Reinterpretasi Wacana Pemikiran dan Filsafat

slider
09 Januari 2024
|
1617

Judul: Lintasan Perspektif: Ihwal Pemikiran dan Filsafat | Penulis: Fahruddin Faiz | Penerbit: MJS Press, 2022 | Tebal: xxiv + 292 halaman | ISBN: 978-623-91890-2-0

Berbeda dengan beberapa karya sebelumnya yang didominasi oleh isu-isu praktis: Filosof Juga Manusia (2016), Sebelum Filsafat (2018), Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika (2020), buku Lintasan Perspektif: Ihwal Pemikiran dan Filsafat (2022) lebih bercorak akademis-metodologis. Kesimpulan ini merujuk pada leretan tema serta cara penyajiannya yang disajikan dalam buku tersebut.

Topik-topik yang diangkat dalam buku ini lebih pada konteks dialektika intelektual yang dialami oleh Pak Fahruddin Faiz sebagai seorang akademisi. Dengan lain kata, pergumulan intelektual penulis buku tidak terlepas dari low tradition yang beririsan dengan historisitas realitas akademis intelektual. Sebagian topik dalam buku tersebut sudah pernah disampaikan dalam ruang-ruang akademis, dimuat di jurnal-jurnal ilmiah serta dipresentasikan pada forum ilmiah.

Sebagai karya akademis, buku ini memotret dan menilik beragam perspektif ihwal pemikiran (Islam) dan filsafat. Diskursus pemikiran dan filsafat yang disorot dalam buku ini, antara lain terkait pemikiran filsafat Barat dan Islam, pemikiran keagamaan, pemikiran sufisme Persia, pemikiran politik, pemikiran tafsir Qur’an, hingga mitos-mitos di seputar petilsan Sunan Kalijaga. Semua tema yang disajikan tersebut adalah perspektif Pak Faiz. Bisa jadi pembaca memiliki perspektif berbeda dengan buku ini. Itu adalah hal wajar. Hal tidak wajar bahkan berbahaya adalah ketika kita mendaku perspektif kita sebagai satu-satunya kebenaran objektif.

Isu-isu yang diangkat oleh pengasuh Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman ini tergolong universal sekaligus selalu kontekstual. Hal menariknya adalah meskipun isu tersebut sangat lumrah dibicarakan, terutama di kalangan akademisi, justru pengetahuan dan pemahaman kita seakan berada pada titik anomali.

Dari sini kita diajak untuk berhenti sejenak merenungkan kembali isu tersebut dengan cara pandang yang berbeda. Hanya dengan cara demikian ilmu pengetahuan bisa berkembang sesuai dengan historitas realita yang ada.

Jiwa dalam Pemikiran Filsafat Barat dan Islam

Selama ini para filosof kontemporer ketika membahas jiwa hanya berhenti pada jiwa dalam kaitannya dengan psikologi. Menurut Pak Faiz, para filosof Barat kontemporer tidak banyak yang serius mengelaborasi esensi dan eksistensi jiwa sebagaimana yang dilakukan oleh filosof muslim sebelumnya.

Isu tentang jiwa merupakan salah satu fokus para filsuf, Barat maupun muslim. Kedua tradisi Barat dan Timur mempunyai perspektif yang berbeda ihwal jiwa. Tradisi Barat berkesimpulan bahwa jiwa itu ya tubuh. Pandangan ini dimotori oleh aliran materialisme. Dalam perspektif materialisme, jiwa (juga pikiran) tidak terpisah dari tubuh. Karena itu, memahami jiwa cukup melalui perspektif biologi, fisika, dan kimia.

Berbeda dengan perspektif Barat, filsuf muslim memandang jiwa bukan sebagai gejala kimiawi. Filsuf muslim sepakat bahwa jiwa merupakan entitas tersendiri dan lain dari badan. Salah satu buktinya, menurut Al-Kindi, jiwa kadang menentang keinginan nafsu yang berorientasi bagi kepentingan badan. Bukan hanya itu, para filsuf muslim lainnya seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, Ibnu Bajjah, dan Ibnu Tufayl, memandang jiwa mempunyai daya tertentu.

Menurut Al-Farabi misalnya, jiwa memiliki tiga daya, yakni daya gerak, daya mengetahui, dan daya berpikir. Daya gerak seperti gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu, dan bergerak untuk berkembang biak. Daya mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi. Terakhir, daya berpikir seperti untuk menyimpulkan apa yang dikerjakan dan membantu dalam penyempurnaan jiwa.

Pemikiran Keagamaan

Potret “manut” guru, ulama, ustadz maupun kelompok yang diyakini kebenaran pemikiran keagamaan adalah pemandangan yang wajar. Namun “manut” ini perlu ditempatkan secara pas dan proporsional. Jika tidak pas dan proporsional, hal tersebut bisa (berpotensi) menimbulkan sikap eksklusif, fanatik, kebekuan berpikir, bahkan benturan fisik antar pemikiran dan kelompok yang berbeda perspektif dalam kehidupan umat beragama.

Isu seperti inilah yang disorot oleh Mohammed Arkoun. Arkoun mengkritik pola pikir yang mensakralkan pemikiran keagamaan. Ia juga berusaha menunjukkan takaran pas dan proporsional antara pemikiran keagamaan sebagai produk manusia yang penuh keterbatasan dengan kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan. Menerima dan mengikuti begitu saja pemikiran keagamaan yang ada tanpa diikuti dengan sikap kritik reflektif tentunya akan menyulitkan kita beradaptasi dengan perubahan masyarakat.

Olehnya itu, Arkoun mengarahkan kita untuk menyadari keterkaitan antara pemikiran, bahasa, dan sejarah. Jika kesadaran ihwal pemikiran, bahasa, dan sejarah muncul, dimungkinkan adanya kesadaran mengenai pluralitas keagamaan, kesadaran ihwal dinamika pemikiran Islam sehingga sikap kita terbuka, senang dialog, tidak mandeg, dan tidak kaku.

Salah satu pemikiran keagamaan yang penting untuk dipahami dan direnungkan adalah ihwal agama merupakan candu dari masyarakat perspektif Karl Marx. Rekonstruksi pemikiran keagamaan Marx tersebut melanjutkan kritik Hegel dan Feuerbach. Dalam konteks Feuerbach, agama merupakan hasil pemikiran manusia. Mereka mengharapkan kebahagiaan sejati yang tidak pernah diperoleh di dunia. Sebab dunia yang mereka tinggali sedang tidak baik-baik saja. Pada akhirnya, masyarakat terasing dengan keadaan diri sebenarnya di dunia.

Konteks seperti di atas menjadi pijakan kesimpulan Marx bahwa agama dijadikan tempat pelarian masyarakat disaat terjadi penindasan, kekerasan, dan segudang problem. Masyarakat bukannya mencari solusi lalu beraksi melawan penindasan kelas penguasa, namun menenangkan diri dengan agama. Agama adalah candu masyarakat.

Pemikiran Tafsir Qur’an

Ada dua faktor yang menghambat laju perkembangan pemikiran tafsir abad ini. Pertama, gaya berpikir “ikut-ikutan” atau dalam istilah Arkoun disebut “taqdis al-afkar al-diniyyah”. Kedua, mode pemikiran tafsir yang condong dengan historisitas paradigma ilmu sosial humaniora kontemporer tetapi kendor dengan normativitas isi dan pesan Al-Qur’an.

Menurut Pak Faiz, kedua sebab di atas berdampak masif, yakni Al-Qur’an menjadi asing dan tidak lagi operasional fungsional dalam kehidupan umat Islam. Sebagai antithesis dari keadaan di atas, para pemikir Islam menggelorakan isu-isu besar, seperti reaktualisasi, rekonstruksi, dan kontekstualisasi normativitas isi dan pesan Al-Qur’an.

Perspektif hermeneutika pada akhirnya menjadi salah satu cara menurut Pak Faiz untuk mengkontekstualisasikan isi dan pesan Al-Qur’an. Paling tidak ada empat hal mengapa diperlukan rekonstruksi pemikiran tafsir Al-Qur’an, yakni Al-Qur’an memuat seperangkat petunjuk yang sifatnya umum dan global, munculnya problem baru yang tidak termuat secara eksplisit dalam Al-Qur’an, munculnya wacana kontrkstualisasi kitab suci dalam agama-agama lain, terakhir pergeseran pemikiran dan pergumulan intelektual umat Islam dengan berbagai wilayah keilmuan dan serta beragam kalangan.

Ihwal Perspektif

Sebagaimana telah singgung di atas bahwa ragam isu lama diracik dengan perspektif baru sehingga apa yang dibahas tergolong baru. Kemampuan Pak Faiz menemukan celah dalam setiap isu yang ditulis patut ditiru, terutama oleh para mahasiswa. Dengan demikian, walaupun sekian persoalan dan isu yang sudah pernah didialektikakan oleh sejumlah pemikir, kita masih bisa menemukan gap dan kebaruan dari isu tersebut. Sehingga isi tulisan tidak hanya mengulang isu  yang sama tetapi juga menawarkan perspektif baru. Inilah salah satu sudut kreatifitas Pak Faiz yang dituangkan dalam buku tersebut.

Tentu saja isu-isu yang dihadirkan dalam buku ini bisa “dibunyikan” kembali dalam membaca realita saat ini. Menjadikan isu yang ada sebagai perspektif untuk membaca realita sekarang paling tidak merupakan pembacaan yang produktif. Namun, tetap saja cara pandang dalam buku ini tidak harus diabsolutkan. Sebab, ini hanyalah perspektif. Sebagai perspektif, tentu sangat terbuka untuk ditambal sulam, dikritik, dibongkar, dikontruksi, bahkan direkontruksi oleh pemilik zaman dan konteks yang berbeda-beda.

Menurut Pak Faiz, perspektif adalah kaca mata kita, cara pandang, dan sudut pandang kita terhadap realitas. Salah mengatur perspektif bisa berujung masalah. Sebagian orang mengganggap pendapatnya, pengetahuan sebagai satu-satunya yang paling benar. Padahal itu semua bersifat perspektif.

 

Namun harus diakui bahwa buku ini bermanfaat dalam memperkaya perspektif ihwal ragam tema pemikiran (Islam) dan filsafat. Dengan cara penyampaian gagasan demi gagasan yang sistematis, kita tentu tidak kesulitan menangkap dan memahami poin-poin pentingnya. Bahkan jika ingin memperdalam lagi isu-isu yang dibahas, kita bisa melacak “pergumulan” sumber-sumber yang dirujuk.

Selamat membaca!


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ismail

Mahasiswa Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga, Santri Ngaji Filsafat