Sang Pelancong

slider
26 Januari 2022
|
1731

Judul: Politik Pengetahuan | Penulis: Edward Said | Penerjemah: Saut Pasaribu | Penerbit: Circa | Terbit: Cetakan pertama, Maret 2021 | Tebal: xiv + 214 hlm | ISBN: 978-623-7624-42-4

Kalap, agaknya bagi banyak orang membuat hilang akal sehat, hilang kebijaksanaan, serta menimbulkan rasa ingin menghancurkan segala hal. Namun, mungkin juga bagi sangat sedikit orang, kalap bukanlah apa-apa. Orang-orang langka ini menjadikan kalap sebagai pijakan untuk berpikir bebas, melihat persoalan dengan multiperspektif, serta mengabarkan ke khalayak umum akan kesalahan apa yang telah dan sedang terjadi. Edward Wadie Said adalah satu dari orang langka tersebut.

Said lebih memilih mengetuk tuts-tuts yang berisi huruf dalam pelampiasan emosinya di samping segala usaha lain yang juga telah diupayakannya, daripada hal remeh melelahkan serta tak menghasilkan apa-apa. Bukti itu bisa terbaca dalam buku terbitan Circa ini.

Buku ini berisi kumpulan tujuh esai yang diambil dari karya Said sendiri, yaitu Reflections on Exils: And Other Literary and Cultural Essays. Muatannya memberi penekanan bahwa bersaksi tentang sejarah penindasan itu perlu, tetapi tidak cukup jika sejarah itu tidak diarahkan menuju proses intelektual dan diuniversalkan untuk mencakup semua orang yang menderita (hlm, 21).

Said dikenal oleh dunia sebagai intelektual sejati. Intelektual yang terus-menerus membela orang-orang tertindas, termarjinalkan, serta tak berdaya menghadapi lajunya dunia. Kritikus sastra ternama ini menjadikan karya-karya tulisnya sebagai sarana untuk mencegah disintegrasi personal dan jembatan kesenjangan antara yang privat dan publik.

Nono Anwar Makarim pada 2003, ketika berpulangnya Said, menulis obituari untuk intelektual sejati ini dengan judul Edward Said dan Setelahnya. Dalam esai tersebut, Nono mengatakan dengan berpulangnya Said, dunia kehilangan sosok terpenting, sosok intelektual sejati yang hidupnya penuh dengan kepedihan.

Nasionalisme dalam Intelektual

Hidup sebagai migran, tak sedikit pun menggentarkan jiwa Said. Tak sejengkal pun memundurkan langkahnya untuk berpikir kritis serta mengkritik segala hal yang mengakibatkan perpecahan serta penindasan. Dalam kuliah-kuliah Reith-nya, intelektual menurut Said merupakan figur representasi dari segala persoalan yang terjadi di masyarakat tanpa memandang batasan geografi dan kebudayaan yang ada, serta bertanggung jawab terhadap pengentasan masalah-masalah tersebut. Hal ini secara konsisten dilakukan oleh Said sepanjang hidupnya

Dalam buku Politik Pengetahuan ini, Said menyatakan bahwa yang merupakan pekerjaan intelektual itu bersifat duniawi, yang bertempat di dunia dan tentang dunia. Argumen intelektual harus diterima oleh banyak pihak dan banyak situasi. Sebab, kalau tidak, kita akan berurusan bukan dengan argumen intelektual, tetapi dengan dogma atau jargon teknologi yang dirancang khusus untuk mengusir (serta menindas) semua (hlm, 7).

Karena itu, untuk mencapai ke tempat tersebut, seorang yang mendaku diri sebagai intelektual haruslah bebas, kritis, serta jernih dalam memandang dunia. Atau analogi yang digunakan Said seperti  “sang pelancong”. Seorang intelektual yang menjadi dirinya sendiri, yang ketika di dalam akademik harus dapat menemukan serta melakukan perjalanan di antara diri-diri lain, identitas lain, varietas lain dari petualangan manusia. (hlm, 53).

Dengan begitu, citra diri “sang pelancong” yang kemudian lahir adalah tidak bergantung pada kekuasaan ataupun kedaerahan, tetapi pada gerak, pada kemauan untuk pergi ke dunia yang berbeda menggunakan idiom yang berbeda pula. Selain itu, mau memahami berbagai topeng, penyamaran, dan retorika yang menyesatkan layaknya jargon-jargon.

