Pertama Cinta, Kedua Kerja, Ketiga Bahagia

slider
29 September 2021
|
3428

Tiga kata kunci itu—cinta, kerja, dan bahagia, membentuk rumus untuk mencapai kesuksesan: cintailah segala hal yang kita lakukan dengan penuh kesadaran, termasuk pekerjaan. Dengan kecintaan pada pekerjaan, maka akan tiba pada kebahagiaan.

Tidak perlu memiliki perusahaan besar, bisnis yang menggurita, atau uang miliar-triliunan. Sebab semua itu bukan jaminan mendapat bahagia, meskipun mungkin bisa menjadi pengantar ke kebahagiaan.

Namun, dengan tiga kata kunci yang terdengar sederhana seperti itu, tidak semua orang bisa melakukannya. Mencintai pekerjaan tetap saja merupakan hal yang sukar.

Banyak orang masih menganggap cara terbaik untuk sukses adalah dengan memiliki hal yang bersifat material, konkretnya uang, dengan jumlah yang sangat banyak. Orang-orang seperti itu biasanya hanya fokus pada hasil. Dengan mempunyai banyak uang itu, mereka mengira kebahagiaan akan datang dengan sendirinya. Padahal ekspektasi begitu seringkali berjempalitan.

Saya teringat pada cerita pendek karangan Seno Gumira Ajidarma berjudul “Sarman”—yang merupakan nama tokoh utamanya. Sarman, seorang pegawai yang di suatu hari mengamuk di kantor karena mencapai puncak kejenuhannya dalam bekerja, padahal ia baru saja menerima gaji.

Sambil meloncat dari meja ke meja dan membuat berantakan isi ruangan, Sarman melempar-lempar uang gajinya ke udara. Sementara karyawan-karyawan lain terus berebutan uang yang melayang-layang itu dengan rakus seperti kucing kelaparan, Sarman berteriak dengan marah.

“Sudah sepuluh tahun aku bangun tiap pagi dan berangkat dengan tergesa-gesa ke kantor ini! Sudah sepuluh tahun aku berangkat pagi hari dan pulang sore hari melalui jurusan yang sama! Sudah sepuluh tahun aku memasukkan kartu absen di mesin keparat itu tiap pagi dan sore! Sudah sepuluh tahun aku melakukan pekerjaan yang itu-itu saja delapan jam sehari! Sudah sepuluh tahun! Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi!”

Saya membayangkan, mereka yang mengukur kesuksesan dari berapa banyak uang yang bisa dihasilkan dari pekerjaannya, dengan harapan uang itu dapat membeli kebahagiaan, adalah mereka yang memasukkan diri ke lubang kegelapan. Hidup akan terasa suram, membosankan, dan tidak ada kemajuan.

Sebab fokus pada uang sama dengan mengejar bayang-bayang. Seseorang yang mengejar uang mungkin sulit akan menemui kepuasan, karena mencari uang membabi buta dengan legowo menerima apa adanya seringkali berada pada dua kutub yang berlawanan.

Berkaitan dengan itu, Voltaire mengatakan, “Don’t think money does everything or you are going to end up doing everything for money.” Mereka yang terjebak dalam lingkaran setan yang berporos pada uang akan sulit menemukan gairah pada aktivitas yang dilakukan. Nihilnya gairah, pada akhirnya, hanya akan membuat mereka berkubang pada kebosanan.

Oleh karena itu, anggapan tentang pekerjaan yang hanya berfokus pada pokoknya mendapatkan uang minimal ditekan, atau kalau perlu disingkirkan. Ada banyak hal yang lebih bernilai ketimbang uang. Dan yang paling utama, saya kira, adalah kebahagiaan kita sendiri ketika bekerja.

Kebahagiaan itu bisa terwujud lewat kesesuaian keterampilan seseorang dengan pekerjaan yang ia jalani, lingkungan yang suportif, dan tantangan-tantangan yang menggugah semangat serta mendorong hadirnya kreativitas.

Pun kesesuaian keterampilan atau latar belakang intelektual seseorang dengan pilihan pekerjaan yang ia ambil punya porsi cukup besar dalam menentukan kesuksesan. Faktor ini berkaitan dengan sesuatu yang dinamai ‘panggilan hidup’—dengan kata lain: cita-cita tertinggi yang kita ingin raih.

Pekerjaan yang sesuai dengan ‘panggilan hidup’ ialah pekerjaan yang menjadikan seseorang sebagai sosok yang paling diidamkan. Maka diperlukan kesadaran jati diri, termasuk menggali-nyadari bakat alami yang terkandung dalam dirinya. Kesadaran jati diri tersebut nantinya dapat menuntun  seseorang dalam memilih jalan kerja yang tepat.

Seseorang yang telah berada pada jalan kerja yang tepat akan lebih mudah mendedikasikan hidupnya. Sebab ia sadar dan menaktualisasikannya.

Seseorang yang insaf bahwa jati dirinya adalah sebagai pengajar, dan ia telah menempuh pendidikan serta berbagai rupa pelatihan mengajar dengan harapan memang menjadi pengajar, tentu akan lebih optimal dalam mengekspresikan dirinya—beserta kemampuannya—apabila bekerja di bidang pendidikan.

Sebaliknya, seseorang yang tidak menemukan ‘panggilan hidup’ atau tidak mau mencarinya, hanya akan terjebak pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan siapa dirinya. Ia pun hanya akan membebek pada apa kata orang lain tentang pekerjaan yang harus ia lakukan. Dan lagi-lagi, itu membuatnya terjerembap ke lingkaran yang melulu bertujuan pada uang.

Selain kesesuaian pekerjaan dengan jati diri, perlu juga memiliki lingkungan kerja yang suportif. Lingkungan kerja yang suportif, menyenangkan, yang berisi hal-hal baru dan tantangan-tantangan yang memicu kreativitas senantiasa lebih produktif daripada lingkungan kerja yang penuh rutinitas.

Rutinitas kerja yang membosankan seringkali melahirkan stagnasi bahkan dekadensi karena tidak ada gairah dalam menunaikannya. Sampai titik tertentu, bisa saja orang seperti Sarman pada cerita pendek di atas bermunculan.

Dengan adanya faktor-faktor tersebut, kecintaan terhadap pekerjaan dapat bertumbuh. Ketika seseorang sudah dapat mencintai pekerjaannya dengan sepenuh hati, ia tidak akan lagi memandang pekerjaan sebagai suatu aktivitas mengeluarkan energi yang penuh tuntutan demi mendapat upah.

Melainkan akan melihat pekerjaan sebagai suatu aktivitas yang menggembirakan dengan buah kebermanfaat dan kesejahteraan hidup. Atau, dengan bahasa yang lebih puitis, kita tidak lagi menyebut aktivitas kita sebagai ‘pekerjaan’, tetapi kita beri nama ‘berkarya’.

Akhirnya, saya ingin mengutipkan perkataan Seno Gumira Ajidarma yang lain, yang mungkin bisa jadi renungan tentang pekerjaan: “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Febrian Eka Ramadhan

Peserta Kelas Menulis menemui senja di MJS Jilid #5. Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY. Penulis buku Satu Hal Yang Tak Boleh Sirna: Esai-Esai Pilihan (2022).