Merenungi Kelisanan dan Keaksaraan pada Cerita Anak
Judul : Kitab Cerita: Esai-esai Anak dan Pustaka | Penulis : Setyaningsih | Penerbit : Penerbit Bilik Literasi | Cetakan : 2, Januari 2020 | Tebal : 82 halaman | ISBN : 978-623-7258-43-8
Cerita adalah hal yang lazim dirasakan oleh anak-anak nusantara, baik dalam bentuk tutur lisan (cerita rakyat yang diceritakan dari mulut ke telinga) maupun dalam bentuk reka tulisan (diceritakan dalam bentuk teks). Sayangnya dewasa ini, kelisanan seakan dilengserkan oleh keaksaraan. Ucapan dianggap tidak lebih penting dari tulisan, karena stigma ucapan akan hilang ditelan angin, sedang tulisan akan abadi sepanjang masa.
Senada dengan itu, Walter J. Ong dalam karyanya Kelisanan dan Keberaksaraan yang diterjemahan Bisri Effendi menyatakan bahwa, pelbagai seni verbal telah mulai bergeser menuju keaksaraan. Kondisi ini yang membuat Setyaningsih lewat Kitab Cerita: Esai-esai Anak dan Pustaka memiliki anggapan bahwa kelisanan dan keaksaraan kini telah berada dalam medan pertarungan, yang sepertinya telah dimenangkan oleh keaksaraan karena kecanggihan teknologi cetak (hlm. 7).
Kekalahan tutur lisan akan berakibat pada bunyi dan gerak isyarat yang tak bisa lagi dilihat. Berbeda dengan teks tulis yang dapat dilihat kapanpun, bunyi dan gerak isyarat itu tak akan bisa terulang kembali (hlm. 8). Kalaupun diulang, semuanya tak akan pernah sama dengan praktik yang sebelumnya.
Jika menengok keadaan ini, maka sudah seyogianya kelisanan mendapatkan perhatian lebih karena rentan punah jika tidak dilestarikan. Mirisnya, pemerintah sendiri agaknya memang lebih menganggap superior keaksaraan daripada kelisanan. Pernyataan ini semakin sulit dibantah dengan mengingat fakta tentang upaya pemerintah yang sedang semangat-semangatnya menggalakkan program literasi melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Tidak berlebihan jika Setyaningsih mengajukan beberapa usulan terkait upaya pembangkitan kelisanan dan keaksaraan secara bersamaan. Usulan-usulan tersebut meliputi kemampuan kelisanan dimasukkan ke dalam mata kuliah secara tersendiri, tidak hanya melebur ke dalam mata kuliah metode pengajaran dan atau pembelajaran. Kemudian menambah kadar pelatihan mendongeng bagi guru, pengadaan seminar bercerita untuk para orang tua dan calon orang tua, serta pembukaan kelas bercerita untuk anak-anak yang diselenggarakan oleh PKK (hlm. 11).
Selain mengkritisi keaksaraan, Setyaningsih juga mengajak pembaca untuk merenungi urgensi cerita anak. Setyaningsih seolah mampu menyulap bahasa-bahasa berat para pakar bacaan anak menjadi bahasa ringan estetis yang membuat pembacanya ketagihan. Diantara urgensi cerita anak adalah menghadirkan keinginan untuk memahami kehidupan lewat lembaran-lembaran cerita serta kebaikan buku-buku anak (hlm. 19). Lewat cerita, anak-anak lebih mudah menyelami nilai-nilai apik dan arif, karena pada dasarnya cerita seperti dalam dongeng selalu menyenangkan untuk didengar. Masa kanak-kanak adalah masa yang berkelindan dengan dongeng, entah ketika berada di rumah saat menjelang tidur, di sekolah saat guru membacakan cerita kecerdasan si kancil, atau di surau saat guru mengaji menceritakan dengan epik kisah-kisah para Nabi. Sebab pada dasarnya, anak-anak sedang menikmati kebebasan imajinasinya lewat cerita-cerita dongeng yang bisa saja tak akan didapatkan ketika sudah dewasa nanti, yang cenderung melihat segala hal dengan rasional, sementara dongeng memang cenderung irasional.
Ketika anak-anak sudah berada pada fase ‘menikmati bahan bacaan’, maka saat itulah anak-anak akan mulai menginjak fase mengerti dan memahami. Cerita-cerita tentang kedurhakaan anak kepada orang tua akan membuat anak-anak menyesal telah membantah orang tuanya, cerita-cerita tentang kebohongan akan membuat anak-anak mulai berhati-hati dalam berbicara dan bercerita, serta cerita-cerita tentang persahabatan sejati akan membuat anak-anak menyadari bahwa menjadi seorang teman yang baik merupakan sebuah kebahagiaan.
Di bukunya ini, Setyaningsih memiliki sebuah gagasan yang terbilang unik ihwal hadiah untuk anak-anak ketika perlombaan maupun penentuan juara kelas yang berupa buku tulis (hlm. 26). Setyaningsih memberikan sindirian yang menurut hemat saya cukup menohok untuk sistem pendidikan Indonesia bahwa, anak-anak yang menjadi juara kelas atau menjadi juara perlombaan sejatinya merasa bosan dan kecewa ketika membuka kado hadiahnya, karena selalu saja mendapatkan hadiah yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yakni beberapa buah buku tulis ‘kosong’. Niat lembaga pendidikan memang mulia, agar para peserta didik rajin menulis menggunakan buku tulis ‘kosong’ tersebut.
Namun ada satu hal penting yang agaknya luput dari perhatian, yaitu tulisan yang baik tidak akan pernah dihasilkan lewat penulis yang tidak suka membaca. Sebelum menulis, para peserta didik harus dibiasakan membaca terlebih dahulu, agar setiap kalimat yang ditulis dapat dipertanggungjawabkan. Bukankan menjadi sebuah bencana yang mengerikan, jika para peserta didik nantinya hanya doyan menulis hal-hal yang tak pernah ia baca atau ia ketahui sebelumnya? Seyogianya peningkatan minat baca anak-anak Indonesia dapat dimulai dengan mengganti hadiah buku tulis menjadi buku bacaan anak. Tanpa sadar, lewat buku tulis kosong, sekolah sedang mengajari siswanya untuk mengoleksi buku tulis, bukan mengoleksi buku bacaan kemudian menyelami isinya.
Akhir kata, buku dengan tebal 82 halaman ini akan menjadi bahan renungan yang menarik untuk pembaca sebagai orang tua, calon orang tua, maupun seorang pendidik. Terkait masalah substansi dalam buku ini, tak perlu diragukan lagi. Sebab Setyaningsih memang berkompeten dalam bidang cerita anak. Lewat ungkapan narsisnya, dengan gamblang ia telah menegaskan bahwa dua buku cerita anaknya telah terpilih sebagai sebagai bacaan literasi baca-tulis II yang diadakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud pada tahun 2018 (hlm. 32). Maka Kitab Cerita: Esai-esai Anak dan Pustaka memang ditulis oleh seseorang yang menggeluti dunia anak, baik literatur maupun pengalaman dalam durasi yang cukup panjang.
Category : resensi
SHARE THIS POST