Potret Peranan Masjid di Masa Silam
Judul : Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid | Penulis : Prof. Nasaruddin Umar | Penerbit : Grasindo | Cetakan : cetakan pertama, 2021 | Tebal : 144 halaman | ISBN : 978-602-05-2826-7
Masjid memiliki peranan yang penting dalam perkembangan agama Islam. Selain sebagai ruang untuk beribadah, masjid juga digunakan sebagai ruang perkumpulan umat muslim di masa silam. Sekian kejadian di masa Kanjeng Nabi Muhammad Saw dilakukan di dalam masjid: menerima tamu, menyusun strategi perang, untuk menahan tawanan perang, ruang pelatihan keterampilan dan seni Islam, serta untuk menyampaikan berbagai informasi berkaitan dengan Islam.
Misalnya, sekali waktu Kanjeng Nabi Muhammad Saw kedatangan 60 orang tamu tokoh lintas agama ketika, Nabi bersama sahabat tengah menunaikan salat ashar. Masing-masing dari mereka mengenakan pakaian kebesarannya.
Setelah rampung salat ashar, beberapa diantaranya meminta izin ingin mendirikan kebaktian dengan menghadap ke arah timur di kompleks masjid. Dan Nabi mengizinkannya. Cerita ini diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah.
Belakangan, riwayat ini memicu saling silang pendapat di antara para ulama. Sebagian besar ulama menjadikan riwayat tersebut sebagai legitimasi bolehnya non-muslim masuk ke masjid, kecuali Masjidil Haram. Beberapanya lagi menolak riwayat tersebut karena tidak ada dalil penguat dari hadis atau riwayat lain yang lebih shahih. Sebagian kecil memberi penerangan bahwa kemungkinan di masa itu, gereja yang dekat tidak ada. Maka kebaktian dilakukan tidak di dalam masjid, namun masih berada di kompleks masjid (sisi samping atau terasnya).
Penjelasan serupa berkaitan dengan peran masjid di masa Kanjeng Nabi Muhammad dapat kita temui di buku berjudul Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid (2021) yang ditulis oleh Prof. Nasaruddin Umar. Buku setebal 144 halaman ini, menyediakan berbagai informasi yang komprehensif mengenai posisi dan kondisi masjid sejak masa Kanjeng Nabi Muhammad sampai, ke arah mana kira-kira masjid di negeri ini akan diberdayakan untuk umat muslim di masa depan?
Sebab data menunjukkan, bahwa di Indonesia sendiri telah berdiri sekitar 800 ribu masjid dan mushala yang letaknya berada di tengah-tengah masyarakat. Jumlah tersebut masih dimungkinkan bertambah setiap tahunnya. Dengan kuantitas masjid sebanyak ini, akan menguatkan umat muslim jika dapat didayagunakan sedemikian rupa (hlm, 12).
Hanya saja ketika kita berkunjung ke berbagai masjid, peran-peran masjid yang lain tidak terdengar nyaring selain sisi peribadatan yang bernilai pahala. Hal itu didukung juga dengan sekian fasilitas masjid yang membuat betah jamaah untuk duduk berlama-lama: menunaikan salat dan dzikir sampai mendengarkan ceramah memuat nasihat kebaikan.
Sampai-sampai ketika ada orang yang hendak terlelap di malam hari, harus ditolak dengan mengunci rapat-rapat pintu dan pagar masjid agar awet bersih. Masjid memang menjadi semakin bagus, namun berjarak dengan mereka yang membutuhkan sekadar untuk terjaga semalam saja.
Padahal di masa nabi, ada ruang khusus di sekitar masjid yang disediakan untuk tempat bermalam bagi mereka yang membutuhkan. Kita mengenalnya dengan ahlu shuffah (hlm, 62). Di situ, baik tamu jauh dari pedalaman Arab atau muslim yang tidak memiliki rumah, dapat memanfaatkannya selama menjaga kebersihan dan ketentuan yang telah disepakati.
Hari ini mungkin ahlu shuffah itu diganti dengan hotel atau tempat penginapan yang dikelola oleh pengurus masjid. Tapi persoalannya, apakah itu memang diperuntukkan kepada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal, atau kepada jamaah singgah yang menaiki mobil dari luar kota?
Selain itu, buku ini juga memberi referensi penting mengenai peran sosial dari menara masjid. Bahwa fungsi utama menara masjid adalah untuk menyerukan kumandang adzan, memang benar adanya. Lagi-lagi di masa nabi, menara masjid juga menjadi lokasi untuk memilah mana umat muslim yang memerlukan bantuan, dan mana yang telah sejahtera ketahanan pangan keluarganya.
Kutipan di buku: “... menara masjid juga digunakan untuk memantau rumah-rumah warga masyarakat yang tidak pernah dan selalu mengepul asap dapurnya” (hlm, 99). Dari sini, nabi melalui sahabatnya dapat mengidentifikasi mana umatnya yang tengah kelaparan untuk dibantu dan mana yang kelebihan makanan agar mau membantu.
Di samping cerita-cerita mengenai peran masjid yang cukup signifikan di masa Kanjeng Nabi Muhammad, buku ini juga memberi sejumlah kritik untuk arah gerak masjid umat Islam di masa depan. Misalnya, kritik tentang kultur masjid yang kerap dinilai sakral dan suci, sehingga disimplifikasi hanya boleh digunakan untuk mereka yang ingin atau ahli beribadah.
Akibatnya, jika ada anak kecil yang berlarian atau berteriak di dalam masjid akan dianggap sebagai gangguan. Padahal ada sebuah qaul yang memberi pernyataan bahwa, teriakan anak-anak di (dalam) masjid adalah (sebuah) doa (hlm, 126).
Terlepas dari ada qaul atau riwayat putra-putra nabi yang bermain di masjid, saya rasa masjid juga mesti ramah pada anak-anak. Karena dalam kurun waktu dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan, anak-anak ini yang akan menjadi pengelola masjid.
Jika sedari kecil telah peroleh pengalaman yang tidak mengenakkan, bisa jadi pengalaman itu akan terus-menerus dilanggengkan. Atau mungkin parahnya, anak-anak ini menjadi enggan bermain ke masjid dan memilih ruang-ruang lain yang potensi merusaknya lebih besar.
Posisi buku ini menjadi penting dibaca bagi para pengurus atau takmir masjid di masa dewasa ini. Supaya, peran-peran masjid yang lain dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhan jamaah setempat.
Hanya saja seperti bagian pengantar di buku: “Namun, perlu ditegaskan bahwa pemberdayaan masjid tidak boleh serta merta mengalihkan fungsi masjid menjadi ruko atau pasar yang kemudian menghilangkan nilai kesakralan masjid sebagai Rumah Allah”. Ya, masjid tetaplah masjid, tetapi dengan tidak mensimplifikasi sisi-sisi lain yang kebermanfaatannya ditujukan bagi seluruh makhluk-Nya.
Wallahu’alam.
Category : resensi
SHARE THIS POST