Pagi, Televisi, dan Tausiah Subuh
Pagi buta setelah menunaikan shalat Subuh dan mengaji, ibu orang yang paling sibuk. Menyiapkan sarapan seluruh keluarga sampai sebelum setengah tujuh pagi sudah siap. Di sela kesibukan pagi, ibu selalu ditemani oleh televisi yang menyiarkan tausiah subuh. Hampir semua saluran televisi menayangkan program yang sama. Pemirsa, seperti ibu saya, tinggal memilih siaran mana yang sesuai selera, dari ustadnya yang lugas dan sederhana dalam menjelaskan persoalan agama, serta kemasan acara yang dibikin selucu mungkin atau hendak seperti mendengarkan ceramah di mimbar.
Tak jarang penjelasan dari televisi terdengar berbeda dengan pemahaman sebelumnya yang didapat di pengajian masjid atau tempat lainnya. Namun dengan niat belajar, hal itu cukup dikesampingkan saja. Sungguh sangat religius tayangan televisi kini. Padahal banyak pengamat yang mengatakan televisi selalu saja menyiarkan sinetron yang tak mendidik. Tentu itu persoalan lain.
Aktivitas media sosial juga tak luput dari belajar-belajar agama. Grup WhatsApp keluarga hampir saban hari salah satu anggotanya mengirimkan artikel lumayan panjang atau video pendek sekira dua menit yang isinya tak jarang provokatif. Islam menjadi terlihat garang, kaku, dan konservatif sekali. Konten yang dibagikan itu berisi kutipan dari seorang yang dikenal sebagai ustad, yang tak jarang menyelipkan opini politik pribadinya dengan digabungkan ayat-ayat agama beserta lengkap dengan sejarah versinya.
Bagi orang awam, seperti ibu saya, akan bertemu pada satu titik untuk sulit membedakan mana yang berupa ajaran agama, mana opini pribadi. Sungguh berbahaya jika kita meyakini sesuatu yang keliru. Padahal, yang menyampaikan adalah usatd-ustad yang dikenal suka menjelaskan praktik keagamaan dengan sederhana.
Baca juga: Berislam dengan Santai
Persoalan menelaah dari apa yang disampaikan terkait ajaran agama mana yang sesuai, kerap diiringi dengan kesulitan akses untuk menelusuri kebenaran yang disampaikan ustad, tak jarang malah tendensius yang disampaikan. Di video yang dibagikan, malah ada salah seorang ustad—yang menghadiri pengajiannya banyak—mengaku sama sekali tidak bisa bahasa Arab dan tidak menguasai Al-Quran dan hadis, serta tidak mengkaji pandangan ataupun tafsir ulama-ulama terdahulu untuk menguji kebenaran apa yang ia sampaikan dan ajarkan selama ini. Bagi masyarakat awam yang diajarkan untuk selalu hormat kepada guru, tentu ini sesuatu yang riskan. Kecuali sang penyampai ajaran agama tersebut sungguh mumpuni.
Lantas, bagaimana seorang ustad dianggap layak dan mumpuni untuk diikuti ajaran-ajaran yang ia sampaikan tentang Islam? Menurut Imam Syafi’i, ada beberapa syarat yang harus dimiliki. Yaitu, memiliki pemahaman yang luas dan tuntas terhadap Al-Qur’an dan hadis, termasuk ayat-ayat nasakh mansukh, takwil, dan tanzil serta asbabun nuzul dan asbabul wurud. Dan untuk bisa memahami semua itu, syarat pertama adalah menguasai bahasa Arab dengan segala rumus pemahamannya. Ini menjadi salah satu alasan saat menimba ilmu di pesantren, diajari bagaimana memahami, membaca, dan mengerti kaidah bahasa Arab yang rumit.
Jadi, bisa dibayangkan betapa gawatnya seorang ustad tidak menguasai semua hal ini, sangat mungkin menyebabkan tidak hanya salah tafsir, pemahamannya pun sering tidak relevan dengan era sekarang.
Persoalan seperti ini menjadi salah satu sebab mengapa Islam kini seolah tampil dan terkesan garang, kaku, dan konservatif. Tak ada garansi tafsir-tafsir miring dari ustad, ulama yang tidak kompeten, kontekstual, dan tidak disesuaikan dengan perkembangan zaman. Hal seperti ini menjadikan pemahaman bahwa konteks serta pemahaman suatu ayat tidak boleh berubah. Apa-apa harus dilakukan sesuai dengan apa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw.
Agar hal ini tidak terjadi, kita sebagai sesama muslim harus memiliki keteguhan untuk terus berbagi pengetahuan dan mengabarkan Islam yang damai penuh cinta. Bukan justru saling klaim kebenaran satu sama lain.
Sungguh, pagi yang terasa…
Category : kolom
SHARE THIS POST