Potret Penyakit Politik dan Sosial Indonesia
Judul : Saya Berambisi Menjadi Presiden ǀ Penulis : Bur Rasuanto ǀ Penerbit : Kompas ǀ Cetakan : 2014 ǀ Tebal : xvi + 240 halaman ǀ ISBN : 978-979-709-815-5
Politik dan sosial adalah dua bidang yang lengkara untuk dipisahkan. Keduanya saling memengaruhi. Suasana politik akan membentuk kondisi sosial, vice versa. Dua bidang itu juga memiliki porsi yang cukup besar dalam menunjang kesentosaan masyarakat.
Karena itu, apabila keadaan bidang politik dan sosial suatu bangsa sakit-sakitan, kehidupan masyarakat akan penuh masalah, dan pada ujungnya dapat menjauhkan mereka dari kesejahteraan.
Penyakit politik dan sosial yang diderita bangsa Indonesia—terutama pada masa rezim militer Orde Baru—dipotret Bur Rasuanto lewat tulisan-tulisannya. Bur, seorang wartawan-sastrawan kawakan dan merupakan salah satu pendiri Tempo, mendokumentasikan sepak terjang kehidupan pada masa Orde Baru dalam esai-esainya yang terbentang dari 1977 sampai 1999 di harian Kompas.
Esai-esai tersebut kemudian dikumpulkan dalam buku Saya Berambisi Menjadi Presiden. Buku ini berisi 29 esai, yang terdiri dari 14 esai kategori politik dan 15 esai kategori sosial. Beragam isu politik dan sosial dibicarakan Bur. Berbagai kelakuan keliru dan tidak sesuai dengan kaidah demokrasi yang ditunjukkan para pejabat menjadi sasaran empuk kritik Bur. Bahkan, Bur dengan berani menyebut nama-nama yang bersangkutan.
Keprihatinan Bur juga ditunjukkan terhadap iklim sosial bangsa Indonesia yang penuh persoalan. Dengan gayanya yang blak-blakan dan lugas, kritik Bur begitu tajam menghujam.
Bur menguliti fakta yang terlihat dan membelek makna yang tersirat dari berbagai fenomena politik dan sosial pada era itu.
Penyakit Politik
Esai pertama (dimuat pada 20 Desember 1977), yang juga menjadi judul buku ini, barangkali menjadi yang paling menarik. Selain karena dibawakan dengan gaya fiktif dan analisis yang ilustratif, esai yang berjudul Saya Berambisi Jadi Presiden menggambarkan betapa kuatnya rezim Orde Baru dan begitu berkuasanya Soeharto.
Mereka, yaitu Soeharto dan rezim militer yang ia pimpin, pada saat itu berpeluang besar menjadi pemimpin nasional untuk ketiga kalinya. Dengan cara membungkam sosok-sosok lain yang tercium punya niat mencalonkan diri sebagai presiden. Rezim berhasil menutup rapat celah politik yang memungkinkan orang lain menggantikan Soeharto. Bur menyoroti praktik tidak etis rezim dalam mempertahankan kekuasaannya tersebut.
Bur menggambarkan betapa hanya untuk bermimpi menjadi presiden saja orang sudah ketakutan. Oleh karena itu, ia dengan cerdas, dan sarkastis, menuliskan imajinasinya andai kata menjadi presiden. Namun, tentu saja, itu hanya imajinasi dan tetap menjadi imajinasi.
Walau demikian, esai ini secara tidak langsung memberi saran terkait hal-hal yang mesti dilakukan seorang presiden. Esai pertama ini juga menjadi semacam pemanasan sebelum membaca esai-esai selanjutnya. Sebab pada esai lainnya, Bur lebih ceplas-ceplos saat mengemukakan kritik.
Dalam esai berjudul “Kekerasan Struktural”, misalnya, Bur membincangkan berbagai peristiwa kerusuhan yang didukung, kalau bukan dilakukan sendiri, oleh aparat bersenjata. Bahkan, ada pula pejabat negara yang mempertontonkan kemarahannya di depan publik hanya karena hal remeh saat ditanyai wartawan.
