Sains Lebih Rendah Hati Dibandingkan Agama?
Dalam perbincangan cukup mendalam dengan salah satu rekan diskusi di Pontianak, ia menyitir suatu pernyataan dengan maksud meminta tanggapan dari saya pribadi.
Kira-kira seperti ini, “Sains itu punya sifat rendah hati dibandingkan agama. Sebab, sains punya mekanisme perbaikan diri (self-correction). Jika ada temuan ataupun teori yang lebih mampu menjawab, menjelaskan, dan memprakirakan (memprediksi) fenomena alam secara lebih akurat, sains bersedia “dengan rendah hati” merevisinya. Sementara itu, agama tidak demikian. Ia tahan banting, kebenarannya mutlak, tak dapat diganggu gugat.”
Saya tidak begitu paham dari mana asalnya pernyataan tersebut. Sebatas yang saya tangkap, pemilihan diksi “rendah hati” ada semacam kesan dan maksud tertentu, baik disadari oleh yang menyatakannya ataupun tidak. Kemungkinan besar nalarnya begini: rendah hati ialah watak yang baik; sains lebih rendah hati daripada agama; berarti, watak sains lebih baik dari agama. Jika demikian, ini tentu bermasalah.
Pernyataan bahwa “sains lebih rendah hati dibandingkan agama” kemudian diperjelas dengan pernyataan, “sains punya mekanisme perbaikan diri (self-correction). Jika ada temuan ataupun teori yang lebih mampu menjawab, menjelaskan, dan memprakirakan (memprediksi) fenomena alam secara lebih akurat, sains bersedia dengan rendah hati merevisinya. Sementara itu agama tidak demikian. Ia tahan banting, kebenarannya mutlak, tak dapat diganggu gugat.” Di sini semakin terlihat ada perkara yang perlu didudukkan.
Sebenarnya pernyataan di atas dapat digugat lewat telaah logika (mantiq) semata. Namun, ada sisi lain yang menarik yang hendak saya angkat: karena hubungan sains dan agama coba dibincangkan dalam kaitannya dengan kebenaran, kita perlu membincangkan keduanya dalam lingkup epistemologi.
Kerangka Epistemik
Dalam tradisi keilmuan Islam, perbincangan tentang kebenaran dan realitas sudah mafhum. Kita mengenal sumber-sumber ilmu ada tiga: (1) akal, (2) pancaindra, dan (3) kabar yang benar (khabar shadiq), sebagaimana diutarakan Syaikh Umar An-Nasafi dalam Al-‘Aqaid An-Nasafiyyah.
Lebih lanjut, Syaikh An-Nasafi menyampaikan bahwa kabar yang benar mencakup (a) kabar mutawatir (kabar yang disampaikan sekelompok orang yang mustahil mereka bersepakat untuk berdusta) dan (b) kabar Rasul yang diperkuat dengan mukjizat. Ketiga sumber ilmu tersebut mengandung kebenaran yang dapat dibuktikan keabsahan (validitas)-nya.
Pengetahuan yang bersumber dari pancaindra memiliki derajat kebenaran tertentu. Namun, pancaindra semata tidak cukup sebagai sumber kebenaran. Ia perlu bantuan akal untuk memahami realitas sehingga sampai pada kebenaran yang lebih tinggi. Misalnya, ketika kita melihat bulan. Menurut mata kita, bulan terlihat kecil. Namun, akal akan berpikir bahwa jarak bulan sangat jauh dari kita; kalau bulan didekatkan, ukurannya akan menjadi sangat besar dibandingkan ukuran manusia; jadi, ukuran bulan mesti besar.
Akal mampu menjangkau kebenaran yang lingkupnya lebih luas dari pancaindra. Temuan-temuan saintifik banyak membuktikan. Misalnya, pancaindra kita (tanpa bantuan teknologi) sulit mengamati keberadaan lubang hitam nun jauh di sana. Namun, sebelum teknologi kian canggih, prakiraan matematis yang didasarkan pada penalaran logis menyimpulkan bahwa ada yang namanya lubang hitam. Hal itu kemudian dibuktikan kebenarannya secara empiris pada 1971.
Dalam modalitas akal, sebagaimana diterangkan Imam Sanusi dalam Ummul Barahin, kita mengenal ada hukum akal: wajib, mungkin, dan mustahil. ‘Wajib’ maksudnya sesuatu yang ketiadaannya tidak bisa diterima akal. ‘Mustahil’ maksudnya sesuatu yang keberadaannya tidak bisa diterima akal. Adapun ‘mungkin’ maksudnya sesuatu yang keberadaannya maupun ketiadaannya bisa diterima akal.
Dengan modalitas ini, akal kita mampu menilai (to judge) apakah mungkin ada kehidupan setelah kematian, apakah mungkin ada makhluk hidup lain di luar sistem tata surya, apakah bisa orang tua lebih muda dari kita. Dari akal, kita bisa tahu bahwa tidak mungkin orang tua kita lebih muda dari kita. Dari akal pula, kita bisa sampai pada kesimpulan akan keberadaan Tuhan. Keberadaan-Nya bersifat pasti dan niscaya.
Namun, akal semata tidak cukup untuk menyingkap realitas dan kebenaran. Misalnya, apakah kehidupan setelah kematian itu ada? Akal kita hanya mampu menilai bahwa kehidupan setelah kematian itu mungkin. Terkait sifat-sifat Tuhan, termasuk dalam kaitannya dengan takdir dan kebebasan manusia, misalnya, jangkauan akal terbatas untuk mengakses hal tersebut. Di sinilah perlu sumber ilmu yang lebih tinggi dari akal, yakni khabar shadiq, termasuk di dalamnya Al-Quran dan Hadis. Kedua sumber ilmu utama tersebut menguatkan akal kita.
Sesuatu yang bersifat mungkin bagi akal bisa bersifat pasti bagi wahyu, seperti ditegaskan Syaikh An-Nasafi dalam Al-‘Aqaid An-Nasafiyyah. Akal menyimpulkan, mungkin ada kehidupan setelah kematian, mungkin juga tidak. Namun, wahyu memberikan kabar bahwa kehidupan setelah kematian itu betul-betul ada. Ia bukan lagi sebuah kemungkinan. Kabar yang datang dari Al-Qur’an maupun perkataan Rasul bersifat benar dan pembuktiannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Sila lihat lebih lanjut dalam Ummul Barahin karya Imam Sanusi).
Ilmu yang terbukti kebenarannya akan sampai pada taraf meyakinkan. Dalam tradisi keilmuan Islam, kita mengenal adanya derajat keyakinan. Derajat yang paling tinggi adalah yakin, tiada keraguan di dalamnya. Di bawah derajat yakin adalah dugaan kuat (ghalabah azh-zhann), dan di sinilah ranah sains dan sebagian hasil ijtihad para ulama. Di bawahnya lagi ada ragu-ragu (syakk), tidak dapat memastikan apakah suatu perkara itu benar atau tidak. Di bawahnya lagi adalah wahm.
Sains “Lebih Rendah Hati”?
Sampailah kita pada inti tulisan ini, apakah sains “lebih rendah hati” dibandingkan agama. Dalam pernyataan itu, “rendah hati” yang dimaksud ialah rendah hati menerima revisi jika ada bukti yang lebih kuat, yang karenanya kebenaran sains bersifat nisbi (relatif).
Jika kita sepakat bahwa sains ialah ilmu yang mengkaji tentang kebiasaan alam semesta yang bersifat faktual, yang secara epistemologis perlu dibuktikan secara empiris, berarti kebenarannya bergantung pada bukti empiris.
Cahaya, misalnya, dulunya diyakini bersifat seperti gelombang, bukan zarah (partikel), berdasarkan bukti-bukti empiris yang didatangkan oleh Thomas Young. Namun, pada awal abad ke-20, Einstein lewat percobaan efek fotolistrik kemudian membuktikan cahaya bersifat seperti zarah (partikel).
Kesediaan sains menerima revisi (yang kononnya diistilahkan sebagai sikap “rendah hati,” padahal pemilihan diksi ini tidaklah tepat) dapat dibenarkan. Namun, yang perlu dicatat adalah kesediaan menerima revisi itu datang dari jangkauan kebenaran sains yang terbatas secara epistemologis.
Berbeda halnya dengan agama. Agama Islam mengandung unsur yang bersifat tsawabit (tetap), juga mutaghayyirat (berubah-ubah). Unsur-unsur yang tsawabit masuk dalam perkara-perkara akidah dan syariah yang sifatnya mendasar (ushul). Sedangkan unsur mutaghayyirat banyak masuk dalam urusan yang sifatnya ijtihad seperti yang dijumpai dalam perbedaan pendapat dalam fiqih.
Kesediaan menerima revisi dan koreksi bila terdapat bukti yang lebih meyakinkan, yang menjadi penanda “kerendah-hatian” sesuatu (sebut saja begitu), berlaku pada sains dan perkara-perkara ijtihadi yang dijumpai dalam fiqih yang sifatnya furu’ (cabang). Bagaimana dengan akidah? Dalam perkara-perkara akidah yang sifatnya ushul, bukti-bukti yang diperoleh dari khabar shadiq sangat terang-benderang, sehingga kebenarannya bersifat mutlak.
Jadi, perbedaan derajat epistemologis itulah yang menentukan apakah sesuatu itu dapat menerima revisi atau tidak. Derajat kebenaran sains bergantung pada bukti empiris, sehingga sewaktu-waktu temuan ataupun teori saintifik dapat diperbaiki.
Adapun akidah dan syariah yang bersifat mendasar mengandung kebenaran yang bersifat mutlak, sehingga tidak memerlukan koreksi. Cahaya yang remang-remang perlu dibuat lebih terang agar mata kita bisa melihat lebih jelas. Sedangkan cahaya yang terang tidak perlu dibuat lebih terang karena mata kita telah mampu melihat dengan sangat jelas.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST