Sang Kehendak memiliki supremasi atas intelek manusia yang tampak pada kehendak untuk hidup, yaitu hasrat untuk melestarikan diri.[11] Contohnya ialah pernikahan.

Dalam pandangan umum, pernikahan adalah sesuatu yang lahir dari rasa cinta antara dua insan. Akan tetapi, Schopenhauer menjelaskan bahwa hal ini hanyalah suatu rasionalisasi semata. Sebab, mereka tidak sadar bahwa mereka sedang dikendalikan oleh hasrat buta yang tidak lain adalah manifestasi dari Sang Kehendak. Manusia tidak memiliki kuasa atas dirinya dan secara penuh dikendalikan oleh hasrat buta, perwujudan dari Sang Kehendak.[12]

Jalan Pembebasan dari Kehendak

Meskipun pandangan Schopenhauer terhadap realitas sangatlah pesimistik, tetapi ia memberikan dua jalan keluar agar manusia lepas dari jeratan dan kungkungan Sang Kehendak. Dua jalan ini diyakininya dapat memberikan kebebasan bagi manusia untuk lepas dari kontrol Sang Kehendak. Dua jalan itu ialah jalan estetika dan etika.[13]

Jalan estetika adalah menggunakan medium seni untuk melepaskan manusia dari penderitaannya. Misalnya mendengarkan dan bermain musik. Dalam mendengarkan ataupun bermain musik, seseorang akan terdistraksi dari jeratan Sang Kehendak, sehingga ia dapat lepas dari penderitaan yang dialami. Akan tetapi, ini bukanlah jalan final, melainkan temporal, karena hanya bersifat sementara.[14] Pembebasan final menurut Schopenhauer ialah melalui jalan etika, yakni bermati raga, sehingga manusia dapat mengendalikan dan menekan hasrat buta yang dikendalikan oleh Sang Kehendak.

Referensi:

Copleston, Frederick. A History of Philosophy, Vol. 7 Part 2: From Schopenhauer to Nietzsche, Image Books: 1963, dalam F. Budi Hardiman, 2019, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman, F. Budi, 2019, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius.

Janaway, Christoper, 2002, Schopenhauer: A Very Short Introduction, New York: OXFORD University Press.

Jean-Paul Ferrand, Schopenhauer ou l’épreuve de la volonté, Paris: Ellipses, 1998, dalam A. Setyo Wibowo, 2017, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius.

Tjahjadi, Simon Petrus L, 2004, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius.

Wibowo, A. Setyo, 2017, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius.

_______________, “Metafisika: Heidegger, Schopenhauer dan Nietzsche”, dalam https://www.youtube.com/watch?v=XIHwEfC2FgY&t=29s, diakses pada 4 September 2024.

 

[1] Christoper Janaway, Schopenhauer: A Very Short Introduction, (New York: OXFORD University Press, 2002), 1.

[2] Setyo Wibowo, Metafisika: Heidegger, Schopenhauer dan Nietzsche, dalam https://www.youtube.com/watch?v=XIHwEfC2FgY&t=29s, diakses pada 4 September 2024.

[3] Jean-Paul Ferrand, Schopenhauer ou l’épreuve de la volonté, (Paris: Ellipses, 1998), sebagaimana yang dikutip A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 260.

[4] Setyo Wibowo, Metafisika: Heidegger, Schopenhauer dan Nietzsche, dalam https://www.youtube.com/watch?v=XIHwEfC2FgY&t=29s, diakses pada 4 September 2024.

[5] Jean-Paul Ferrand, Schopenhauer ou l’épreuve de la volonté, (Paris: Ellipses, 1998), sebagaimana yang dikutip A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, (Yogykarta: Kanisius, 2017), 260.

[6] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 261.

[7] Setyo Wibowo, Metafisika: Heidegger, Schopenhauer dan Nietzsche, dalam https://www.youtube.com/watch?v=XIHwEfC2FgY&t=29s, diakses pada 4 September 2024.

[8] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, 262.

[9] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, 263.

[10] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, 264.

[11] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, 266.

[12] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, 267.

[13] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 335.

[14] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, 335.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

George Glinca

Tinggal di Wisma Sang Penebus