Hal-hal itu menunjukkan bahwa sistem politik sedang sangat tidak sehat. Politik kekerasan seolah menjadi ciri khas Indonesia yang mengakibatkan politik bersifat represif—sehingga mudah sekali menuduh orang subversif, makar, ekstremis, dan karenanya perlu dilibas, sikat, pukul.
Praktik suap, korupsi, kolusi, nepotisme, demokrasi semu, penyalahgunaan wewenang, budaya tak punya malu, dan tidak pernah merasa bersalah para pemegang kebijakan juga turut dikritik Bur. Fenomena-fenomena tersebut bagi Bur patut disesalkan, karena efek lanjutannya tak lain adalah merangsang keberingasan sosial.
Penyakit Sosial
Bagian sosial berisi esai-esai yang tidak kalah menarik dari bagian politik. Bahkan, mungkin pula terasa lebih membumi, karena kasus-kasusnya begitu dekat dengan aktivitas sehari-hari.
Misalnya dalam esai berjudul “Spekulan dan Etika Dagang”, Bur mengkritik habis keserakahan para pedagang. Mereka seolah “memanfaatkan” kebijakan moneter baru yang dikeluarkan pemerintah dan membuat nilai rupiah turun sehingga harga-harga barang kebutuhan hidup meningkat. Dengan nafsu mengeruk keuntungan secara besar-besaran, para pedagang seakan tidak peduli bila masyarakat tercekik oleh harga yang dinaikkan semena-mena. Bur pun mempertanyakan di mana etika dagang para peniaga tersebut.
Para pedagang seperti lupa bahwa eksistensi mereka hanya dimungkinkan oleh adanya masyarakat-pembeli. Oleh sebab itu, Bur menekankan keharusan bagi pedagang maupun pengusaha untuk memiliki kode etik sehingga mereka punya patokan tingkah laku yang etis.
Bur menuliskan, “Seperti pekerjaan dokter, pengacara, guru, wartawan, misalnya, berdagang pun tidak harus dilihat semata-mata mencari nafkah, tapi juga melakukan tugas kemasyarakatan karena dalam aktivitas dagang itu tersangkut kepentingan dan hajat hidup masyarakat luas. Karena itu, berdagang tak sepatutnya hanya memperhatikan aspek komersial-ekonomis, tapi harus pula memperhatikan aspek etis.” (hlm, 169)
Pada esai-esai lainnya di bagian ini, Bur juga mengkritik mentalitas dan paradigma masyarakat terkait olahraga, pendidikan, sampai pornografi.
Pada dunia olahraga, Bur menuliskan kemasygulannya melihat maraknya praktik keculasan, yang bukan sekadar menihilkan prestasi, tetapi juga menginjak norma-norma sportivitas.
Sedangkan pada dunia pendidikan, Bur menyampaikan pandangannya terkait problem yang ada, seperti terbelakangnya aspek kesejahteraan guru dan kasus pemalsuan ijazah—yang mengindikasikan bermasalahnya pendidikan bangsa Indonesia.
Pada tulisan lain yang berjudul “Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika”, Bur menyerang argumen-argumen para pornokrat (begitu Bur menyebut mereka) yang membela pornografi dengan dalih estetika dan kebebasan berekspresi. Bagi Bur, pornografi bukanlah seni, dan karenanya jauh dari unsur keindahan serta tidak sesuai dengan etika-moralitas yang absah diakui masyarakat umum.
Kritik-kritik dan analisis Bur dalam buku Saya Berambisi Menjadi Presiden ini menunjukkan kekhawatiran sekaligus kepeduliannya pada kehidupan bangsa Indonesia. Rezim Orde Baru, termasuk kehidupan politik dan sosial di masa itu, yang menjadi sasaran kritik Bur, memang telah tumbang lebih dari dua dekade yang lalu.
Namun, tampaknya, kebobrokan moral dan mental yang menjadi karakter manusia era itu masih terasa sampai hari ini. Kita perlu mengingat wejangan Bur di bukunya itu bahwa, jangan sampai pembangunan Indonesia yang bercita-cita menciptakan manusia yang utuh, justru melahirkan manusia Indonesia yang runtuh (hlm, 158).
Category : resensi
SHARE THIS POST