Persoalan Identitas dalam Kacamata Amartya Sen
Amartya Sen adalah seorang peraih Nobel Ekonomi pada 1998. Pemikirannya ikut melahirkan Indeks Pembangunan Manusia sebagai tolak ukur alternatif pencapaian pembangunan.
Menurut catatan Sunaryo dalam buku Etika Berbasis Kebebasan Amartya Sen (2017), Sen yang merupakan kelahiran Bengal (India) pada 1933 ini berkesempatan mengenyam pendidikan di Trinity College, Universitas Cambridge (Inggris), di mana Sen menaruh minatnya pada filsafat. Pada 1980-an, Sen pun berkesempatan mengajar di Universitas Harvard.
Bisa dikatakan, Sen merupakan seorang ekonom dan filosof yang berpengaruh pada era kontemperer. Salah satu masalah yang menjadi fokus perhatian Sen, yakni persoalan keterkaitan antara identitas dan kekerasan. Tulisan ini bermaksud mengelaborasi fokus masalah yang menjadi salah satu perhatian dari Sen tersebut.
Membaca Kegelisihan Pikiran Amartya Sen
Perhatian Sen menyangkut identitas dan kekerasaan dituangkan dalam buku Kekerasan dan Identitas (2016), tidak bisa dilepaskan dari pengalaman Sen sendiri pada masa kecilnya. Pada usia 11 tahun, Sen menyaksikan seorang buruh muslim ditikam hingga tewas dalam kerusuhan sektarian di India. Para penikamnya adalah kelompok Hindu yang sebenarnya adalah sama-sama buruh miskin.
Lalu, yang menjadi pertanyaan menggelisahkan pikiran seorang Sen, yang di kemudian hari mendorongnya untuk menelusuri persoalan yang amat pelik tersebut, yaitu mengapa kesamaan identitas kelas ekonomi bisa terlupakan dan tergantikan secara membabi buta dengan identitas keagamaan?
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai identitas yang tidak tunggal. Adapun identitas yang tidak tunggal tersebut bisa berangkat dari identitas agama atau budaya, kelas sosial dan lain-lain, lalu mengapa manusia yang melakukan kekerasaan tersebut hanya melihat seseorang dari identitas agamanya semata? Mengabaikan identitas lainnya yang padahal memiliki kesamaan dengan identitas dirinya, yakni identitas kelas sosial dan ekonomi sebagai sama-sama warga miskin dan seorang buruh?
Seorang bisa membenci seorang lainnya, karena persoalan identitas, entah karena ia seorang Muslim, Hindu, dan sebagainya, tapi orang tersebut mengabaikan bahwa seorang yang ia benci karena identitasnya (Muslim, Hindu, dan sebagainya) tersebut sebenarnya bisa saja memiliki kesamaan identitas dengan dirinya dari aspek yang lain. Orang seakan meminggirkan suatu fakta bahwa pada diri seseorang bisa terdapat beragam identitas.
Keterkaitan Identitas dan Kekerasaan
Sen berpendapat bahwa sumber utama potensi konflik di dunia kontempoerer ini adalah praanggapan yang menyebut orang bisa secara mutlak dikategorikan berdasarkan agama atau budayanya saja. Bagi Sen, keyakinan yang tersirat dalam klasifikasi yang serba mutlak ini dapat menyebabkan dunia menjadi panas membara.
Sen menulis “Masalah sosial-politik saat ini berkisar di seputar perseteruan akibat penegasan identitas yang berlainan di antara kelompok yang berbeda-beda, sebab konsepsi tentang identitas ini memengaruhi pemikiran dan tindakan kita melalui berbagai cara”.
Sen melihat dunia kerapkali dipandang sebagai kumpulan agama-agama (atau “peradaban-peradaban” atau “kebudayaan-kebudayaan”), dengan mengabaikan identitas-identitas lain yang dimiliki dan dihargai oleh manusia, seperti kelas, jenis kelamin, profesi, keilmuan dan lain-lain. Bahkan, pemilahan bulat-bulat tersebut, bersifat lebih konfrontatif dibanding membentuk aneka kesatuan dari aneka macam klasifikasi majemuk yang membentuk dunia yang kita tinggali.
Sen menyoroti ilusi “identitas tunggal” ataupun “pemutlakan identitas”, yang jelas bersifat reduksionisme, yang kerapkali dijadikan untuk konfrontasi. Hal tersebut sudah barang tentu dapat mengundang konflik dan kekerasaan. Identitas tunggal atau pemutlakan identitas, yang mengubah seorang manusia yang multidimensi menjadi satu dimensi, disebut Sen sebagai suatu manipulasi.
