Ruh KH. Hasyim Asy'ari dalam Napas Pendidikan

slider
29 Februari 2020
|
1850

“Hendaknya segera mempergunakan masa muda dan umur untuk memperoleh ilmu, tanpa terpedaya oleh rayuan ‘menunda-nunda’ dan ‘berangan-angan panjang’, sebab setiap detik yang terlewatkan dari umur tidak akan tergantikan.” (KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’allim)

Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim merupakan karya masterpiece dari tokoh besar yang menjadi mahaguru ulama Nusantara sekaligus juga pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), yaitu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Kitab ini ditulis dalam kaidah bahasa Arab. Berisi kajian ilmu pedagogik dan secara fundamental tentang pendidikan yang mengkaji etika, thoriqoh, gaya pembelajaran yang diperlukan pengajar, dan juga pembelajar menurut kaidah nilai-nilai keislaman, agar ilmu yang dipelajari dapat bermanfaat dan memiliki nilai keberkahan.

Pada kesempatan Ngaji Filsafat edisi Pendidikan yang ditokohi KH. Hasyim Asy’ari (12/2/2020), Dr. Fahruddin Faiz menafsirkan kutipan di atas merupakan peringatan dari KH. Hasyim kepada para pejuang di jalan ilmu. Ibarat pemanah, anak panah yang dibidikkan dalam pendidikan itu harus disasarkan pada ilmu. Walaupun dalam dunia pendidikan yang kian mengikuti perkembangan zaman banyak sasaran lainnya yang tidak kalah penting seperti indeks prestasi yang baik, beasiswa penunjang pendidikan, dan lain sebagainya, tetap pada ilmu sebagai yang utama. Dalam memperoleh ilmu pun biasanya para tholib rawan terserang dua penyakit: “menunda-nunda” dan “berangan-angan panjang”.

Pak Faiz menerjemahkan “menunda-nunda” itu dengan adanya aktivitas bermanfaat dan penting yang dapat dilakukan namun malah dinomorduakan atau dikesampingkan—atau dalam bahasa Jawa disebut semoyo. Bahkan seringkali hal-hal yang penting itu tersisihkan oleh hal-hal yang kurang penting dan meninggalkan penyesalan pada akhirnya.

“Berangan-angan panjang” itu diartikan banyak berkhayal dan berekspektasi belaka. Inginnya banyak tetapi tindakan tidak menuju yang diinginkan, sehingga jatuhnya hanya menjadi harapan kosong. Dalam bahasa Arab sering digunakan kata lau... lau…; andai saja seperti ini dan seperti itu. Maka dari itu, prioritas hidup yang nomor satu adalah ilmu, kalaupun ada berbagai hal yang bertabrakan dalam hidup, tetap menangkanlah ilmu.

KH. Hasyim lahir di tengah-tengah euforia revivalisme Islam di Indonesia yang menggerakan kebangkitan umat Islam dalam melawan penjajahan dan kolonialisme. Revivalisme Islam sendiri membangkitkan kesadaran baru bagi umat Islam dalam kajian keilmuan. Bila sebelumnya umat umum dan kebanyakan belajar tentang Islam selalu bertemu dengan ilmu-ilmu langit, seperti ilmu tauhid, kalam, tasawuf. Adanya gerakan ini maka perhatian akan ilmu-ilmu bumi juga diprioritaskan, termasuk terkait nasionalisme dan Pan-Islamisme. Hal ini berangkat dari perlunya umat akan urgensi wacana-wacana yang membahas kehidupan konkret manusia dalam mengatasi problematika sosial seperti kemiskinan, kriminalitas, kesenjangan sosial, dan lain sebagainya.

Perjuangan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam jalan ilmu dan pendidikan selain disalurkan dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim juga direalisasikan dengan menggagas sebuah pesantren yang dikenal dengan Pondok Pesantren Tebuireng di daerah Jombang. Pondok ini merupakan salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia dan telah banyak melahirkan para pejuang agama dan negara di bumi Nusantara. Sistem pendidikan Pondok Pesantren Tebuireng sendiri memperkenalkan sistem madrasah yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama, tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti matematika, geografi, sejarah, menulis huruf latin, dan pelajaran bahasa Belanda. Hingga dengan persetujuan—dan juga atas usul dari KH. Wahid Hasyim—mendirikan yang namanya Madrasah Nidzamiyah dan perpustakaan yang berlangganan majalah dan surat kabar.

