Pendidikan Anak Rabindranath Tagore
Suatu ketika, saya iseng-iseng mengecek dalam mesin pencarian Google dengan kata kunci “gambar gunung”, seketika menampilkan hasil seperti ini:
Andai kata, saya yang disuruh menggambar gunung, sepertinya tidak akan jauh berbeda untuk menggambarkan hal yang serupa. Pasalnya, yang mengakar kuat di kepala sebagaimana gambar di atas.
Pemandangan dua gunung, matahari di tengah-tengah lereng gunung yang bertemu (entah sedang terbit atau tenggelam), juga jalan, pohon, rumah, rumput-rumput yang mirip ceker ayam, serta dilengkapi bangau beterbangan yang membentuk angka tiga tengkurep, terkadang juga ditambahi aliran sungai untuk meramaikan keindahan gambarnya.
Hampir setiap kali seorang guru yang memerintahkan siswanya untuk menggambar pemandangan, para siswa akan menggambarkan hal semacam itu, seolah-olah gambar tersebut secara tidak langsung telah menjadi standar pakem yang menguat di lingkungan sekolah.
Alhasil, hampir semua siswa memilih untuk menggambarkan hal yang sama. Diakui atau tidak, hal yang berulang secara tidak langsung menghambat perkembangan daya cipta dan kreativitas anak. Menyamakan perspektif yang beragam, hingga takut mengekspresikan talenta yang dimiliki anak itu sendiri.
Lain halnya dengan konsep pendidikan yang digagas oleh Rabindranath Tagore. Tagore sendiri dikenal sebagai seorang penyair agung yang berasal dari India, orang-orang India menyebutnya sebagai manusia setengah dewa.
Saking kuat pengaruhnya tercantum pada kalender sebagai “Tagore Day” atau Peringatan Hari Tagore, bahkan di Amerika. Tagore juga termasuk sastrawan pertama yang meraih penghargaan Nobel pada 1913.
Di sisi yang berbeda ia juga seorang guru, sekaligus pendiri Ashram Shantiniketan (sekolah dengan model asrama) yang terletak di kawasan Bengal Barat, India. Sekolah tersebut kini bertransformasi menjadi Universitas Internasional Visva Bharati.
Bagi Tagore, setiap anak memiliki keunikannya tersendiri yang berbeda satu sama lain, memiliki kemampuan dan talentanya sendiri yang tak mesti sama, memiliki minat unik yang hampir dipastikan kesemuanya berbeda.
Menurut penjelasan Pak Faiz dalam Ngaji Filsafat edisi “Filosofi Pendidikan Anak” bahwa corak gagasan pendidikan Tagore berhalauan naturalisme, yang menjadikan alam sebagai pusat. Dengan kata lain, alam dijadikan sebagai guru, dan berfokus pada anak.
Posisi guru berperan layaknya fasilitator dengan membiarkan murid tumbuh dengan bakat dan potensinya masing-masing agar mencapai self-realization dengan dikawal agar potensi yang terkubur benar-benar terealisasi.
Ashram Shantiniketan merupakan upaya untuk merealisasikan konsep gagasan Tagore sendrii. Tagore menjadikan sekolah seperti halnya sebuah taman, yang menghadirkan kegembiraan, kenyamanan, dan bebas mengukir kenangan.
Proses belajar bukan lagi karena paksaan, tetapi karena memang benar-benar senang. Tidak merasa bimbang atau terkungkung laiknya penjara, tetapi benar-benar seperti taman yang menawarkan keindahan dan kenyamanan.
Dengan kata lain, orientasi pendidikan yang dibangun Tagore tidak berporos pada “book centered” atau yang hanya berpaku pada buku semata, tetapi pada sistem belajar “learning by doing” dengan pengamalan langsung di alam terbuka yang damai dan menenangkan.
Ada kisah menarik yang terekam begitu ciamik dalam tulisan Toto Raharjo berjudul Sekolah Biasa Saja (2018) untuk menggambarkan bagaimana suasana lingkungan sekolah yang ia bangun dengan ragam keunikan siswanya.
Dikisahkan bahwa seorang kepala sekolah yang dikenal sangat disiplin datang berkunjung ke Shantiniketan. Saat menginjakkan kaki di halaman sekolah, seketika wajah kepala sekolah itu tampak muram bercampur kesal karena dihadapkan dengan murid Tagore yang tengah memanjat pohon. Kemudian dengan santainya si murid menjuntaikan kakinya di salah satu ranting sambil lalu membaca.
Seolah mengerti apa yang dipikirkan tamunya, kemudian Tagore berkata kepada kepala sekolah, “Masa kanak-kanak adalah satu-satunya masa di mana orang bebas memilih antara cabang pohon atau bangku sekolah. Haruskah saya melarang anak itu yang sedang menikmati hak istimewanya, hanya lantaran saya sebagai pria dewasa, sungguh tak pantas melakukannya?”
Kekesalan si kepala sekolah kemudian memudar dan menjadi legowo setelah melihat si anak belajar ilmu tanaman di dalam kelas. Meskipun kepala sekolah meyakini ilmu pengetahuan tentang pohon yang diperoleh di kelas lebih berharga daripada pengalaman pribadi anak itu tentang pohon.
Menurut Tagore, murid tadi sedang memetik buah dari proses belajar alamiahnya, atau sedang melatih kepekaan yang diperoleh di kelas lalu diaplikasikan di luar kelas. Tidak hanya berhenti di situ, jelajah eksplorasi murid-murid Shantiniketan secara naluriah telah memperoleh ilmu fisik (physiognimy) pohon.
Hanya dengan menyentuh pohon, murid menjadi mengetahui ranting atau cabang mana yang bisa diinjakkan kaki, mengukur seberapa lama cabang itu bisa bertahan, atau bagaimana mengatur berat badan agar tidak terlalu memberikan beban berat pada cabang pohon.
Dengan cara begitulah, murid-murid Tagore mengetahui cara memanfaatkan pohon, menjadikannya tempat berteduh atau istirahat, memanen buahnya, atau menghindari munculnya bahaya yang tidak diinginkan yang ada di sekitarnya.
Secara tidak langsung upaya tersebut menjadikan alam sebagai guru terbaik melalui eksplorasi-eksplorasi dari apa yang telah diperoleh dari buku dan dari yang didapat di ruang kelas. Tujuan mengapa alam menjadi penting bagi Tagore adalah hanya melalui alamlah ungkapan Tuhan lebih terasa daripada melalui institusi buatan manusia.
Maka dari itu, menurut Tagore, pendidikan anak harus dalam lingkungan alam. Sehingga ia dapat mengembangkan cinta dan melatih kepekaan untuk segala sesuatu disekitarnya. Contohnya akan terasa berbeda saat kita berdekatan dengan pohon dan tiang. Berbeda rasanya saat kita melihat langit-langit rumah dengan melihat langsung langit yang penuh gemintang.
Kemudian muncul pertanyaan reflektif dari Pak Faiz saat menjelaskan palung gagasan Tagore, “Jangan-jangan kita yang semakin hari semakin sering main hp, sering mengurung diri di dalam kamar atau rumah, semakin jarang berinteraksi dengan sekitar, serta semakin jauh dengan alam adalah konsekuensi logis dari ketidakpekaan kita terhadap alam, semakin tidak mencintai alam lagi dengan dibuktikan kerusakan lingkungan yang semarak terjadi”.
Menjadikan alam sebagai guru terbaik dalam proses pembelajaran sepertinya tidak jauh berbeda dengan pandangan tasawuf dalam menilai alam sebagai tajalli Tuhan atau manifestasi dari sifat-sifat-Nya. Bahkan dalam sebuah hadis kudsi menyebutkan bahwa Tuhan akan dikenal dan diketahui melalui ciptaan-Nya.
Bagi Tagore, “The highest education is that which does not merely give us information but makes our life in harmony with all existence”. Intinya, menurut Tagore, eksistensi pendidikan bukan sekadar transfer informasi dan pengetahuan semata, tetapi juga membuat hidup kita harmoni dengan segala yang ada. Baik dengan lingkungan sekitar termasuk juga alam.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa setiap anak memiliki keistimewaannya tersendiri. Setiap anak itu cerdas, kalau kata Albert Einsten, “Setiap anak itu jenius, namun jika kita menilai ikan dari kemampuannya dalam memanjat pohon, maka selama itu pula ia akan terus merasa bodoh. Begitu pun anak, mereka yang tidak bisa matematika atau pelajaran formal bukan berarti tidak memiliki kelebihan”.
Maka dari itu, pendidikan semestinya tidak membuat siswa atau anak takut jika memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda satu sama lain. Namun yang berani mengekspresikan apa yang menjadi talenta anak dengan jelajah eksplorasi pengetahuan yang dibangun dengan learning by doing sembari bersahabat dengan alam. Serta merasa bangga dengan segenap kemampuan yang dimiliki sebagai keunikan yang tidak mesti sama dengan lainnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST