Perjalanan Sapiens Tidak Selalu Berarti Kemajuan
Judul: Sapiens: A Brief History of Humankind | Penulis: Yuval Noah Harari | Penerbit: London: Vintage, 2015 | Tebal: x + 498 halaman | ISBN: 978-0-099-59008-8
Sebagai satu-satunya makhluk hidup dari genus homo yang masih hidup, perjalanan hidup manusia (homo sapiens) masih menjadi misteri. Pertanyaan seperti bagaimana kita bisa sampai ke tahap ini? dan apakah proses yang kita alami merupakan sebuah kemajuan? masih sering digugat dan dipertanyakan, baik oleh kelompok awam hingga para pemikir.
Salah satu dari mereka, Jared Diamond, mengatakan bahwa perjalanan hidup manusia di dunia merupakan hasil sebuah proses evolusi dan seleksi panjang, yang terjadi sejak manusia mulai mendomestifikasi hewan dan tumbuhan. Dalam kacamata Diamond, perjalanan manusia merupakan sebuah kemajuan, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang lebih kompleks.
Apakah cara pandang seperti ini dapat diterima begitu saja? Dikatakan oleh Yuval Noah Harari, bahwa perjalanan kehidupan manusia bukanlah sebuah kemajuan. Melalui buku Sapiens: A Brief History of Humankind, dalam beberapa tahapan “revolusi”, manusia justru mengalami sedikit gejolak, yang tidak serta merta dapat digambarkan sebagai kemajuan. Mengapa demikian?
Kisah buku ini bermula dari kehidupan genus homo lain sebelum sapiens. Mereka, yakni neanderthal di Eropa, erectus di Asia, dan lainnya di Afrika dan Amerika, hidup dalam damai. Kondisi berubah ketika sapiens, yang dibekali kemampuan berbahasa, menyisihkan mereka dalam persaingan memperebutkan wilayah untuk memenuhi kehidupan.
Mengapa bahasa menjadi senjata penting bagi sapiens? Menurut Harari, kemampuan untuk menghasilkan bahasa mendorong terciptanya mitos. Keberadaan mitos menyatukan lebih banyak kelompok manusia dalam ikatan yang solid. Berbeda dengan neanderthal dan erectus yang hanya memiliki bahasa yang sederhana, Sapiens mampu menghasilkan bahasa yang lebih kompleks, sehingga menciptakan koloni yang lebih banyak dan kokoh.
Keberadaan bahasa oleh sapiens mengubah mereka menjadi sosok yang luar biasa kuat. Melalui bahasa, sapiens mengalami revolusi kognitif (cognitive revolution), membuat mereka mampu mengubah alam demi kepentingan mereka. Mereka tidak lagi tergantung dari alam; mereka sudah mampu mengatur alam untuk tujuan kehidupan mereka.
Revolusi kognitif yang dijalani sapiens sejak 7.000 tahun yang lalu, mencapai tahapan baru hingga kira-kira selama 5.800 tahun. Sejak 1.200 tahun yang lalu, manusia mengalai revolusi kedua, yang disebut Harari sebagai revolusi pertanian (agricultural revolution). Pada masa ini, kebiasaan sapiens yang telah membudayakan pertanian menciptakan tiga hal pokok bagi keberlangsungan mereka. Apa saja ketiga hal tersebut?
Hal pertama, adalah adanya sistem mata uang. Keberadaan mata uang menyisihkan kesulitan komunikasi yang dialami sapiens dalam menarik pajak dan transaksi ekonomi. Mata uang menyatukan sapiens dalam sebuah pemikiran yang sama, bahwa hidup yang baik perlu diraih secara ekonomi. Seperti yang diungkapkan Harari, seorang Muslim dan Kristen di Indonesia bisa saja berselisih soal agama, tetapi mereka akan tetap sama-sama menyepakati transaksi dengan rupiah.
Hal kedua, adalah adanya sistem imperium. Sistem pemerintahan yang dijalani sapiens, yang semula sangat sederhana, tumbuh menjadi sistem yang kompleks. Sistem kesukuan dan kedatuan yang hanya memiliki populasi seratusan orang, oleh adanya imperium, berubah menjadi kekaisaran (empire) dengan populasi ratusan ribu hingga jutaan orang. Keberadaan imperium membuat kehidupan sapiens menjadi lebih terjamin.
Hal ketiga, adalah adanya sistem religi atau agama. Keberadaan agama mampu mengokohkan mitos yang telah dipercayai sapiens, sehingga mereka dapat meyakinkan lebih banyak orang untuk mempercayai mitos tersebut. Berbagai mitos yang diciptakan agama, seperti dikotomi surga/neraka, kiamat, dan lainnya, mendorong sapiens untuk berpikir mengenai moralitas, dan membuat mereka tumbuh menjadi spesies yang lebih solid menghadapi tantangan kehidupan.
Ketiga hal tersebut (sistem mata uang, sistem imperium, dan sistem religi) tidak menguasai satu sama lain. Namun saling mengisi, bersanding menyatukan kelompok-kelompok sapiens menjadi sebuah kekuatan besar yang tidak dibayangkan oleh siapa pun saat itu.
Revolusi ketiga, dan yang terakhir, adalah revolusi saintifik (scientific revolution). Dalam bagian ini, Harari tidak hanya menyelaskan bagaimana keberadaan ketiga sistem sebelumnya mendorong sapiens untuk menciptakan ilmu pengetahuan, tetapi juga mengenai bagaimana kapital dan ilmu saling mengisi.
Menurut Harari, riset yang mampu memastikan keberlangsungan hidup sapiens akan lebih diminati ketimbang riset yang hanya dilakukan untuk memenuhi hasrat ilmu semata. Juga, untuk mendorong perkembangan sapiens, para investor, dari swasta hingga multinasional, rela menggelontorkan dana untuk mengembangkan riset sehingga kehidupan sapiens menjadi lebih baik.
Hubungan harmonis antara kapital dan sains mendorong perkembangan teknologi hingga ke titik yang krusial. Titik tersebut, yang mungkin terjadi jauh di masa depan, adalah menghilangnya sapiens. Sebagai “Tuhan” yang menguasai alam semesta saat ini, sapiens berusaha menciptakan berbagai teknologi untuk mengatasi permasalahan mereka.
Namun, di sisi lain, mereka akan mendorong apa yang Harari sebut sebagai revolusi kognitif kedua (second cognitive revolution), yang akan mengubah sapiens tidak lagi menjadi sapiens. Akan sangat berbahaya, ungkap Harari pada bagian akhir buku ini, jika seorang Tuhan tidak bisa menguasai ciptaan yang ia buat dari tangannya.
Lalu, apakah kehidupan sapiens sejak revolusi kognitif hingga revolusi saintifik merupakan sebuah kemajuan? Menurut Harari, tidak dapat dikatakan demikian.
Dengan mencontohkan kehidupan manusia kontemporer, sapiens pada masa revolusi saintifik memang dimudahkan dengan keberadaan teknologi. Dewasa ini, misalkan, keberadaan gawai dan internet membuat seseorang dapat mengirimkan informasi lebih cepat dari sebelumnya. Namun, manusia masa kini kesulitan untuk menemukan waktu membaca, apalagi membalas, semua pesan yang masuk digawainya?
Mereka, sebagai efek revolusi pertanian, harus bekerja dari pagi hingga sore, dengan bayaran UMR, dan kesulitan membeli rumah. Dibandingkan dengan nenek moyang pada 1.200 tahun yang lalu, mereka bekerja lebih banyak, tetapi dengan hasil yang lebih sedikit. Juga, manusia pada masa revolusi pertanian bekerja lebih banyak dibandingkan manusia revolusi kognitif, dengan gizi yang jauh lebih sedikit.
Membaca Sapiens A Brief History of Mankind, pembaca akan menyelami pendekatan Harari yang sangat ringan dan sederhana. Pembaca tidak akan menemukan istilah serba rumit atau ndakik-ndakik. Justru, pembaca akan disuguhi kesederhanaan Harari, yang menyajikan perjalanan hidup sapiens dengan simpel dan mudah dipahami pembaca, terutama mereka yang awam.
Buku Sapiens: A Brief History of Mankind berhasil menyentuh The Milliion Copy Bestseller, dan diminati di berbagai negara. Di Indonesia sendiri, kehadiran buku ini disambut hangat, sebagai salah satu buku ilmiah populer yang mampu menyajikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat kebanyakan. Buku ini, ditambah dengan buku-buku Harari yang lain, seperti Homo Deus dan 21 Lessons for the 21st Century, laris manis diserbu pembaca.
Category : resensi
SHARE THIS POST