Menurut KH. Hasyim, pendidikan itu mendesak dan sangat penting sebab dilandasi beberapa hal. Pertama, untuk mempertahankan predikat manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Predikat tersebut disematkan kepada manusia karena ilmunya bukan akalnya. Karena ilmu itu hasil dari akal yang sudah didayagunakan dan ilmu juga yang mengangkat martabat manusia. Untuk mendapatkan ilmu itu jalannya lewat pendidikan. Jangan menganggap remeh pendidikan karena sejarah mencatat fondasi peradaban manusia itu melalui pendidikan.

Kedua, pendidikan melalui pengamalan ilmu akan melahirkan masyarakat yang berbudaya dan beretika. Dari sinilah peradaban manusia berkembang.

Ketiga, kesibukan dalam pengamalan ilmu lebih utama dari mengamalkan aktivitas ibadah yang sunah. Sebab manfaat ilmu akan merata untuk si pemiliknya dan masyarakat sekelilingnya, sementara ibadah sunah terbatas untuk pemiliknya saja.

Pendidikan akan menghasilkan ilmu dan ilmu tentu akan menghasilkan berbagai hal. Menurut KH. Hasyim, pertama, bahwa dengan ilmu menjadikan manusia khairul bariyah yang dapat mengembangkan segala potensi di dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani, untuk mempelajari, menghayati, menguasai, dan mengamalkan demi kemanfaatan dunia dan akhirat. Segala sesuatu itu dapat dikuasai apabila (di)mengerti ilmunya.

Kedua, KH. Hasyim menganalisis bahwa ilmu akan menjadi jalan bagi bangsa Indonesia agar mampu hidup secara mandiri dan bermartabat. Sebab, pada dasarnya Indonesia ini adalah surganya sumber daya alam. Jika saja manusianya mengerti ilmu bagaimana mengolah sumber daya alam secara menyeluruh, maka tidak ada ketergantungan terhadap negara lain.

Ketiga, sebagai kendaraan untuk mencapai kemerdekaan bangsa dengan cara meningkatkan kesadaran dan kemampuan manusianya (rakyat). Dengan ilmu, rakyat Indonesia yang beragam dapat bersatu dan timbul kesadaran menghentikan penjajahan di bumi pertiwi ini.

Dalam catatan sejarah, KH. Hasyim merupakan seorang pejuang dan juga pendidik yang memiliki pengaruh yang luar biasa. Dengan posisi tersebut, bagi penjajah Belanda KH. Hasyim adalah ancaman. Alhasil pada 1937 KH. Hasyim didatangi oleh salah seorang pimpinan pemerintah Hindia-Belanda dengan maksud memberikan bintang emas dan perak sebagai tanda kehormatan. Tujuan dari pemberian ini agar KH. Hasyim berhenti langkah perjuangannya, namun KH. Hasyim menolaknya.

Kemudian pada malam esok harinya, KH. Hasyim memberikan nasihat kepada para santri terkait kejadian tersebut dan menganalogikan pada kejadian yang persis dialami baginda Nabi Muhammad Saw ketika ditawari oleh kaum jahiliyah dengan tiga hal, yakni kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan, harta benda yang berlimpah, serta gadis-gadis tercantik. Akan tetapi Nabi Saw menolaknya. “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya meski nyawa taruhannya”.

Terakhir, dari banyak pesan KH. Hasyim yang disampaikan sebagai seorang ulama, pejuang sekaligus pendidik agama dan bangsa, ada satu pesan singkat yang juga sangat penting dalam penyampaian ilmu di jalan dakwah, bahwa “Dakwah dengan cara memusuhi ibarat orang membangun kota, tetapi merobohkan istananya”. Apa yang disitir oleh KH. Hasyim tersebut, hari ini tidak sulit kita ditemukan bentuknya.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Fajrul Falakh

Squad #4 MJS. Masih tercatat sebagai mahasiswa selow