Narasi Sejarah Islam di Masa Silam

slider
19 Januari 2021
|
3895

Judul : Atlas Wali Songo | Penulis : Agus Sunyoto | Penerbit : Pustaka IIMan | Cetakan : cetakan VI, November 2014 | Tebal : xiii +406 Halaman | ISBN : 978-602-8648-09-7

Masuknya agama Islam ke nusantara masih menjadi perdebatan. Saling silang wacana dengan bukti naskah, makam, prasasti, atau catatan sejarah menjadi pemicunya. Pasalnya setiap titik berangkat yang berbeda akan menghasilkan penemuan yang tidak serupa. Pun begitu pertanyaan kapan, di mana, dan oleh siapa, bisa kita dapati di berbagai literatur yang membahas soal itu.

Ada yang memiliki pendapat bahwa agama Islam masuk dari Cina dibawa oleh Laksamana Cheng Ho pada 1405 M. Sebelum ke Jawa, Laksamana Cheng Ho singgah beberapa saat di Samudra Pasai untuk bersua dengan Sultan Zainal Abidin Bahiansyah. Tentunya ada misi kerjasama politik dan perdagangan yang hendak dibangun, mengingat pada masa itu, Kerajaan Samudra Pasai menjadi tempat yang ramai oleh kunjungan para pedagang, pembeli, dan mungkin wisatawan mancanegara (hlm. 22).

Pendapat lain mengatakan bahwa agama Islam datang dari Yunnan-Champa pada pertengahan abad ke-15. Berbeda dengan Laksamana Cheng Ho, kedatangan orang-orang dari Yunan-Champa ini lebih pada pencarian tempat berlindung yang aman dari serbuan Vietnam. Pendapat ini juga dibuktikan dengan narasi yang berada pada Sulalatus Salatin (Sadjarah Melayu), Babad Tanah Djawi, Babad Ngampeldenta, Purwaka Caruban Nagari, dan Serat Kandha. Orang-orang Yunan-Champa ini juga melulu dinilai memiliki keterkaitan dengan wali keramat seperti Syaikh Quro di Karawang, Sunan Ampel di Surabaya, dan Syaikh Ibrahim as-Samarqandy di Tuban (hlm. 26).

Selain itu, ragam tradisi dari Yunan-Champa masih lestari sampai hari ini. Sapaan mak, kakak, adhy, dan kachong lebih populer dan berhasil menggantikan sapaan ina, raka, rayi, dan rare yang di era Kerajaan Majapahit kerap digunakan dalam keseharian. Begitu pun peringatan kematian dari hari ke-3, ke-7, ke-10, ke-40, ke-100, dan ke-1000 juga diuri-uri sampai generasi hari ini (hlm. 27). Meskipun tidak bisa dipungkiri juga bahwa tradisi-tradisi tersebut telah mengalami penambahan dan pengurangan tata cara, serta pergeseran maknanya.

Pendapat selanjutnya mengatakan bahwa agama Islam masuk dari India. Dan Islam di India sendiri banyak dipengaruhi oleh tradisi Persia. Maka ketika sampai di nusantara, tradisi-tradisi Persia itu turut dibawa dan digunakan. Bahkan sampai hari ini beberapa tradisi persia itu masih bisa ditemukan. Muhammad Abdul Jabbar Beg dalam bukunya bertajuk Persian and Turkish Loan-Words in Malay mencatat, setidaknya ada 77 kosakata Persia yang masih bisa ditemui, misalnya kanduri (kenduri), astana (istana), bandar (pelabuhan), diwan (dewan), jadah (anak haram), dan lain-lain. Selain itu, tradisi menyebut harokat (vokal) dalam bahasa Arab seperti jabar untuk fatkhah, jer untuk kasrah, dan pes untuk dhammah juga masih bisa ditemui di sembarang tempat (hlm. 32).

Adapun pendapat yang terakhir agama Islam itu masuk langsung dibawa dari tanah Arab. Hal ini ditengarahi oleh relasi perdagangan yang sudah terjalin sejak tahun 70 M, yang kala itu komoditi cengkeh nusantara sudah merambah ke Roma sampai Iskandariah. Abad ke-9, Abu al-Faida seorang ahli ilmu bumi pada masa itu juga telah menyebut adanya kepulauan nusantara (hlm. 33). Pelan-pelan para saudagar Arab ada yang datang ke Samudra Pasai, menikah dengan warga sekitar, bermukim, dan membentuk komunitas.

Keempat pendapat di atas, oleh Agus Sunyoto dalam bukunya bertajuk Atlas Wali Songo diakomodasi semua. Bahwa keempat pendapat itu berangkat dari sumber dan narasi yang berbeda, itu memang benar. Namun faktanya semua memang ada dan masih bisa ditemui sampai hari ini. Keempatnya bukan dianggap sebagai jejak historis yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling melengkapi sehingga pembaca bisa memahami narasi masuknya agama Islam di nusantara secara komprehensif.

Di buku ini tidak hanya menjelaskan proses masuknya agama Islam dari konteks luarnya saja, tapi juga mendudukkan latar nusantara sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses masuk, muncul, dan berkembangnya agama Islam. Seperti kita ketahui di banyak literatur, sebelum agama Islam datang ada dua agama besar dunia yang mukim dan mendapat respon positif dari warga setempat di masa itu. Di sisi lain, agama lokal dan kuno di nusantara yang disebut agama Kapitayan juga memiliki penganut yang terbilang subur.

Agama Kapitayan ini dideskripsikan sebagai ajaran yang memiliki sembahan utama Sanghyang Taya yang dimaknai sebagai kosong, hampa, atau suwung. Penduduk nusantara dulu menyebutnya dengan tan kena kinaya ngapa atau tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Sanghyang Taya memiliki pribadi yang baik (Sanghyang Wenang) dan buruk (Sang Manikmaya) sekaligus. Karena Sanghyang Taya tidak dapat diakses oleh panca indera manusia, maka mereka membuat alat tertentu yang dijadikan simbol keberadaan-Nya (hlm. 13).

 Di sisi lain keruntuhan peradaban Majapahit juga menandai cikal bakal kemunculan agama Islam di banyak tempat. Konflik internal yang menjurus pada perebutan kekuasaan, tidak adanya pemimpin yang mumpuni, dan pemberontakan di daerah-daerah membuat Majapahit harus kembang kempis mempertahankan kekuasaannya (hlm. 100). Meskipun di masa akhir membuka diri terhadap kemungkinan pasokan kekuatan dari agama Islam, namun itu tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Alih-alih bangkit kembali, justru peradaban Majapahit harus rela diganti dengan peradaban agama Islam.

Pasca runtuhnya Majapahit, secara otomatis agama Islam berkembang lebih leluasa tanpa kendala yang berarti. Adanya Wali Songo dan Kesultanan Demak yang didirikan oleh Raden Patah menjadi penanda babakan baru narasi historis Pulau Jawa yang bernuansa Islam. Masjid sebagai tempat beribadah, laku tirakat, alat musik, serat-serat, dan pagelaran kesenian lamat-lamat oleh Wali Songo diproduksi dan didistribusikan ke penduduk yang masih awam.

Hanya saja yang menarik, Wali Songo tidak membabat habis seluruh peradaban yang telah ada, tumbuh, dan berkembang semasa Kerajaan Majapahit sedang bertahta. Peradaban itu oleh Wali Songo hanya diberi sentuhan yang ciamik dicaranya, maknanya, dan orientasinya saja. Selebihnya tetap, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Kendati demikian dalam perjalanannya, apa-apa yang telah berbalut Islam ini tidak melulu melahirkan laku yang damai, ayem tentrem, tanpa adanya pertumpahan darah. Syaikh Siti Jenar misalnya, dalam cerita ia harus menemui ajal karena ajarannya yang kontroversial. Ya meskipun antara sumber Carita Purwaka Caruban Nagari, Serat Niti Mani, Babad Tjerbon, Historiografi Cirebon, dan Historiograi Jawa Tengah tidak seragam dalam menarasikan wafatnya Syaikh Siti Jenar ini.

Terakhir, buku ini bisa menjadi salah satu literatur yang memadai berkaitan dengan narasi masuk, tumbuh kembang, kontroversi, dan konflik agama Islam di nusantara pada masa silam. Meskipun di sisi lain, seperti yang saya sebut di awal, bahwa buku ini sangat mungkin untuk dibantah, dikritik, dan dilengkapi oleh literatur serupa yang lainnya.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa merangkap menjadi marbot di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta