Sarung

slider
16 Mei 2020
|
1406

Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dalam perjalanannya, Islam dan tradisi budaya masyarakat lokal hidup guyub dan rukun saling berdampingan.

Keguyubrukunan dan saling berdampingan antara Islam dan tradisi budaya ini dalam beberapa literatur disebut sebagai ujud dari Islam Nusantara. Islam yang khas Indonesia, Islam khas Nusantara; agama dan tradisi kebudayaan “melebur” menjadi satu “kesatuan” dan tentunya menjadi ciri khas dan corak keislaman masyarakat di Indonesia.

Seiring dengan arus modernisasi dan pengaruh budaya luar yang begitu masif merangsek masuk, menjadikan tradisi dan budaya keislaman khas Nusantara ini makin tergerus dan mulai ditinggalkan oleh generasi penerusnya.

Karenanya, kita sebagai generasi penerus selayaknya menjaga nilai-nilai maupun melihat dan memahami seluk beluk tradisi dan budaya keislaman khas Nusantara peninggalan para pendahulu kita ini. Syukur-syukur dapat terus dijaga dan dirawat.

Dalam ajaran Islam, ada hukum fikih yang mengatur setiap gerak laku manusia. Mulai dari melek mata (bangun tidur) sampai tutup mata (tidur) kembali. Mulai dari cara makan sampai bersenggama. Tidak terkecuali dalam hal berpakaian yang juga menjadi bagian dari menutup aurat.

Sebagai contoh adalah kain sarung. Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan bahwa kain sarung adalah jenis pakaian yang menjadi bagian dari aturan hukum berpakaian, tetapi dalam hal menutup aurat, sarung masuk dalam kriteria tersebut.

Seperti yang umum di Indonesia, sarung menjadi salah satu jenis pakaian yang begitu lekat dengan kehidupan masyarakat Islam. Sarung sulit untuk bisa dilepaskan dari tradisi dan budaya keislaman masyarakat di Nusantara. Sarung telah menjadi salah satu jenis pakaian keagamaan dan juga identitas kaum muslim di Indonesia.

Dalam beberapa literatur disebutkan, sarung berasal dari negeri Yaman. Walau bukan asli Indonesia, namun peran sarung tidak serta merta dapat dilepaskan dari perkembangan dan peradaban Islam di Nusantara. Sarung juga menjadi atribut penting bagi para pejuang kemerdekaan saat mengusir penjajah.

Dikalangan kaum nahdhliyin, jemaah Nahdhatul Ulama, sarung menjadi pakaian khas yang dikenakan dalam berbagai aktivitas keseharian maupun lainnya.

Sarung sebagai pasangan dari baju koko, atau menjadi pasangan dari pakaian-pakaian keseharian lainnya. Dalam lingkungan pondok pesantren, sarung menjadi jenis pakaian wajib bagi para santri.

Di indonesia, industri-industri yang memproduksi sarung tumbuh subur. Beberapa merek sarung pun popular. Dari kelas yang termurah, menengah, sampai yang khusus diproduksi untuk kalangan tertentu dengan kisaran harga yang bervariatif, tergantung jenis dan bahan yang digunakan.

Biasanya di bulan Ramadhan seperti sekarang ini dimanfaatkan oleh para produsen sarung untuk mempromosikan barang produksinya. Iklan-iklan sarung populer itu memenuhi dan menghiasi layar televisi. Mafhum kita melihatnya.

Soal sarung, ada cerita dalam keluarga saya. Pada rentang usia sekitar 10 tahun hingga sekitar 18 tahun, saya hampir tidak pernah membeli atau dibelikan sarung.

Ya, mungkin pernah, satu atau dua kali. Tetapi lebih sering tidak pernah. Itu semua berkat bapak yang sering mendapat tugas sebagai muazin atau juru azan salat Jumat dibeberapa masjid di sekitaran rumah.

Dari tugasnya itu bapak seringnya mendapat bingkisan dari pengurus masjid yang di dalamnya terdapat beberapa barang, salah satunya adalah sarung. Penggunaan sarung sebagai ayunan jamak kita lihat. Pun sewaktu saya kecil, ibu menjadikan sarung yang difungsikan sebagai ayunan agar supaya saya tidak rewel sampai akhirnya tertidur.

Sarung memang tidak hanya menjadi pakaian keagamaan saja, malahan di beberapa wilayah di Indonesia sarung memiliki makna, fungsi, dan kegunaan lain.

Seperti di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, khususnya pada masyarakat Suku Tengger di sekitar pegunungan Bromo. Sarung menjadi simbol identitas dan harga diri Suku Tengger.

Sarung juga menjadi penanda status bagi perempuan Suku Tengger. Masyarakat Suku Tengger juga memiliki ragam cara penggunaan sarung yang memiliki arti dari setiap cara penggunannya.

Lain lagi di Bima, Nusa Tenggara Barat. Di Bima, sarung menjadi pakaian penutup bagi perempuan. Tradisi dan budaya khas Suku Bima itu disebut rimpu.

Rimpu yang juga menjadi penanda status bagi perempuan terbagi dalam dua jenis. Ada rimpu mpida yang digunakan oleh perempuan yang masih lajang atau belum menikah untuk menutupi seluruh kepala hingga dada kecuali mata. Bentuknya seperti cadar.

Ada juga rimpu colo yang digunakan oleh perempuan yang sudah menikah. Bentuknya seperti jilbab. Menurut penuturan seorang kawan yang asli Mbojo, Bima, rimpu telah ada sejak zaman kerajaan Islam sebagai bentuk ketaatan masyarakat Suku Bima terhadap syariat Islam.

Pada bulan Ramadhan, sarung bisa menjadi pakaian yang sering dikenakan, untuk shalat maupun dalam sehari-harinya. Sarung malah digunakan anak-anak untuk permainan slepet. Sarung menjadi jenis pakaian yang multifungsi. Sarung bisa dan bebas digunakan dan dijadikan apa saja.

Kenyataan lainnya, di tengah masyarakat modern, terkadang sarung masih harus menerima stereotype kurang mengenakkan bawaan modernisme. Sarung masih dianggap sebagai sesuatu yang aneh bahkan dianggap sebagai pakaian yang norak, kuno, dan kampungan. Padahal sarung kini mulai dikenalkan dan dikenakan sebagai pakaian keseharian laiknya pakaian-pakaian lainnya.

Soal sarung yang stereotype, saya jadi teringat film Si Doel Anak Sekolahan pada suatu adegan sewaktu Doel dan Bang Mandra datang ke acara ulang tahun Sarah.

Lantaran mengenakan sarung dan setelan pakaian ala kadarnya, lalu mereka dibully oleh Roy dan dianggap primitif hanya karena Bang Mandra hadir mengenakan sarung pada acara ulang tahun.

Kata Bang Mandra, “Primitif apaan si Doel?”

Saya tartawa ngakak bila mengingat dan melihat adegan itu lagi. Kok bisa-bisanya Bang Mandra datang ke acara ulang tahun memakai pakaian sarung lengkap dengan stelan jas dan kopiah persis babeh-babeh (bapak-bapak) kita dahulu apabila hendak pergi ke kendurian atau tahlilan. Dan mempertanyakan soal “keadaan yang sangat sederhana; belum maju; terbelakang; sederhana; kuno; tidak modern” siapa yang dimaksud.

Seperti juga Bang Mandra yang menikmati cara berpakaiannya, mari kita raih kenikmatan di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini tanpa me-stereotype-kan sarung atau orang-orang yang suka mengenakan sarung. Selamat bersarung ria.


Category : kebudayaan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahmad Taufik

Santri Ngaji Filsafat