Semua hal tersebut dilakukan Said dengan dedikasi dan cinta serta perasaan yang realistis terhadap medan. Hal ini membuat intelektual sejati tidak terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan yang menyenangkan diri sendiri, tidak terintervensi oleh tekanan ancaman ataupun rayuan yang menggiurkan. Bahkan menurut Said, “sang pelancong” merupakan sasaran empuk untuk diasingkan, dibunuh karakternya, serta dibakar habis karya-karyanya karena selalu menempatkan diri sebagai oposisi dari hegemonik penguasa yang merasa terusik kekuasaannya.

Deskripsi yang ditulis Shelley Walia (Jendela; 2003) untuk Said ini bisa kita baca bahwa Said menganggap seluruh dunia adalah tanah airnya yang menaruh harapan pada budaya yang tersisih. Di samping memang adanya peran intelektual yang membebaskan pikiran-pikiran manusia melalui penafsiran atas keberjalanan dunia masa lalu, hari ini, serta masa depan.

Oleh karena itu, Said menganggap nasionalisme saat ini harus ditafsirkan secara berbeda dengan penafsiran pada masa Perang Dunia yang fokus kepada politik identitas nasional—yang sejatinya bersumber pada epistemologi imperialisme. Politik identitas beranggapan bahwa setiap orang pada prinsipnya adalah anggota dari suatu ras atau golongan yang berbeda-beda. Mereka tidak bisa dibaurkan satu sama lainnya sehingga menghasilkan anggapan golongan kuat dan golongan lemah yang saling jajah-menjajah.

Penafsiran baru yang ditawarkan Said adalah kesadaran nasional (nasionalisme) yang digunakan untuk melawan penjajah harus segera diubah menjadi “kesadaran sosial” (hlm, 11). Karena jika kita gagal dalam merombaknya, yang terjadi adalah nasionalisme chauvinistic. Pembebasan sejati tidak akan terwujud. Malah sebaliknya, memicu munculnya praktik kekuasaan yang menghadirkan penindasan baru berdasarkan kelas. Padahal sejatinya kesenjangan kelas, marjinalitas, tidak untuk dimuliakan, tapi untuk diakhiri, sehingga semakin banyak orang yang dapat memanfaatkan hal-hal yang selama berabad-abad dilarang oleh penjajah (hlm, 23).

Pendidikan yang Bebas

Ketika kemerdekaan dicapai sebagai hasil perjuangan anti-kolonial, salah satu wilayah pertama yang diubah menurut Said adalah pendidikan (hlm, 33). Pendidikan menjadi ladang yang subur untuk menabur dan merawat pikiran generasi yang meneruskan perjuangan suatu bangsa. Tak mengherankan jika selama masa kolonialisasi, pendidikan menjadi ujung tombak negeri penjajah untuk memantapkan pengaruh kebudayaannya serta pusat kanonisasi pengetahuan terhadap negeri yang dijajah.

Teringat pula peran penting pendidikan yang dilontarkan oleh tokoh pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Baginya pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat. Prinsip tersebut mirip dengan tulisan Said yang menyatakan bila pendidikan membentuk pikiran generasi muda dan mempersiapkan mereka untuk kehidupan (hlm, 27).

Dalam prosesnya, pendidikan menurut Said haruslah terlepas dari segala intervensi dan penindasan politis. Hal tersebut tidak pernah baik untuk pendidikan, bahkan merusak pendidikan dan intelektual (hlm, 36). Hubungan kolusif tersebut jika terjadi tentu akan melahirkan pelarangan-pelarangan pengajaran yang bersemangat dan menarik.

Seorang pendidik harus mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan pikiran, nilai-nilai intelektual dan moral, yang diawali penyelidikan, diskusi, dan pertukaran. Mengajar, menurut Said, berarti terlibat dalam panggilan yang pada prinsipnya tidak berkaitan dengan keuntungan finansial, tapi pada pencarian kebenaran-kebenaran tanpa akhir (hlm, 27).


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahmad Kurnia Sidik

Penulis menjadi bagian dari telapaksimak.com.