Sen menyoroti bagaimana konflik identitas banyak dan terus terjadi di dunia akibat adanya pandangan dan provokasi soliteris. Identitas dapat menjadi jualan yang efektif untuk mengobarkan permusuhan dan kebencian yang terkait dengan kepentingan-kepentingan (termasuk politik) tertentu. Banyak terjadi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan atas nama “kelompok kami”. Identitas sangat rentan dimanfaatkan untuk memupuk aksi-aksi yang agresif.
Sen menulis, “Visi soliteris yang mengecilkan identitas manusia ini dampaknya amat luas. Ilusi yang dipakai untuk memecah belah manusia ke dalam kategori-kategori yang ketat dan kaku ini bisa dieksploitir untuk menggerakkan pertikaian antarkelompok”.
Lalu, menjadi pertanyaan selanjutnya yang relevan untuk diperbincangkan, yaitu bagaimana upaya yang bisa kita lakukan di tengah adanya potensi konflik sebagai akibat ilusi identitas tunggal?
Mengupayakan Dunia yang Lebih Baik
Perlu ditegaskan, Sen sendiri menyadari—di sisi yang lain—identitas sendiri bisa menjadi sumber kebahagiaan dan kehangatan, identitas diakui secara luas menjadi elemen fundamental dalam kepustakaan teori-teori sosial mengenai modal sosial.
Modal sosial sebagaimana yang dijelaskan oleh Francis Fukuyama dalam The Great Disruption (2002) memungkinkan setiap anggota masyarakat atau warga negara untuk saling bekerjasama dan melandaskan adanya kesalingpercayaan.
Akan tetapi, yang perlu dijelaskan lebih lanjut, identitas yang bisa mendorong seorang untuk mengasihi sesama, seperti tetangga, teman dalam komunitas dan sebagainya, bisa juga menjadi alasan seorang untuk membenci atau bertindak keras, misalnya saja kepada pendatang, imigran, dan lain-lain, manakala identitas dipahami secara sempit. Di sinilah letak kepelikan dari identitas.
Tentu saja identitas yang dapat meruncingkan kekerasaan lahir karena ilusi identitas tunggal. Misalnya saja, seorang lebih memandang seorang lain yang katakanlah seorang imigran sebagai bukan bagian golongan mereka—berkait dengan identitas kesukuan atau kebudayaan—tapi seorang tersebut mengabaikan afiliasi identitas lainnya yang terdapat pada seorang (imigran atau pendatang) yang ia benci tersebut. Dalam situasi yang demikian, mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan tertentu untuk mengobarkan permusuhan yang meluas.
Berkaca pada pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemikiran berbasis identitas berpeluang menghadirkan manipulasi secara brutal. Sebab itu, menurut Sen, kekuataan identitas yang agresif bisa dilawan oleh daya identitas yang kompetitif atau saling bersaing. Tentu saja identitas yang saling bersaing mencakup satu kemanusiaan kita bersama dalam lingkup luas, namun di dalamnya perlu adanya pemahaman bahwa terdapat beragam identitas yang dimiliki secara serentak oleh seseorang.
Menurut Sen, pemahaman semacam itu akan membawa kita pada cara yang berbeda dalam mengelompokkan orang, yang dapat mencegah dimanfaatkannya suatu model pengelompokkan tertentu untuk kepentingan aksi-aksi yang agresif.
Bagi penulis, pandangan Sen merupakan upayanya untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, agar kita tidak mudah terjebak pada pandangan-pandangan yang konfrontatif, yang dapat meruncingkan permusuhan antara “kita” dan “liyan”. Pemikiran Sen tentu sangat bermanfaat untuk kasus di Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan agama, dan bermanfaat juga dalam konteks global.
Apa yang diresahkan oleh Sen sangatlah relevan. Terlebih lagi dalam banyak kasus, identitas memang kerap kali digunakan sebagai jargon-jargon politik untuk kepentingan sempit segelintir elite yang bisa memancing permusuhan dan menghilangkan keakraban kita sebagai warga-negara. Sebab itulah, pemikiran Sen sangat layak dipertimbangkan untuk dibawa ke tengah gelanggang untuk menyikapi persoalan indentitas.
Referensi:
Fukuyama, Francis, 2002, The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Sosial, Yogyakarta: Qalam.
Sen, Amartya, 2016, Kekerasan dan Identitas, penrj. Arif Susanto, Serpong: Marjin Kiri.
Sunaryo, 2017, Etika Berbasis Kebebasan Amartya Sen, Jakarta: Gramedia.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST