Mereka yang Menggila demi Keselamatan

slider
27 Februari 2020
|
1268

Ada satu pasal menarik di dalam kitab Uqala’ al-Majanin karya Abu al-Qasim al-Naisaburi, yakni pasal yang berisi riwayat-riwayat mengenai orang yang berpura-pura gila agar selamat dari petaka. Namanya juga Uqala’ al-Majanin, yang berarti akal-akalnya orang gila, ya sudah pasti nyleneh. Tetapi walaupun begitu ada benarnya juga. Supaya tidak terlalu panjang menyebutkan sanad riwayat, maka riwayat langsung merujuk kepada sanad terakhir yang berkenaan dengan cerita-cerita tersebut. Berikut di antara riwayatnya:

Selamat dari fitnah masa Sayyidina Utsman

Abu Thawus bercerita, “Ketika fitnah pada masa Sayyidina Utsman semakin gencar, terjadilah persekusi besar-besaran kepada mereka yang membela Sayyidina Utsman. Berkatalah seorang lelaki kepada keluarganya, ‘Ikatlah tubuhku di tiang ini, dan katakan kepada mereka bahwa aku telah gila, supaya mereka tidak menyiksa kalian.’ Akhirnya putra-putranya mengikat ayahnya dengan kencang di tiang rumahnya. Dan benar saja, ia terhindar dari persekusi akibat fitnah sampai ketika Sayyidina Utsman terbunuh, ia menghentikan sandiwarannya dan meminta putra-putranya untuk melepaskan tali yang melilit tubuhnya.”

Selamat dari tragedi mihnah khalq Al-Qur’an

Tragedi ini adalah yang paling menghebohkan pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun. Siapa yang tidak sejalan dengannya akan dihadapkan pada dua pilihan, antara mengiyakan demi keselamatan atau tetap bertahan dengan keyakinan awal namun menjadi bulan-bulanan untuk disiksa. Dan pengujian ini berlangsung selama tiga masa, di mulai dari masa khalifah al-Makmun, lalu al-Watsiq dan terakhir masa khalifah al-Mu’tashim.

Kata mihnah yang berarti cobaan, pertama kali digunakan untuk menyebut pengujian ucapan terhadap tokoh-tokoh yang memiliki reputasi dan banyak pengikutnya seperti Imam Ahmad bin Hanbal, untuk mengetahui kemurnian iman seseorang. Kemurnian ini diukur dengan keyakian mereka bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (yang diciptakan).

Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya adalah di antara orang-orang yang menjadi sasaran mihnah. Walau didera siksaan berkali-kali, namun itu tidak memudarkan keyakinannya. Bahkan dalam sebuah riwayat menceritakan Imam Ahmad dicambuk sampai tak sadarkan diri di ruang sel tahanannya atas perintah Ahmad bin Abi Du’ad yang menjadi hakim pemerintahan khalifah al-Mu’tashim. Walaupun mendapat siksaan berat, atas kehendak Allah, beliau berhasil melewati mihnah dan menjadi satu-satunya ulama yang selamat dari tragedi ini. Maka di dalam Tarikh Baghdad, Ali bin al-Madini melempar pujian kepada Imam Ahmad, “Sesungguhnya Allah menguatkan agama Islam dengan dua orang, Sayyidina Abu Bakar pada waktu banyaknya orang murtad dari Islam dan Imam Ahmad pada tragedi mihnah.”

Ada juga tokoh yang mempunyai siasat kura-kura, ia adalah Abbadah bin al-Mukhannats.

Abu Ayyub al-Anshori bercerita, suatu ketika Abbadah bin al-Mukhannats menghadap Khalifah al-Watsiq di istananya. Sedangkan di lain tempat orang-orang yang menolak peresmian ideologi Mu’tazilah, terutama yang mengatakan Al-Qur’an adalah qadim akan disiksa dan dibunuh. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan imtihan. Di depan pintu istana Abbadah bin al-Mukhannits berkata di dalam hatinya, “Wallahi, jika mereka mengujiku maka aku akan mati.” Akhirnya Abbadah memberanikan dirinya membuka pintu istana. Dengan langkah tegak dan pasti, ia menghadap sang khalifah, “Semoga Allah mengagungkan pahala engkau, wahai Tuan!” puji Abbadah kepada sang khalifah.

“Karena apa?” tanya Khalifah al-Watsiq.

“Al-Qur’an, Tuan?” jawab Abbadah.

“Celaka kau, bukankah Al-Qur’an mati (makhluk)?”

“Benar, Tuan, setiap makhluk akan mati, begitu juga Al-Qur’an, jika ia mati pada bulan Sya’ban, lalu dengan apa orang-orang shalat nanti pada bulan Ramadhan?”

“Keluarkan orang ini, sudah gila dia!” perintah al-Mu’tashim kepada penjaga istana.

Masih pada kejadian yang sama, Yahya bin Muin menceritakan pengalaman dirinya yang selamat dari mihnah, “Ketika aku menghadap khalifah, ia berkata kepadaku, ‘Apa yang kamu katakan mengenai Al-Qur’an?’ Aku berpikir sejurus, lalu kujawab, ‘Makhluk, Tuan.’ Akhirnya khalifah membebaskanku. Alih-alih Al-Qur’an Kitabullah, padahal yang kumaksud adalah Quran bin Tammam al-Asadiy.”

Memang, menggila itu juga perlu. Kata Einstein, “Hidup waras sangat membosankan.”

 

Bahan bacaan:

Abu al-Qasim al-Naisaburiry, Uqala’ al-Majanin.

Al-Khatib al-Baghdady, Tarikh Baghdad.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Khoirul Athyabil Anwari

Santri Pesantren Al-Fattah, Kartasura