Ngaji Bunyi-Does Sound Matter?
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh Komunitas Masjid Jendral Sudirman kepada saya untuk mengadakan sesi ngaji mengenai bunyi. Kita sudah mendengar sejak dalam kandungan. Selain detak jantung ibu, dan suara ibu. Kita juga mendengar apa yang didengarkan oleh ibu kita. Meskipun tidak sejernih apa yang didengarkan oleh sang ibu, namun kita juga pernah mendengar anggapan bahwa, jika kita memperdengarkan bayi ketika masih dalam kandungan dengan musik klasik itu akan menambah kepintaran bayi ketika dia lahir nanti. Perihal ini masih bisa diperdebatkan. Walaupun saya secara pribadi tidak percaya. Karena kepintaran itu bisa diraih dengan banyak hal.
Lalu seperti apa bunyi itu? Nah ini yang akan kita bahas. Jadi ngaji ini ingin menanyakan dua hal. Is sound a matter? Does sound matter? Sengaja saya bertanya dalam bahasa Inggris, karena pertanyaannya jadi punya rima, juga karena pertanyaannya terdengar sederhana sekaligus rumit di saat yang bersamaan. Soalnya, kata matter dalam bahasa Inggris punya dua arti. Pertama, sebagai kata kerja, dia berarti material atau bahan, sesuatu yang bukan pikiran atau ruh; dan kedua, sebagai verba, dia berarti yang penting atau yang signifikan. Pertanyaan pertama, is sound a matter, mengacu kepada apa itu bunyi? Bagaimana bunyi dihasilkan? Apakah dia sebuah zat atau bukan zat? Adakah fisikalitas atau raga dari bunyi? Sementara pertanyaan kedua, does sound matter, membuka percakapan mengenai bagaimana bunyi dipersepsikan dan kaitannya dengan noise atau kebisingan; apakah bunyi itu cukup penting untuk kita pikirkan? Mari kita mulai! Apa itu bunyi? Apa bedanya bunyi dengan suara? Apa bedanya dengan noise?
Bunyi menurut KBBI adalah sesuatu yang terdengar atau tertangkap oleh telinga: seperti bunyi meriam; bunyi burung; bunyi juga bisa jadi nada atau laras (pada alat musik atau nyanyian dan sebagainya): bunyi piano; bunyi gamelan; secara teknis, dalam kinerja tubuh manusia, bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat getaran gendangan telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Yang terakhir, bunyi juga berarti ucapan apa yang tertulis (surat, huruf, dan sebagainya): bagaimana bunyi surat itu; bagai bunyi siamang kenyang, peribahasa yang artinya banyak bicara karena mendapat kesenangan. Dalam konteks bahasa, ada contoh-contoh yang menarik mengenai penggunaan kata bunyi yang mengindikasikan bagaimana bunyi dihasilkan oleh anggota tubuh manusia.
- bunyi geletar Ling bunyi yang dihasilkan dengan mengartikulasikan ujung lidah pada lengkung kaki gigi, berulang-ulang sehingga lidah seakan-akan bergetar, misalnya bunyi /r/;
- bunyi geser Ling bunyi yang dihasilkan oleh udara yang melalui celah sempit, seperti pada waktu menyebutkan huruf f;
- bunyi hambat Ling bunyi bahasa yang dihasilkan dengan cara memberi hambatan pada tempat artikulasi tertentu terhadap suara yang dikeluarkan, (misalnya /p/ dan /b/ adalah bunyi hambat),
- bunyi letupan Ling bunyi bahasa yang dihasilkan dengan cara jalan udara keluar mulut ditutup rapat-rapat kemudian dengan tiba-tiba udara dilepas sehingga terjadi semacam letupan, misalnya bunyi /b/, /p/, /k/, /d/;
Sedangkan suara menurut KBBI adalah:
- bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia (seperti pada waktu bercakap-cakap, menyanyi, tertawa, dan menangis): digunakan seperti ini penyanyi itu merdu suaranya;
- atau, suara juga bisa jadi bunyi dari sesuatu, baik itu binatang, alat perkakas, dan sebagainya: seperti ini pemakaiannya kedengaran suara harimau mengaum; suara pesawat radio ini agak sember;
- suara juga berarti ucapan (atau perkataan): hanya suara saja, tidak ada buktinya; atau bunyi dari bahasa (bunyi dari ujaran): fonem /w/ dalam bahasa Belanda tidak sama bunyinya dengan fonem /w/ dalam bahasa Indonesia.
Dalam ranah kehidupan bermasyarakat, suara adalah sesuatu yang dianggap sebagai perkataan (untuk melahirkan pikiran, perasaan, dan sebagainya): majalah ini merupakan suara kaum buruh, bukan suara suatu partai; suara juga berarti pendapat atau pernyataan: misalnya usulnya diterima dengan suara bulat, semuanya setuju; atau tidak satu pun yang memberi suara; semuanya tidak setuju. Dalam kosa kata saya, suara adalah "bunyi yang subjeknya dikenali". Lalu, apa itu noise? Saya memilih menggunakan kata noise karena kata noise itu juga dipakai dalam istilah seni rupa atau khazanah pencitraan. Nah istilah yang dipinjam dari tradisi mendengar ini mungkin akan mempermudah kita untuk membayangkan apa yang dimaksud dengan noise itu sendiri.
Dalam Bahasa Indonesia salah satu padanan dari noise yang cocok dengan percakapan kita sekarang ini adalah "bising". Menurut KBBI, bising itu artinya ramai (seperti berdengung-dengung, berdesir-desir, berdesing-desing) hingga menyebabkan telinga seperti pekak misalnya bunyi kapal terbang yang akan berangkat sangat bising; bising juga artinya hiruk-pikuk; gempar: digunakan dengan cara demikian jangan bising, bapak sedang tidur; yang terakhir, bising itu berasa pada telinga seakan-akan pekak (karena mendengar bunyi yang tidak keruan): seperti bising telingaku mendengar deru mobil di jalan. Noise di sini itu tidak sama dengan noisy, atau loud noises atau loud sounds, atau berisik, atau gaduh. Noise di sini adalah anggapan, atau tepatnya anggapan negatif atas sebuah bunyi. Jika bunyi, atau sound, itu adalah kata yang bersifat objektif, maka noise itu kata yang bersifat subjektif. Belum tentu apa yang berisik itu noise. Konser musik itu kan berisik ya, jalan raya juga berisik, keramaian juga berisik. Lalu, apakah konser musik itu dianggap negatif? Atau jalan raya itu dianggap negatif? Atau keramaian itu dianggap negatif? Jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Lalu siapa yang berhak menyatakan kalau itu noise atau bukan? Bisa individu, bisa kelompok. Anggapan satu individu bisa diamplifikasi dengan individu lain sehingga menjadi anggapan kelompok, dan kelompok lain juga bisa mendebat anggapan tersebut. Jadi bisa disimpulkan apa yang saya anggap noise belum tentu noise buat tetangga saya, begitu juga sebaliknya. Terdengar ya perbedaan dan persamaan antara bunyi, suara, dan noise? Is sound a matter? Does sound matter?
Dalam fisika, pengertian bunyi ialah gelombang yang dihasilkan dari benda yang bergetar. Getarannya lalu dirambatkan melalui medium rambat. Lalu diterima dalam jangkauan pendengaran kita. Berarti setidaknya ada tiga syarat bagaimana bunyi itu dihasilkan. Pertama, terdapat benda yang bergetar (sumber bunyi). Kedua, terdapat medium yang merambatkan bunyi (zat padat, zat cair, zat gas (udara). Ketiga, terdapat penerima yang berada di dalam jangkauan sumber bunyi (makhluk yang mendengar). Pengalaman mendengar adalah pengalaman fisik. Tahun lalu, saya mengadakan pameran di Kedai Kebun Forum yang judulnya Sebelum Gendang. Pada pameran itu saya ingin menyampaikan hasil percobaan saya dalam mengamati kejasmanian bunyi dan menampilkan raga bunyi dengan perspektif lain. Demi mencapai pemahaman itu saya harus mengambil jalan memutar dan meminjam indera lain untuk mencapai tujuan bahwa pengalaman mendengar itu adalah pengalaman fisik.
DEMONSTRASI: Ears Have No Self Defense Mechanism.
Telinga tidak punya mekanisme untuk mempertahankan dirinya sendiri. Bagaimana? Setuju atau tidak? Semisal kalau mata bisa dipejam, kalau ada cahaya yang membuat mata kita silau, intensitasnya bisa kita kurangi dengan memicingkan mata. Sebab mata punya kelopak. Tapi, telinga tidak punya kelopak seperti mata, makanya dia tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Jika ada bunyi kencang yang menyakitkan telinga, reaksi spontan yang paling mungkin adalah kita menutup telinga dengan menggunakan tangan. Pada karya ini seperti yang kita lihat. Bunyi dikonversi menjadi cahaya. Karya ini ingin menggambarkan bagaimana sistem pendengaran kita bekerja. Meskipun tidak dengan perbandingan yang setara, namun terkadang mengalami pendengaran dengan melihat, diharapkan bisa mempermudah memahami apa yang terjadi. Karya ini juga ingin menegaskan bahwa telinga, tidak seperti mata tidak pernah berkedip, tidak pernah bisa dipejam. Jadi dengan begitu telinga pasti akan mendengar bunyi yang ada disekitar kita. Sehingga otaklah yang bertugas untuk memilah mana yang mau kita dengar dan mana yang tidak ingin kita dengar. Perhatikanlah perbedaan antara hearing atau mendengar dengan listening atau menyimak. Kalau mendengar itu pasti, jadi menyimak itu pilihan. Lalu disebutkan tadi bahwa bunyi itu adalah gelombang. Jadi bunyi itu termasuk dalam kategori gelombang mekanik, bukan elektromagnetik. Dan sifat dari gelombang mekanik itu:
-
- Gelombang bunyi mengalami pemantulan (refleksi)
- Gelombang bunyi mengalami pembiasan (refraksi)
- Gelombang bunyi mengalami pelenturan (difraksi)
- Gelombang bunyi mengalami perpaduan (interferensi)
- Supaya bisa merambat, gelombang bunyi butuh medium
DEMONSTRASI: 50Hz.
Lewat karya ini, saya menampilkan raga bunyi lewat bayangan dari air yang digetarkan oleh pengeras suara. Di sini bunyi itu layaknya aura dari sebuah zat. Jadi, secara kasat mata, kita bisa melihat bagaimana air beriak menjadi perwakilan bentuk, atau raga, dari si bunyi. Frekuensi secara umum bisa kita artikan sebagai jumlah kemunculan suatu kejadian yang berulang pada satu jangka waktu tertentu. Frekuensi artinya adalah jumlah periode gelombang yang terjadi selama 1 detik. Mengacu pada Satuan Intenasional (SI), satuan frekuensi adalah Hertz, dan rumus untuk menghitung frekuensi adalah f=1/T. 50 Hz saya gunakan karena frekuensi ini adalah dengung yang paling umum yang kita dengar dari adanya sistem kelistrikan. Sekarang di dunia, hanya ada dua jenis sistem kelistrikan yang umum dikenal, 110V/60 Hz dan 220V/50 Hz. Berdasarkan frekuensinya, bunyi yang bisa didengar oleh telinga kita ada di frekuensi mulai dari 20 Hz-20000 Hz. Frekuensi infrasonik itu 0,1-20 Hz. Dan yang disebut ultrasonic itu 20000 Hz-beberapa GigaHz. Sedangkan untuk berkomunikasi kita itu biasanya ada di antara 250-3000 Hz. Nah, frekuensi kita dengar sebagai pitch atau nada. Jadi kalau di musik nada A4 misalnya, bisa juga disebut dengan A440.
Nah, 440 itu merujuk pada frekuensinya yang 440 Hz. Frekuensi atau nada ini, biasa digunakan sebagai frekuensi standar dalam menyetel alat musik. Ini semacam kesepakatan universal dalam dunia musik barat. Seperti untuk piano, gitar, dsb. Pada piano biasanya terdapat 88 tuts, yang terbagi dalam 7 octaf, mulai dari A0-A7. Jadi ada 88 jenis frekuensi yang bisa dihasilkan dari piano. Ini yang menarik. Tadi range pendengaran manusia itu 20 Hz-20000 Hz. 20000 dikurangi 20=19980, berarti setidaknya ada 19980 nada yang bisa kita dengar, angkanya baru yang dibulatkan saja, belum apalagi dengan koma. Kita anggap saja ada 19980 nada. Nah tadi di piano itu hanya ada 88 tuts. Berarti kalau 19980 kita kurangi 88, berarti ada 19892 nada atau frekuensi yang tidak bisa kita dengar lewat piano. Sekarang saya akan memainkan frekuensi seperti ini (demo memainkan frekuensi). Lalu pertanyaannya, apakah ini bisa disebut musik? Bisa atau tidak? Bisa iya, bisa tidak. Lalu percobaan saya yang berikutnya adalah dengan menggunakan bass drum dan asap untuk menjelaskan mengenai kejasmanian bunyi.
DEMONSTRASI: Drum berasap.
Jadi ada benda yang bergetar, lalu getarannya menggerakkan udara, lalu udaranya merambat bergerak keluar dari bass drum, sehingga membentuk formasi yang bisa kita lihat, dan, bunyinya sampai ke telinga kita. Lalu bunyinya habis, tidak lagi terdengar, sama seperti asap yang hilang dari pandangan kita tadi. Ini menggambarkan, bahwa, bunyi yang tadi, energinya diserap oleh benda-benda yang ada di sekitar kita. Nah, fenomena ini bisa juga disebut sebagai disipasi energi atau menghilangnya energi, atau memisahnya energi. Jadi bunyi adalah energi, bukan zat. Masih ingat dengan pertanyaan awal tadi? Is sound a matter? Does sound matter? Kalau dari perspektif fisika, kita bisa mengacu pada kesimpulan bahwa bunyi adalah sebuah energi, bukan zat.
Dalam fisika kita mengenal hukum kekekalan energi, yang menyatakan bahwa energi itu tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan, namun energi bisa diubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lainnya. Seperti listrik yang dihasilkan oleh matahari, angin, uap, atau gas dsb. Berarti, ada kemungkinan untuk menggunakan bunyi sebagai pembangkit listrik: Pembangkit Listrik Tenaga Bunyi (PLTB). Berbicara soal listrik kita akan menggunakan gitar listrik untuk mendengar hubungan antara bunyi dan material. Jadi gitar listrik ini pertama kali dikenalkan sekitar tahun 1930an.
Sebelum 1930an, gitar, lebih dikenal dengan tipe akustik. Gitar listrik biasa digunakan bersamaan dengan amplifier. Masuk ke tahun 1950an, elektronik amplifikasi membuat gitar dan gitaris menjadi bagian sentral dari sebuah pertunjukan musik populer, yang pada tahun-tahun tersebut biasa didominasi oleh musik Rock N Roll. Gitaris yang sebelumnya menjadi pengiring, beralih menjadi pemimpin dalam sebuah band, yang memainkan gitarnya dengan kencang untuk menggambarkan semangat anak muda di zamannya. Dari segi bentuk, gitar ini berbentuk menyerupai Lingga, objek tegak, tinggi, yang melambangkan kesuburan, atau kejantanan. Mirip monas juga.
