Menyimah Kisah Sang Majnun: Abu Alkama

slider
02 Mei 2020
|
1966

Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” (Qs. Al-Najm [53]: 43). Tertawa dan menangis adalah ciri sejati manusia. Tangisan bukan hanya suara rengekan atau jeritan yang disertai tetesan air mata semata. Begitu pula tawa, ia bukan hanya sekadar perubahan raut dan kerut wajah. Tapi keduanya sebagai penanda lahiriah, tawa dan tangis juga bersumber dari kedalaman jiwa. Jiwa manusia oleh Ibnu Sina dikategorikan ke dalam tiga bagian, yakni jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa yang berpikir (al-nafs al-nathiqat).

Canda tawa dan tangis bisa kita petik dalam sebuah kisah, tidak terkecuali kisah para majnun yang mengandung hikmah dibalik ceritanya yang tragis dan seringkali dikucilkan oleh masyarakat tempat dimana ia tinggal. Hal ini dikarenakan tingkal laku mereka dianggap tidak wajar dipandang oleh masyarakat pada umumnya. Semisal, kisah Qais yang mengejar seekor anjing dihadapan masyarakat yang sedang melaksanakan ibadah shalat.

Mendengar kata “majnun”, apa yang ada dipikiran kita? Bisa jadi jawabnya di antara dua kemungkinan, yaitu tentang kisah pemuda bernama Qais atau biasa di sebut Si Majnun yang jatuh cinta kepada Layla. Dan kemungkinan yang kedua, kata “majnun” diartikan gila.

Majnun yang dimaksudkan di sini, dan dalam berbagai kisah serta anekdot adalah orang yang disebut gila tetapi sebenarnya berakal (uqaylul majanin). Terkadang mereka bertindak seperti gila, tetapi ucapannya penuh hikmah; kadang-kadang berperilaku aneh akibat penyakit seperti epilepsi; kadang-kadang pingsan; dan berbagai perilaku aneh lain sehingga dianggap gila. Mereka kerap digambarkan sebagai orang tanpa rasa takut berbicara dengan kalangan bangsawan dan juga penguasa yang zalim.

Suatu ketika Abu Zaid al-Nahwi yang merupakan seorang ahli bahasa dan sastra yang cukup terkenal berasal dari sekolah Basrah (w. 215 H/830 M) bercerita, bahwa terdapat seseorang dari suku Kays pergi ke sebuah masjid untuk menjalankan shalat Jumat bersama anaknya.

Persis di depan masjid tersebut ada seseorang yang sedang duduk, ia adalah Abu Alkama, orang yang diketahui sebagai ukalaul majanin. Anak kecil dari suku Kays yang melihat Abu Alkama sedang duduk di depan masjid itu, meminta izin kepada bapaknya untuk bertanya dengan pertanyaan yang lebih cenderung mengolok-olok Abu Alkama.

Dengan penuh antusias dan kengototan, anak kecil itu ingin berbicara dengan Abu Alkama, meskipun telah dilarang oleh bapaknya. Singkat cerita, akhirnya bapak dari anak kecil tersebut berkata, “Bicaralah semaumu dengannya”. Lalu, anak kecil itupun berjalan dan berhenti di depan Abu Alkama. Mulai berlangsunglah dialog di antara keduanya.

Anak kecil dari Suku Kays itu pun bertanya dengan tujuan untuk mengolok-olok Abu Alkama dengan pertanyaan, “Hai Abu Alkama! Mengapa jenggot orang suku Kays tidak lebat dan mudah dirawat, sedangkan jenggot orang Yaman lebat-lebat dan susah dirawat?”

Abu Alkama pun menjawabnya dengan jawaban yang penuh hikmah, “Dan tanah yang baik, tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanamannya tumbuh merana, seperti jenggot bapakmu”. Orang yang mendengar ucapan Abu Alkama melepaskan tangan anaknya dan menghilang dalam keramaian karena malu.

Mari perhatikan jawaban dari Abu Alkama di atas, ia menjawab pertanyaan anak kecil tidak sembarang asal bunyi (asbun) saja. Melainkan ia menjawabnya dengan mengutip firman Allah Swt yang berbunyi, “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamnnya yang tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur” (QS Al-A’raf [7]: 58).

Dalam keterangan lainnya, ayat tersebut merupakan perumpamaan untuk menggambarkan keadaan orang-orang mukmin dan kafir. Kisah dari Abu Alkama di atas, merupakan kisah orang majnun yang bersahabat karib dengan Al-Qur’an. Abu Alkama betul-betul menyelami makna dan rahasia dibalik ayat-ayat Al-Qur’an.

Masih tentang kisah Abu Alkama sebagai ukalaul majanin. Ketika ia sedang berjalan-jalan, anak-anak kampung berkumpul untuk mengitarinya dan untuk mengolok-oloknya. Abu Alkama pun menghindari anak-anak kampung tersebut dengan berlari menjauhi mereka.

Tanpa sengaja dalam pelariannya dari anak-anak kampung tersebut, Abu Alkama berjumpa seorang tua yang dengan potongan rambut berkepang. Dengan tergesa-gesa Abu Alkama menjelaskan keadaannya kepada orang tua itu dengan berkata, “Hai Zulkarnain! Sungguh, Yakjuz dan Makjuj itu (makhluk yang) berbuat kerusakan di bumi”.

Penjelasan Abu Alkama di atas pun berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi, “Pada hari orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman. ‘Tunggulah kami! Kami ingin mengambil cahayamu.’ (Kepada mereka) dikatakan, ‘Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).’ Lalu di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Disebelah dalam ada rahmat dan di luarnya hanya ada azab” (QS Al-Hadid [57]: 13).

Dikisahkan pula bahwa Abu Alkama mendapat hukuman dan harus dipenjara. Ia minta izin kepada hakim untuk pulang ke rumah karena suatu keperluan, tetapi tidak diizinkan oleh hakim tersebut. Kemudian, Abu Alkama berkata, “Sehingga mereka tidak mampu membuat suatu wasiat dan mereka (juga) tidak dapat kembali kepada keluarganya” (lihat QS Yasin [36]: 50).

Setelah dimasukkan kedalam penjara, Abu Alkama bertanya kepada penghuni penjara dengan firman Allah dalam surah al-Muddatstsir ayat 42, “Apa yang menyebabkanmu masuk ke dalam (neraka) saqar?”. Mereka pun menjawab dengan mengutip surah al-Muddatstsir ayat 43, “Dahulu kami tidak termasuk orang yang melaksanakan shalat”.

Kemudian ketika di dalam penjara, Abu Alkama melihat Muhallab, yaitu seorang penyair terkenal, ia berkata, “Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami?”. Dalam kisah ini, Abu Alkama mengungkapkan keheranannya melihat seorang penyair terkenal dan berpengaruh seperti Muhallab dimasukkan ke dalam penjara.

Begitulah kisah seorang majnun yang bernama Abu Alkama. Ia menjadikan Al-Qur’an sebagai pelipur lara bagi mereka yang dirundung duka dan kesedihan; karib yang lembut dan menyenangkan bagi mereka yang mencintainya. Bagai samudra tanpa pesisir yang terus memberikan hikmah dan kebijaksanaan bagi siapa pun yang mengakrabinya, serta menelisik lapis demi lapis makna yang dikandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an dari makna harfiah yang paling luar hingga mutiara hikmah yang lebih rahasia.

 

Referensi:

Hasan Tasdelen, Kur’anla Gulmek Kur’anla Aglamak, terj. Hasbi Sen (Jakarta: Zaman, 2014).

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Asep Saepullah

Mahasiswa Pascasarjana Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta