Rene Descartes: Keraguan Demi Kepastian

slider
27 Januari 2023
|
2960

Renaissance adalah era yang menjadi tonggak awal bagi majunya peradaban Barat. Disebut sebagai renaissance (kelahiran kembali) karena Barat berusaha membangkitkan kembali budaya Yunani dan Romawi Kuno yang dikubur dalam-dalam selama Abad Pertengahan. Barat dalam konteks ini tidak mereproduksi budaya Yunani dan Romawi Kuno, melainkan menginterpretasi dan mengkontekstualisasinya sedemikian rupa demi kemajuan peradaban.

Sejak saat itulah humanisme (penghargaan atas manusia sebagai makhhluk yang berbudi) mendapatkan tempat yang layak. Paham humanisme menengarai bahwa manusia dapat menciptakan kebahagiaan di dunia sini dengan mendayagunakan akal budi. Karena itulah, segala hal pada masa itu diteliti dengan rasio. Bahkan, kitab suci tak lagi ditafsirkan dengan iman, melainkan rasio. 

Kondisi yang demikian membuat arah perubahan bagi filsafat. Filsafat berusaha melepaskan diri dari genggaman gereja dan menjadi independen. Dalam konteks renaissance, salah seorang filosof yang berkontribusi dalam usaha ini ialah René Descartes.

Melalui metode kesangsian, Descartes berupaya untuk menemukan kebenaran yang pasti dan kokoh bukan melalui kitab suci (keyakinan), melaikan rasio. Metode tersebut menjadi penemuan penting dalam filsafat, karena menunjukkan bahwa manusia bisa menemukan kebenaran dari dalam dirinya sendiri tanpa mengekor pada otoritas apa pun, termasuk keagamaan.

Biografi René Descartes

Rene Descartes lahir pada 31 Maret 1596 di sebuah kota kecil La Haye, Prancis. Anak ketiga dari seorang anggota Parlemen Britanny. Di usia 8 tahun, ayahnya mengirim Descartes ke sekolah College Royal de La Fleche yang didirikan oleh Henry IV dan dipimpin oleh Bapak Serikat Yesus.

Ia berada di sana hingga berusia 18 tahun dan dikenal sebagai siswa yang jenius. Karena itu, konon, Descartes dipebolehkan bangun lebih siang ketimbang siswa lain oleh guru-gurunya.

Sekolah itu memiliki kurikulum yang bertolak pada tradisi skolatisisme. Tradisi ini berupaya untuk mensintesa doktrin kekristenan dengan filsafat Aristoteles, sehingga fisika, matematika, etika, kosmologi, teologi, metafisika dan lain-lain sebagai sistem filsafat dipahami dalam kesalinghubungan dan keterkaitan. Kesatuan sistemik ilmu itulah yang nantinya memiliki pengaruh besar bagi Descartes untuk membangun pemikiran filsafatnya.

Namun, ia meninggalkan sekolah itu pada 1615 setelah menolak ajaran guru-gurunya. Ia kemudian melanjutkan studi hukum di Universitas Politiers hingga memperoleh bakaloerat dan lisensial pada 1616. Sehabis itu ia memilih untuk mengundurkan diri dunia ilmu pengetahuan.

Pengunduran diri tersebut adalah sikap ketidakpuasan Descartes terhadap ilmu pengetahuan pada masa itu yang dibangun dalam fondasi yang rapuh. Kebenaran yang diperoleh dalam ilmu pengetahuan tidak membuahkan kepastian dan malah memunculkan keraguan.

Hal ini bisa dibuktikan dari berbagai perdebatan yang tak kunjung usai dan konklusif. Karena itu, Descartes memutuskan untuk mencari kebenaran yang bersumber dari dirinya sendiri dan buku-buku besar kehidupan (pengalaman hidup).

Tak mengherankan bila kemudian Descartes melakoni banyak perjalanan, bergaul dengan banyak orang yang memiliki karakter dan status sosial yang berbeda, dan masuk dinas militer. Pengalaman yang sungguh kaya itu selalu ia refleksikan dan diskusikan demi menghapus berbagai prasangka yang tanpa sadar ia imani sejak kecil dan mendiskreditkan kapasitas dirinya untuk mendayagunakan rasio.

Di tengah petualangan itu Descartes mengalami tiga mimpi metodis filosofis yang salah satunya berkisah tentang dirinya yang menemukan sebuah buku puisi karya Ode ketujuh dari Ausonius yang bertuliskan Quod vitae sectabor iter (Jalan mana dalam kehidupan ini yang akan saya ikuti?).

Dengan mimpi itu, Descartes semakin yakin bahwa dirinya diamanahi tugas untuk menemukan kebenaran yang absolut melalui akal. Karena itu, ia bersumpah untuk berziarah ke Kuil Bunda Maria yang terletak di Loreto, Italia. Dinas militer dan perjalanan ke berbagai negara memaksa ia baru menjalankan nazar itu empat tahun kemudian (Frederick Collepston, 2021: 8).

Descartes kemudian kembali ke Prancis dan tinggal di sana selama beberapa tahun. Namun, ia merasa kehidupan di Prancis terlalu mengganggu, dan akhirnya memilih pindah ke Belanda yang pada masa itu dianggap sebagai negara yang memberikan kebebasan intelektual.

Descartes menetap di Belanda hingga tahun 1649 dan di sinilah ia menelurkan banyak karya seperti, Traiti du Monde, Discourse on the Method of rightly conducting the reason and seeking for truth in the Sciences, Rules for the Direction of the Mind, dan karya-karya lainnya.

Pada September 1649, ia memenuhi undangan Ratu Christina ke Swedia untuk mengajarinya filsafat. Musim dingin yang menusuk tulang sekaligus sistem kedisiplinan yang ditetapkan oleh sang ratu untuk datang jam lima pagi ke perpustakaannya membuat dirinya tidak kuat karena terbiasa bangun siang. Perubahan pola hidup yang drastis itu mengakibatkannya terserang penyakit pneumonia pada Januari 1650 dan menghembuskan napas terakhir sebulan kemudian.

Cogito Ergo Sum

Orang biasanya mengenal Descartes melalui diktum “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada). Diktum tersebut bertebaran di mana-mana: media sosial, brosur, kaos, dan lain-lain. Namun, adakah yang tahu mengapa Descartes memunculkan diktum tersebut?

Jawabannya bisa ditemukan ketika kita menelisik metode kesangsian Descartes. Metode yang dipahami oleh Descartes sebagai seperangkat aturan yang dapat digunakan untuk menemukan kebenaran yang tak diragukan lagi dengan meragukan berbagai hal.

Dalam pengakuannya sendiri, Descartes telah meragukan bahwa dunia ini ada, bahwa barangkali ia tidak sadar dan sedang bermimpi, bahwa apa yang ia ketahui selama ini hanyalah tipuan cerdik setan-setan yang jahat, bahwa dunia indra sebenarnya menipu, dan bahkan matematika tidak selalu membuahkan kepastian.

Pada pokoknya, apa pun yang meragukan betapa pun sedikitnya harus ditampik sebagai kebenaran. Lalu, apa yang tak meragukan sama sekali? Jawabannya adalah “Aku yang sedang meragu”. Itulah kebenaran yang tak akan bisa diragukan, sekalipun oleh tipuan-tipuan setan-setan jahat yang cerdik. Ketika aku meragu, secara implisit, aku sebenarnya tengah berpikir. Maka, Descartes mengatakan cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).

Cogito di situ tidak dipahami sebagai aktivitas mendayagunakan akal/pikiran, melainkan aktivitas menyadari sesuatu. Segala pekerjaan disebut dengan cogito, ketika terdapat aktivitas menyadari.

Bisa saja orang berjalan, berlari, menulis, melihat, dan lain sebagainya, tapi tak menyadari itu. Bahkan, orang yang berpikir bisa saja tidak sadar bila aktivitas berpikir dijalankan dalam mimpi. Intinya, kemengadaan/keeksisan seseorang ditentukan oleh intensitas kesadarannya akan sesuatu.

Cogito ergo sum bukanlah sebentuk inferensi dalam silogisme. Sebab, ketika menyimpulkan “aku berpikir, maka aku ada”, kita harus membuat premis mayor yang bersifat pasti terlebih dahulu yakni, “semua yang berpikir pasti ada”. Kita tak akan tahu bahwa segala sesuatu yang berpikir pasti ada, karena kasus itu hanya didasarkan pada pengalaman sendiri.

Lantas, bila bukan sebentuk inferensi, bagaimana kita memperoleh pengetahuan mengenai keberadaan aku yang berpikir itu? Jawabannya adalah melalui intuisi langsung. Dengan lain kata, diktum cogito ergo sum harus kita sadari sebagai sesuatu yang jelas dengan sendirinya berdasarkan intuisi langsung dari pikiran.

Descartes percaya bahwa pikiran dapat membentuk pengetahuan yang universal. Tanpa adanya pengalaman, pikiran kita dapat menjangkau segala hal dalam realitas ini. Sehingga, Descartes memperlihatkan kebenaran apriori dalam diri subjek untuk memperoleh pengetahuan yang pasti. Dengan demikian, Descartes adalah penganut rasionalisme.

Namun, Descartes tidak mengklaim bahwa segala macam aktivitas berpikir dapat mengantarkan pada pengetahuan yang pasti. Apa yang dimaksud oleh Descartes di sini ialah aktivitas berpikir yang berlandaskan pada persepsi yang jelas dan terpilah-pilah (distinc and clear). Artinya, persepsi itu hadir dan jernih dalam pikiran kita, sekaligus terdapat keterpisahan yang radikal antar berbagai persepsi.

Meski demikian, tetap saja hal itu tidak cukup karena setan-setan jahat bisa saja menipu kita. Untuk itu diperlukan Tuhan sebagai penjamin pengetahuan. Tuhan dalam pikiran Descartes adalah Subjek Maha Sempurna yang tak mungkin menganugerahkan akal budi yang cacat bagi manusia. Karena itu, operasi akal yang benar yakni, persepsi yang jelas dan terpilah-pilah, dapat mengantarkan kita menemukan pengetahuan yang pasti (F. Kennedy Sitorus, 2016: 15-17).

Referensi:

Copleston, Frederick, 1974, A History of Philosophy, New York: Image Books.

Sitorus, F. Kennedy, “René Descartes: ‘Saya Berpikir, maka Saya Ada’” dalam www.academia.edu, 2016.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Akbar Darojat Restu Putra

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya