Pengetahuan tentang Ketidaktahuan

slider
slider
13 November 2019
|
1571

Judul: Xarmides (Keugaharian) | Pengarang: Platon | Penerjemah dan penafsir: A. Setyo Wibowo | Penerbit: Kanisius, 2015 | Tebal: vi + 223 halaman | ISBN: 978-979-21-4161-0

Euforia pesta demokrasi telah beberapa bulan berlalu, namun kejutan-kejutan politik masih bisa dirasakan sampai sekarang. Setelah reda pro-kontra mengenai sosok wakil presiden yang sekarang resmi dilantik, media kembali ramai dengan beberapa tokoh yang ikut ambil bagian dalam kabinet Indonesia Maju. 

Mungkin terlalu dini menilai orang-orang yang ditempatkan dalam pos-pos tertentu tidak kompatibel. Tapi juga tidak salah kalau sebagian masyarakat Indonesia—termasuk juga saya—meragukan mereka. Kira-kira respon pertama saya seperti mahasiswa yaang hendak diajar mata kuliah filsafat oleh dosen ahli bahasa Indonesia. “Kok bisa bapak ini, ya, yang jadi menteri ini? Bukannya lebih cocok jadi menteri itu?”.

Memang, dalam politik semua hal bisa terjadi. Jangankan hal yang kita nilai sebagai “salah posisi”, wong yang sepertinya tidak tahu sama sekali masalah politik saja bisa jadi wakil rakyat kok.

Baca juga: Memahami Kekurangan Manusia Lewat Persahabatan

Menyangkut peristiwa politik semacam ini, saya teringat dengan salah satu dialog yang digubah oleh Platon. Tokoh utama dalam dialog ini adalah Socrates dan kedua muridnya, yaitu Xarmides dan Kritias. Sebenarnya, kedua tokoh yang disebut terakhir adalah dua murid Socrates yang terlibat dalam rezim “Tiga Puluh Tiran”. Sebuah rezim oligarki bentukan negara yang mengalahkan Athena dalam perang saudara Peloponnesos.

Dua mitra wicara Socrates ini dianggap sebagai politikus pengkhianat Athena sekaligus produk gagal dari didikan Socrates. Mereka merupakan salah satu bukti bahwa Socrates telah “meracuni pikiran kaum muda” pada zamannya. Dan alasan ini membuat dewan jaksa bersikeras menghukum mati Socrates.

Namun, benarkah Socrates—orang yang dikenal Platon sebagai tokoh paling bijaksana—mengajarkan hal-hal buruk kepada Xarmides dan Kritias?

Tentu saja tidak. Dialog demi dialog dalam buku yang diberi judul Xarmides ini ditulis Platon dengan metode apologetik atau pembelaan. Tujuan penulisnya tidak lain adalah membersihkan nama Socrates dari tuduhan dewan jaksa. Xarmides dan Kritias adalah dua politikus yang buruk, dua murid yang telah sebenarnya telah “diperingatkan” oleh Socrates.

Sementara tema yang diangkat dalam buku ini adalah sophrosune. Oleh penerjemahnya, Setyo Wibowo, kata ini diartikan sebagai keugaharian. Sebuah keutamaan sifat yang wajib dimiliki oleh orang yang akan terjun ke dunia politik.

Dari pemaknaan etis ke intelektual

Apa itu keugaharian? Kata ini jelas sangat jarang digunakan, baik dalam keseharian maupun akademik. Berasal dari bahasa Yunani sophrosune, artinya dengan hikmat. Kata ini merujuk pada gabungan antara akal sehat yang membuat seseorang mampu membuat penilaian dengan baik sehingga tindakannya terukur.

Dalam bahasa kita, sophrosune dekat dengan mawas diri. Mawas adalah selalu awas terhadap diri sendiri (nafsu) dan hal di luar diri (hati-hati dalam bereaksi). Sikap kehati-hatian dalam bertindak yang disertai refleksi diri. Namun, Setyo Wibowo memilih keugaharian karena kata ini lebih mewakili pemikiran Yunani yang terkenal dengan ‘nilai tengah’-nya. Dalam KBBI, ugahari berarti sedang; pertengahan; sederhana. Soprhron (orang yang memiliki keugaharian) adalah mereka yang mampu bersikap santun, tahu malu, dan sederhana. Yang terpenting, tindakan-tindakan itu timbul karena pelakunya tahu mana yang baik dan buruk, bukan sekedar mengikuti tradisi atau paksaan dari pihak luar.

Awal dialog dalam buku Xarmides dimulai dengan penggalian makna sophrosune oleh Xarmides. Ia menawarkan definisi yang bernuansa etis dan praktis. “Menurutku, dalam satu kata, sophrosune berarti ketenangan... segala sesuatu dilakukan dengan tertata dan tenang (cenderung lambat), entah dalam melangkahkan kaki, berbicara, dan hal lainnya.” (hlm. 84).

Dengan mengajukan contoh-contoh tindakan yang dapat juga dinilai baik ketika dilakukan dengan tidak lambat, Socrates menyanggahnya. Xarmides kemudian mengajukan pendapat kedua, bahwa sophrosune adalah rasa tahu malu (aidos). Namun, lagi-lagi, dengan mengutip Homeros, Socrates berhasil menyanggah pendapat lawan bicaranya itu. (hlm. 89).

Kemudian, diskusi diambil alih oleh tokoh ketiga, yaitu Kritias, wali dari Xarmides yang dinilai telah mencapai kematangan intelektual. Benar saja, menyimak perdebatan antara Kritias dan Socrates yang berjalan alot dan berputar-putar, keduanya tampak seperti dua ahli yang pengetahuannya setara.

Dialog paling seru terdapat pada definisi ketiga dan keempat tentang sophrosune yang diajukan Kritias, yaitu tentang pengenalan diri dan tentang sains universal. Mengutip pepatah yang terpahat dari Kuil Delphoi, Kritias mengatakan, “... Menurutku, kata-kata ‘kenalilah dirimu sendiri’ dan ‘jadilah sophron’ adalah sama dan identik”. (hlm. 100).

Sokrates kemudian kembali memeriksa pengertian ini dengan mengatakan, “Jika memang sophrosune artinya mengetahui sesuatu, maka jelas sophrosune adalah sejenis sains (episteme), dan sebagai sains ia memiliki objek tertentu.” (hlm. 100).

“Ya. Soprhoshune adalah sains tentang diri,” jawab Kritias.

Socrates kembali menimpali dengan pertanyaan, “... Sebagaimana ilmu pertabiban adalah sains tentang kesehatan, dan ia menghasilkan kesehatan: sesuatu yang elok. Lalu adakah sesuatu yang elok yang dihasilkan sophrosune untuk kepentingan kita?” (hlm. 103).

Tak kalah argumentatif, Kritias menjawab bahwa Socrates semena-mena menyamakan sophrosune dengan hal-hal teknis. Cukup kompleks pada bagian ini, Socrates bersikeras bahwa sebagai sains seharusnya sophrosune mempunyai objek khas. (hlm. 104).

Yang aneh adalah Socrates sangat terkenal dengan ajaran pengenalan diri. Lalu mengapa ia menolak pendapat Kritias? Ternyata, Socrates tidak menolak definisi tersebut. Ia mengejar Kritias dengan argumen-argumen yang membuat Kritias kebingungan. Ini adalah bukti bahwa Kritias tidak memahami apa yang ia katakan.

Objek khas dari pengenalan diri adalah diri itu sendiri. Diri, bagi Socrates adalah jiwa. Karena jiwa adalah keseluruhan manusia, maka memisahkan pengetahuan diri dengan jiwa berarti memisahkan pengetahuan dengan moral dan menjadikannya murni intelektual. (hlm. 177).

Pendapat tentang pengenalan diri kemudian dibuang begitu saja oleh Kritias dan diganti dengan: “Sophrosune adalah sains universal, yaitu sains tentang dirinya sendiri dan tentang segala sains-sains lainnya.” (hlm. 105).

Definisi ini adalah pengertian sophrosune pada tingkat abstrak. Bukti lain bahwa Kritias tidak mampu memberikan jawaban yang jelas dan hanya berputar-putar pada ruang pengetahuan yang hampa. Selanjutnya, dialog membahas tentang, “Apakah sains semacam itu ada? Kalaupun ada, apakah ada kegunaannya? Pada akhirnya, Sokrates kemudian kembali memunculkan definisi sebelumnya, yaitu tentang pengenalan diri.

Definisi terakhir ini juga tidak salah. Sophrosune memang dapat diartikan sebagai sains universal sejauh ia dimaknai sebagai sains tentang kebaikan dan kejahatan. Ia adalah “sains pengarah”, pengomando sains spesifik lainnya agar bisa menghasilkan kebaikan. Namun, posisi ini bukan berarti menjadikan sophrosune sebagai sains yang mengetahui semua objek khas sains lain. (hlm. 178).

Di sinilah letak perbedaan sains universal versi Socrates dan Kritias. Bagi Socrates, posisi sains universal mengandaikan bahwa ia juga mengetahui pengetahuan yang bukan sains. Rumusannya menjadi jelas ketika Socrates memunculkan kembali definisi pengenalan diri. Maka, pengetahuan tentang diri juga meliputi pengetahuan tentang ketidaktahuan diri. Sophron bukanlah orang yang secara hegemonik tahu segalanya seperti yang didefinisikan Kritias.

Elegkhos dan pengenalan diri

Apa yang khas dalam dialog gubahan Platon adalah elegkhos (penyanggahan) atau pemeriksaan pengetahuan. Inilah yang mengantarkan manusia menjadi ugahari (mengenal diri): mengetahui yang diketahui dan tidak diketahaui.

Jiwa yang tak pernah ber-elegkhos akan berangan-angan seolah-olah mengetahui pengetahuan yang sebenarnya tak ia punyai. Bayangan inilah yang membuat jiwa sombong dan cukup diri. Elegkhos membebaskan jiwa, mengenali ilusi pengetahuan yang memenjarakannya. Untuk itu, kita butuh orang lain untuk menyanggah dan memeriksa pendapat. Hasilnya adalah ugahari. Manusia menjadi lebih berhati-hati dan tahu batas, karena ia benar-benar tahu tingkat pengetahuannya.

Maka, ugahari adalah keadaan jiwa pengetahuan murni. Percaya pada apa yang ia ketahui sejauh ia mengetahuinya tanpa ditambah-tambahi. Ugahari menjadi semacam prasyarat agar keutamaan-keutamaan lain seperti keberanian, kesalehan, dan keadilan dapat diraih. Bukankah kesadaran atas kebodohan yang membuat manusia mau untuk belajar?

Seluruh dialog dalam buku menunjukkan bahwa Xarmides dan Kritias tidak mampu mempertanggung jawabkan pendapatnya. Terlebih Kritias yang sering digambarkan sebagai tokoh arogan. Keduanya bukanlah orang yang ugahari. Mereka tidak mengetahui perkara dasar tentangnya dan tentu saja tidak mengenali diri mereka sendiri.

Tanpa mengenal diri, orang yang masuk politik akan berisiko melakukan tindakan yang ia pikir baik, padahal justru buruk bagi dirinya dan negara yang dipimpinnya. Platon membuktikan bahwa Socrates bukanlah guru yang membuat anak-anak muda tanpa bakat politik menjadi ambisius. Justru tanpa lelah, ia mengajak murid-muridnya untuk mengerti kesalahan diri lewat pengenalan.

Sayangnya, lingkungan politik di negara kita sangat minim tokoh seperti Socrates. Tokoh yang mampu menyadarkan seseorang bahwa kekuasaan bukan barang mainan. Terjun ke dunia politik tidak hanya mengandalkan “mumpung ada kesempatan”. Seorang politikus seharusnya bertanya dengan sungguh-sungguh pada dirinya sendiri, apakah ia mampu memegang jabatan tertentu? Karena jika tidak, kita tahu bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka buat sering kali tidak masuk akal dan justru merugikan rakyat.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Umi Khofsah