AMPLIFIKASI DEMO:
Sekarang kita akan mengundang teman kita Uya Cipriano, seorang komposer, gitaris, musik engineer, dan salah satu pendiri dari Komunitas Gitaris yang bernama Gitardiningrat. Tadi kita menyaksikan Mas Uya memainkan gitar dari mulai tidak menggunakan ampli, sampai menggunakan ampli, lalu menggunakan efek, memainkan distorsi dan feedback. Amplifikasi pernah menjadi perdebatan di kalangan pemusik. Karena dianggap sebagai sebuah bentuk ancaman dari kemurnian ekspresi manusia dan posisi bakat sebagai bawaan lahir. Pertama, amplifikasi elektronik membuat jarak antara manusia dan bunyinya. Dan kedua amplifikasi dianggap sebagai topeng yang menutupi ketidakmampuan manusia, dalam perihal teknik bermusik. Hal ini jika dikaitkan dengan bakat sebagai bawaan lahir, maka, amplifikasi elektronik bisa dianggap sebagai cara untuk menghilangkan nilai mistis dari seorang pemusik.
Amplifikasi elektronik juga mengambil alih suara manusia, yang secara otomatis mengambil alih ekspresi, emosi dan subjektifitas. Suara menjadi tempelan, bersifat prostesis, dimediasi oleh mesin, menggoyahkan arti dari niatan, atau autentisitas suara kita. Apa yang kita dengar adalah getaran udara yang sudah diproses secara elektrik, menjadikan bunyi sebagai material dan menjadi sesuatu yang baru bagi tubuh kita. Namun begitu, bagi Jimi Hendrix, hal ini dia gunakan sebagai teknik. Bahkan dia menggunakan istilah "electric church" atau gereja listrik yang dia anggap sebagai sebuah bentuk kepercayaan. Kepercayaan ini, juga dianut oleh para pecinta musik psychedelic yang menyatakan bahwa musik elektrik bisa membawa emosi, perasaan dan ide menuju kematangan spiritual.
Paul Gilroy, seorang sejarawan, penulis, dan akademisi mengutip Hendrix menyoal electric church dalam tulisannya yang berjudul Soundscapes of the Black Atlantic. Berikut kutipannya yang telah saya terjemahkan: Kita bisa menganggap church di sini sebagai jalan bagi komunitas yang memilih untuk entah bagaimana saling menjalin hubungan satu sama lain karena menyaksikan satu performans yang berlebihan. Hendrix bersikeras akan pentingnya suara keras ini dalam menuju satu perubahan revolusional yang hadir melalui kejutan (shock) dan frekuensi yang benar (correct frequency), yang bekerja sebagai cara untuk memelihara sebuah komunitas. Sekarang kita beranjak ke Musik Konkret, untuk memahami bagaimana bunyi menjadi objek.
Nah, yang tadi-tadi kita bahas lewat fisika, sekarang kita masuk ke seni. Bagaimana ia bisa disebut sebagai sound object? Tadi juga sudah sempat dibahas soal listrik, atau amplifikasi elektronik, dan bagaimana teknologi tersebut menjadikan bunyi sebagai bahan, sebagai material, dialami dengan cara yang baru oleh tubuh kita. Dengan kata lain, bagaimana bunyi sebagai bahan malah menjadi asing bagi tubuh kita. Tahun 1948, seorang komposer, penulis, insinyur, teoris, filsuf bernama Pierre Schaeffer bekerja sebagai insinyur di Radio France, di Paris. Ia menciptakan istilah Musique Concrete yang bisa diartikan sebagai musik riil. Musik nyata. Bukan musik beton ya. Karena meskipun kita bisa membuat musik dari beton, tapi ini bukan tentang musik beton, tapi tentang musik nyata. Apa maksudnya dengan musik nyata? Apakah musik-musik sebelumnya tidak nyata?
Pada 15 Mai 1948, Pierre Schaeffer ini mengumumkan: I have coined the term musique concr├¿te for this commitment to compose with materials taken from ÔÇÿgivenÔÇÖ experimental sound in order to emphasize our dependence, no longer on preconceived sound abstractions, but on sound fragments that exist in reality and that are considered as discrete and complete sound objects ÔǪÔÇØ. Artinya, kurang lebih: Saya menemukan istilah musik konkrit sebagai komitmen untuk membuat komposisi dengan material yang diambil dari bunyi eksperimental yang ÔÇÿdiberikanÔÇÖ. Untuk menekankan ketergantungan kita, tidak lagi pada abstraksi bunyi yang terbentuk sebelumnya, namun pada fragmen bunyi yang ada dalam kenyataan dan dipertimbangkan sebagai objek bunyi yang memiliki ciri dan utuh.
PLAY: Berikut adalah komposisi pertama yang dihasilkan oleh Schaeffer yang judul Etude aux chemins de fer, railroad study. Itu tadi salah satu contoh musik konkret. Musik ini dihasilkan menggunakan kombinasi dari beberapa potongan rekaman suara yang pada waktu itu menggunakan tape dan diproses sedemikian rupa, dipotong, ditumpuk, didistorsi, diubah kecepatan, atau arahnya kemudian digabungkan menjadi sebuah montase. Potongan-potongan rekaman suara itu yang Schaeffer namakan sebagai objek bunyi. Nah ini, bunyi sudah menjadi objek, material. Seperti tadi yang dijelaskan oleh Schaeffer kalau dia membuat musik dari bunyi yang sebenarnya dan diperlakukan sedikit abstrak tidak seperti lagu atau simponi yang kadang bisa berbentuk skor. Materialnya bisa didapat dari rekaman bunyi apapun. Seperti yang kita dengar tadi misalnya, ada suara kereta api, peluit, suara mesin, suara krincingan dsb. Tapi bagi Schaeffer, musiknya bukan mengenai kereta api atau peluit itu. Ini tentang bunyi.
Bagi Schaeffer musik concrete itu tentang menyimak bunyi dalam pengalaman yang baru sama sekali. Memisahkan bebunyian dari konteks dimana mereka dihasilkan. Perihal ini yang dia namakan Acousmatic, yang artinya bunyi dipisahkan dari sumber aslinya. Kalau tadi autentisitas lewat elektronik itu dianggap berkurang, dengan adanya teknologi perekaman, bunyi justru terpisah dari konteks di mana bunyi itu dihasilkan. Ya, memang agak susah untuk membayangkan kebaruannya di zaman dulu itu seperti apa sekarang, karena telinga kita sudah amplified native atau kita sudah mengenal teknik perekaman. Schaeffer juga memperkenalkan istilah baru dalam musik yaitu sample. Sample di sini bisa bekerja layaknya sample kertas, atau sample kain, atau sample warna cat. Sample di musik adalah contoh dari bunyi yang diproduksi dari satu sumber dan direkam untuk kemudian digunakan sebagai bahan untuk membuat satu komposisi musik. Setelah direkam, baru bisa dimanipulasi. Ingat, kata kuncinya: manipulasi.
Musik konkrit juga muncul sebagai tantangan untuk dunia musik yang selama ini dia anggap, kalau abstraksi musik itu dibuat untuk instrumen musiknya. Apa artinya abstraksi musik dibuat untuk instrumen musik? Misalnya begini, kita membayangkan sebuah komposisi musik. Lalu, kita akan membayangkan musik yang akan kita karang komposisinya sesuai dengan instrumen musik yang kita kenali atau kuasai berikut dengan aturan atau batasannya. Nah, kalau tadi contohnya kita pakai gitar. Misalnya begini, musik yang masih dalam bentuk abstrak akan diabstraksikan menggunakan gitar, otomatis dia diciptakan untuk gitar.
Misalnya membayangkan (intro lagu Jimi Hendrix) atau (intro lagu Smells Like Teen Spirit). Dalam membayangkannya saja sudah otomatis diterjemahkan dengan dan untuk gitar. Karena tidak mungkin dalam mengabstraksi komposisi drum dengan menggunakan gitar. Ini abstraksi metafisik namanya. Hal itu juga untuk menunjukkan bahwa Pierre Schaeffer ingin memperluas dunia musik, dan menggunakan bebunyian yang musikal meskipun tidak sesuai dengan harapan untuk menjadi nada yang spesifik. Kembali ke contoh yang saya demonstrasikan tadi menyoal tuts piano yang umumnya berjumlah 88 nada, dengan jumlah frekuensi di luar piano. Jadi dengan adanya kenyataan ini, ada kemungkinan yang tidak terbatas dalam sebuah komposisi musik. Ya, bayangkan saja ada 19980 nada atau frekuensi yang bisa dipakai untuk membuat musik.
Anehnya, nama Pierre Schaeffer tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas. Bahkan bukunya yang berjudul A La Recherche DÔÇÖune Musique Concrete (In Search of a Concrete Music/Mencari Musik Konkrit), baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 2012. Artinya, untuk sekian lama, dia tidak dianggap relevan dalam kajian musik. Dia seperti noise dalam ranah musik. Sebab yang dilakukannya adalah merekonstruksi musik dari bawah ke atas. Dari mendengar, menyimak, lalu mengenali bunyi, baru diproses sedemikian rupa untuk dijadikan musik. Dari bunyi untuk bunyi.
Menyatakan kalau musik hanya salah satu bentuk dari bunyi. Bukan sebaliknya. Kita diajak untuk menikmati bunyi dengan pengalaman baru. Bukan menghasilkan bunyi lalu dijadikan musik. Mungkin bisa digambarkan seperti hubungan antara astronot dan astronom. Schaeffer telah mengubah paradigma di dalam musik yang sekarang hasilnya kita dengar dimana-mana melalui musik-musik seperti hip-hop dan musik-musik elektronik. Jadi, is sound a matter? Does sound matter? Pertanyaan pertama sudah kita jawab, dalam fisika bunyi itu bentuk energi, sedangkan dalam seni, bunyi itu dianggap sebagai objek, atau material. Sekarang kita masuk ke pertanyaan kedua, Does sound matter? Untuk bisa membicarakan soal persepsi dari bunyi kita akan kembali ke perihal noise. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, noise itu adalah anggapan dari sebuah bunyi. Anggapan negatif. Tapi ini akan coba saya jelaskan lagi. Secara etimologis, kata noise bisa ditelusuri ke bahasa Perancis Kuno, noyse, dan kata dalam bahasa Provencal pada abad ke-11, nosy atau nausa. Namun yang terakhir ini sumbernya belum jelas. Noise punya beberapa makna dan lapisan makna dan yang paling penting menurut saya itu ada empat.
- Unwanted sound-bunyi yang tidak diinginkan, bunyi yang tidak diharapkan.
- Unmusical sound, kalau kata Hermann HelmHoltz ini semacam ekspresi noise yang mendeskripsikan getaran-getaran non periodik.
- Any loud sound. Seperti yang sudah saya perkenalkan tadi, noise secara umum sering dipadankan pada kebisingan apapun atau hiruk-pikuk. Dalam konteks ini, bisa saja dilakukan pengaturan untuk bunyi di ruang publik berdasarkan desibelnya.
- Disturbance in any signaling system, ini biasa untuk elektronik dan pelistrikan, noise adalah gangguan apapun yang bukan sinyal yang diharapkan.
Bunyi yang tidak diinginkan tadi, yang nomor 1. Unwanted sound. Membuat noise menjadi istilah yang sangat subyektif. Apa yang dianggap musik bagi sekelompok orang bisa jadi noise bagi orang lainnya. Namun, dengan ini kita memiliki kemungkinan di mana sebuah masyarakat bisa menyepakati apa yang mereka anggap sebagai gangguan atau interupsi. Untuk mengganggu publik artinya untuk mengganggu sejumlah orang yang cukup banyak, dan pengaturan ini berhubungan dengan pendapat publik.
Nah, bentuk pengaturan bunyi yang bisa ditawarkan secara kuantitatif itu adalah dengan pembatasan desibel bunyi. Artinya apapun yang melampaui batas desibel yang sudah ditentukan adalah noise. Namun, pengaturan kuantitatif ini terbatas hanya pada noise yang berupa suara keras. Padahal ada juga noise yang sama mengganggunya tetapi bukan karena volumenya, misalnya bunyi peringatan akan habisnya listrik rumah tetangga kita.
Selama 25 abad lamanya, pengetahuan dari Barat berusaha melihat dunia. Pengetahuan Barat gagal memahami bahwa dunia bukan untuk dipandang, dunia itu untuk didengar. Dunia tidak untuk dibaca, melainkan untuk didengarkan. Pengamatan Jacques Attali menggiring kita pada kenyataan, bahwa, disiplin ilmu apapun selalu berusaha mengawasi, mengukur, mengabstraksi dan memotong makna. Perilaku ini seolah lupa bahwa hidup penuh dengan noise dan hanya kematianlah yang sunyi. Kerja noise, noise yang dihasilkan manusia, noise dari makhluk buas; noise dibeli, dijual, sekaligus dilarang. Tidak ada yang esensial yang terjadi tanpa kehadiran noise. Sementara, bagi Attali, sekarang musik adalah noise yang diorganisir.
Dalam dunia bunyi, musik, sebagai sebuah produksi yang punya otonomi sendiri, merupakan fenomena baru. Bahkan pada abad ke-18, musik masih merupakan bagian dari totalitas lain. Musik masih ambigu sekaligus rapuh, dan tidak dianggap penting. Sekarang, kita tak bisa lagi menghindari noise. Sekarang, musik sebagai kesenangan imaterial telah menjadi komoditas. Ia menjadi corong sekaligus penanda dari sebuah masyarakat. Ini adalah bukti nyata, bahwa yang imaterial pun bisa dijual. Hubungan antar manusia, antar masyarakat, bisa ditemukan dalam uang. Sebagai cerminan kehidupan bermasyarakat, musik memanggil kebenaran dalam khazanah perhatian kita: bahwa, kita mesti percaya kalau kehidupan bermasyarakatan itu lebih besar daripada sekadar kategori ekonomi, Marxist atau pun bukan.
Musik bukan sekadar bahan untuk kajian apa pun. Musik adalah cara memahami dunia, sebuah instrumen untuk memahami dunia. Bahasa atau matematika sudah tidak cukup lagi untuk kita agar bisa memahami apa yang penting, apa yang berkualitas, apa yang cair, yang mana yang ancaman, dan yang mana yang merupakan kekerasan. Oleh karena itu, supaya bisa membicarakan kenyataan-kenyataan baru, penting bagi kita untuk bisa membayangkan bentuk teoretik baru yang radikal. Ini pelajaran menarik dari Jacques Attali, seorang ekonom Perancis yang punya perhatian khusus pada aspek ekonomi politik dari musik. Attali menyatakan, bahwa yang ingin dilakukannya bukan membangun teori mengenai musik, tetapi justru membangun teori melalui musik. Tipis perbedanya antara "membangun teori mengenai musik" dan "membangun teori melalui musik".
Zaman sekarang, musik telah terlanjur diidolakan. Musik telah menjadi komoditas. Ini bukan lagi hal baru buat kita. Termasuk di dalamnya juga ada noise. Musik telah menjadi penanda akan kemapanan pengulangan-pengulangan yang dilakukan oleh masyarakat tertentu. Contohnya, Keong Racun, lagu ini menjadi terkenal karena duet netizen ala Sinta dan Jojo. Setelah itu banyak versi Keong Racun yang lahir, baik hanya dalam internet maupun di panggung-panggung dangdut di Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia dan Thailand, sampai akhirnya ST12 membeli hak cipta lagu tersebut. Fenomena ini menandai subversi (atau perlawanan tertentu) yang bisa menuju pada pengaturan atau organisasi sesuatu yang baru yang belum pernah ada teorinya. Sesuatu atau sebuah kondisi di mana pengaturan diri sendiri semakin jauh jaraknya dari kita. Seperti gaung dari sumber bunyinya.
NOISE EQUALS POWER
Pada masa Revolusi Industri 1800-an, manusia abai akan berisiknya mesin-mesin yang secara perlahan mulai menggantikan kerja tangan. Menurut R. Murray Schaffer, ini beda orang dengan Pierre Schaeffer, jadi R Murray Schaeffer itu menulis buku yang berjudul Sounscape, Tuning of The World. Schaffer menemukan catatan-catatan lama yang menyinggung kebisingan mesin, yang, hanya muncul ketika ada suara manusia yang terlibat.
Misalnya, suara raungan mesin potong yang muncul bersamaan dengan teriakan buruh yang tangannya tersangkut dan akhirnya putus karena terpotong mesin. Atau, ketika suara mesin dikalahkan teriakan para buruh yang berdemonstrasi untuk hak-haknya sebagai pekerja. Pada tahun 1900-an, ada kekaguman akan suara mesin-mesin pabrik, alat transportasi seperti kereta api, pesawat, mobil atau mesin perang, sebagai harmoni dalam kehidupan. Ini juga yang menjadi refleksi bagi Luigi Russolo seorang seniman dari kelompok futuris yang mengeluarkan sebuah manifesto berjudul: The Art of Noise.
Luigi Russolo dianggap sebagai salah satu komponis musik noise pertama. Melalui instrumen buatannya yang menghasilkan noise (noisemaker) dia mengadakan beberapa konser dalam bentuk orkestra dari instrumen-instrumen penghasil noise (noisemaker) buatannya. Sekarang, sudah seabad lebih semenjak noise ditemukan dan dirayakan, apakah kita sudah jadi lebih memikirkan bebunyian yang ada di sekitar kita? Sadarkah kita akan noise? Sekarang ini, kita bisa menganggap, bahwa seorang manusia yang memegang pengeras suara lebih punya kesempatan untuk menjadi imperialistik daripada yang tidak. Kenapa? Karena ia punya kekuasaan untuk mendominasi ruang akustik di sekitarnya. Dengan kata lain, kita beserta klakson (dan knalpot) kendaraan kita punya kesempatan untuk berkuasa atas ruang akustik tertentu. Ini, bisa menjelaskan kenapa ada saja orang yang memodifikasi klakson dan knalpotnya untuk menghasilkan bunyi yang lebih keras, untuk menguasai porsi jalan yang akan dia lewati. Akhirnya, kita telah tiba pada bagian terakhir dalam sesi ngaji bunyi kali ini.
Jadi, Is sound a matter? Does sound matter? Lagi-lagi saya ulang, dan masih menggunakan bahasa Inggris karena pertanyaannya jadi punya rima, dan pertanyaannya jadi terdengar sederhana sekaligus rumit pada saat yang bersamaan. Soalnya, kata matter dalam bahasa Inggris punya dua arti. Pertama, sebagai kata kerja, dia berarti material atau bahan, sesuatu yang bukan pikiran atau ruh; dan kedua, sebagai verba, yang penting atau yang signifikan. Menjawab pertanyaan pertama, Is sound a matter? Dalam fisika, bunyi adalah bentuk energi. Sedangkan dalam seni, bunyi itu adalah objek, atau material.
Sekarang kita masuk ke pertanyaan kedua, Does sound matter? Jawabannya ada pada kita masing-masing. Semoga yang saya jelaskan tadi itu cukup jelas bahwa noise adalah anggapan, pendapat, persepsi. Sekarang, cukup banyak negara yang mempunyai aturan kuantitatif terhadap noise, yaitu pembatasan desibel. Hal ini muncul karena mulai merebaknya percakapan mengenai Noise Induced Hearing Loss atau kalau di Indonesia, jadi tuli akibat bising (TAB).
Ilmu kedokteran menyatakan bahwa bunyi yang kita dengar secara berkelanjutan dengan kekuatan tertentu dalam waktu tertentu bisa mengakibatkan tuli. Ini sifatnya gradual, untuk lama kelamaan menjadi tuli permanen. Faktor usia juga bisa menyebabkan menurunnya kesensitifan pendengaran kita. Jadi di dalam gendang telinga kita itu ada sel-sel rambut yang menerima getaran untuk disampaikan ke otak. Nah, ini bisa rusak. Kalau sudah rusak tidak bisa diperbaiki, sel-sel rambutnya tidak bisa tumbuh lagi. Belum ada obatnya. Alasan saya ingin mengadakan ngaji ini dilatarbelakangi oleh kekahwatiran saya akan isu intoleran yang saya rasa kehadirannya seperti dipaksakan untuk memecah kita sebagai masyarakat sebangsa dan setanah air. Seperti yang kita ketahui bahwa bunyi itu adalah sesuatu yang tak tampak, tapi tidak pun tampak kita bisa merasakannya dan kita tahu bahwa bunyi selalu ada di sekitar kita selama kita memiliki pendengaran.
Sikap toleransi juga begitu, wujudnya tidak perlu ditampak-tampakkan, keberadaannya bukan untuk digembar-gemborkan tapi dijalani selama kita masih memiliki hati nurani. Namun belakangan ini seolah-olah yang tampak itu hanya sikap intoleran. Sangking seringnya dia dibicarakan, akhirnya menjelma menjadi seperti hantu yang juga tidak tampak tapi menakutkan. Sangking menakutkannya maka tidak ada yang mau membicarakannya atau mengintolerirnya. Untuk itu saya merasa perlu untuk menyampaikan apa yang saya ketahui seputar bunyi dan kaitannya dengan toleransi. Setiap individu memiliki batas toleransi pendengarannya masing-masing, ini selalu terkait dengan bagaimana si individu ini mengalami bunyi. Hal ini mungkin bisa saja dikarenakan kondisi dan lingkungan yang berbeda dari setiap individu ketika masih berada di dalam kandungan dan lahir dalam kondisi dan lingkungan yang berbeda juga. Sekarang lingkungan kita dipenuhi dengan noise, baik itu noise dari bunyi atau juga noise informasi. Dalam empat bulan ke depan, telinga kita akan diperdengarkan dengan begitu banyak kebisingan.
Untuk itu kita harus terus menjaga pendengaran kita dari hal-hal, yang bisa menyebabkan rusaknya pendengaran hingga kewarasan. Karena kalau pendengaran dan kewarasan kita sudah rusak, itu nanti tidak bisa kembali lagi, ini dikarenakan sel-sel rambut pada gendang telinga kita mati setelah mendengarkan bunyi yang kencang dalam waktu yang lama. Kalau sel-sel rambutnya mati, dia tidak bisa tumbuh lagi, tidak seperti burung atau amphibi yang memiliki kemampuan untuk menumbuhkan kembali sel-sel itu. Untuk itu kita harus benar-benar mengenali bunyi disekitar kita dan batas kemampuan kita dalam mendengar. Seperti yang saya jelaskan tadi, kalau bunyi itu layaknya energi dari sebuah zat, dan membawa sifat dari zat.
Kayu, keramik, perunggu, plastik, besi, aluminum umum digunakan untuk alat musik, dan bagi yang mendalaminya akan mengenal perbedaan karakter bunyinya. Bunyi adalah sebuah kejadian, kalau ada bunyi, pasti ada kejadian, ada kejadian pasti ada bunyi. Ada hubungan yang lebih autentik dari sumber bunyi dan pendengarnya ketimbang sumber cahaya dan yang melilhatnya. Mata, meskipun memiliki sistem bertahannya sendiri, namun mata lebih mudah untuk menangkap ilusi. Sehingga telinga bisa dianggap sebagai sensor yang lebih baik ketimbang mata untuk memahami sifat asli dari zat. Sekali lagi, kita harus benar-benar mengenali bunyi disekitar kita dan batas kemampuan kita dalam mendengar. Mungkin, justru ini yang hilang dari kehidupan kita sekarang, layaknya telinga yang kehilangan sensitifannya, kita juga kehilangan kemampuan kita untuk mendapat kejernihan dari sebuah informasi.
Kejernihan sekarang ini seakan-akan menjadi sebuah kemewahan, layaknya air sungai yang jernih yang dipenuhi oleh wisatawan setiap akhir pekan. Kita tidak lagi memiliki waktu untuk memvalidasi keabsahan informasi yang kita dengar. Telinga kita, kita wakilkan kepada outlet berita atau cuitan tetangga. Untung kalau outlet beritanya mendapat berita yang jelas, bisa-bisa outlet berita tersebut hanya meneruskan cuitan tetangga yang suka iseng membuat berita palsu. Kalau kita tuli, kita akan imun dari segala informasi yang berbentuk bunyi. Apakah ini yang akan menjadi jalan keluar untuk mendapat sebuah kemewahan tadi? Menjadi jernih dengan menjadi imun pada bunyi alias tuli?
Sebagai seniman yang ingin memihak pada bunyi, saya hampir selalu harus mengambil jalan memutar untuk bisa menghadirkan bunyi dalam ruang seni. Mulai dari masih harus melibatkan mata untuk menyampaikan bunyi, memajang karya bunyi layaknya karya visual sampai ke perihal mengurusi akustik ruang pamer yang selama ini memang tidak dirancang untuk karya-karya bebunyian. Kalau pada umumnya masyarakat kita sudah tidak lagi mendegar, bagaimana karya saya bisa dinikmati? Buat apa saya bikin karya? Apapun alasannnya, mengekspresikan apalah, atau untuk pengembangan disiplin begini-begitu. Toh tak bakal ada yang dengar.
Terima kasih.
Tentang, pameran dan karya Julian Abraham "Togar" dapat dilihat di: julianabraham.net; medanartdirectory.wordpress.com; gedegap.wordpress.com.
Category : kolom
SHARE THIS POST