Menyelami Ragam Falsafah Hidup Manusia

slider
20 Juni 2023
|
2274

Judul: Falsafah Hidup | Penulis: Fahruddin Faiz | Penerbit: MJS Press | Tebal: 136 halaman | Terbit: 2023 | ISBN: 978-623-88285-1-7

Peradaban manusia begitu dinamis dan adaptif; melahirkan beragam falsafah kehidupan yang arif dan reflektif dari zaman ke zaman. Falsafah hidup manusia sebagai yang idealitas akan senantiasa bersarang di kepala, namun ia juga mengejawantah dalam kenyataan hidup manusia. Setidaknya ia mampu dipelajari dan diajarkan.

Sebagai yang “ideal” atau “sempurna” ternyata beragam falsafah hidup manusia itu. Buku setebal 136 halaman ini mencoba menguraikannya. Dalam tajuk Falsafah Hidup, Fahruddin Faiz mengajak kita menyelami ragam falsafah hidup dari empat tradisi filsafat yang berbeda-beda. Mendedahnya satu per satu dengan tekun, renyah, dan ringan dicerna.

Menyisir Falsafah Cahaya

Ranah pertama adalah ranah filsafat Islam. Mengambil “Falsafah Cahaya” sebagai fokusnya, bab pertama banyak membahas seputar metafora cahaya, teori cahaya, dan kaitan eratnya dengan dunia tasawuf.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Misykatul Anwar memandang bahwa “cahaya” itu bisa dimaknai berbeda-beda sesuai dengan level pemaknaan manusianya. Beliau membaginya dalam tiga tingkatan: awam, khawas, dan khawasul khawas.

Manusia awam memaknai “cahaya” secara harfiah; secara indrawi semata. Ini bisa kita temukan dalam kisah-kisah sufistik yang mengagumkan seperti kisah betapa “bercahayanya” Rabiah Al-Adawiyah dan Abu Husein Ahmad An-Nuri ketika sedang asyik bertasbih bermesraan dengan Sang Kekasih.

Seorang khawas memaknai nur secara berbeda; bukan lagi dengan pancaindra semata, melainkan menggunakan akalnya. Mereka yang tekun belajar, mencari ilmu, mengejar hikmah adalah manusia-manusia khawas yang tengah berikhtiar mencari “cahaya yang sejati”.

Level ketiga yakni khawasul khawas. Ini merupakan maqam para Kekasih Allah yang telah mengalami kasyf dalam laku tasawuf. Jiwa-jiwa yang bersih dari wahm dan hasrat-hasrat duniawi yang profan.

Suhrawardi Al-Maqtul, pemikir masyhur asal Persia yang terkenal dengan filsafat iluminasinya, mempunyai pandangan lain tentang falsafah cahaya. Baginya, cahaya adalah analogi guna melukiskan metafisika kehidupan. Semakin dekat kita dengan “sumber cahaya”, semakin terang diri kita. Sebaliknya, semakin jauh dari cahaya maka akan semakin gelap jiwa kita.

Pandangan semi-neoplatonistik ini mendorong kita agar berlomba-lomba menjauhkan diri dari jurang asfala safilin menuju insan yang ahsanu taqwim. Seperti halnya seekor laron, kehadiran kita di dunia ini, hakikatnya, adalah untuk “mencari cahaya”. Melenyapkan keakuan yang membebani diri agar bisa menyatu dengan Sang Cahaya Sejati.

Memahami The Law of Attraction

Bab kedua bergeser ke ranah filsafat Barat dengan mengulik teori The Law of Attraction; mengajarkan kita untuk lebih optimal dalam menjalani setiap momen kehidupan. Bahwasanya, hal-hal baik akan datang jika kita fokus pada aspek-aspek positif, dan begitu pun sebaliknya.

Teori ini kerap dikaitkan dengan Gerakan New Thoughts yang muncul awal abad ke-19. Filsafat Barat yang cenderung mengedepankan cara pandang positivistik merindukan sentuhan khazanah-khazanah spiritualitas. Dari sini kemudian muncul teori The Law of Attraction ini, yang diramu dari berbagai gagasan aliran spiritual. Mulai dari Hermetisisme Yunani Kuno, transendentalisme abad 18, sufisme, serta Buddhisme dan Hinduisme.

Ada beberapa nama tokoh yang cukup likat dengan teori satu ini. Sebut saja Helena Petrovna Blavotsky dengan teosofinya, Rhonda Byrne dengan karya The Secret yang populer di Indonesia, sampai William Walker Atkinson dengan teori The Seven Cosmic Laws.

Seperti kata Heraklitos, semua hal di dunia itu pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri. Oleh karenanya, yang bisa kita upayakan adalah memfokuskan diri pada hal-hal yang dapat kita kontrol.

Di sinilah pentingnya berhusnuzan dan bersyukur dalam menjalani hidup. Dua hal ini sering kali terkesan regresif. Husnuzan acap disangka naif dan bersyukur kerap dicap pasif. Padahal, dua aspek ini adalah landasan fundamental sebelum melangkah lebih jauh ke depan.

Kita harus “selesai” dulu dengan diri kita yang sekarang untuk bisa berprogres. Ia yang tidak bisa menerima situasi hari ini akan sukar menjemput anugerah yang ada di kemudian hari. Maka dari itu, bersyukur dan berhusnuzan itu penting agar kita bisa terus berkembang lebih baik lagi dari waktu ke waktu.

Neraca Dualisme Yin-Yang

Yin-Yang disebut-sebut sebagai salah satu falsafah tertua yang pernah ada. Ajaran dari Tiongkok Kuno ini memandang bahwa segala hal dalam hidup ini memiliki dua sisi yang berbeda. Namun, perbedaan tersebut—meski terkesan kontradiktif—sebenarnya saling membutuhkan, mewujudkan, dan melengkapi satu sama lain.

“Keindahan” itu tampil sebagai sesuatu yang “indah” karena ada yang jelek, kata Lao Tzu dalam kitab legendarisnya Tao Te Ching. Pagi yang cerah kita sebut demikian karena ada fenomena cuaca yang lebih buruk lainnya yang dijadikan pembanding. Hal ihwal komparatif inilah yang membuat segala hal di dunia ini memiliki nilai atau kesan khusus yang melekatinya.

Neraca dualisme Yin-Yang inilah yang harus dijaga agar kita bisa lebih bijak dalam menyikapi berbagai persoalan dalam hidup. Bahwasanya, realitas kehidupan itu memang dinamis-dialektis. Kita mesti luwes dalam menjalaninya. Harus berkompromi dalam menyelesaikan suatu permasalahan, namun itu tidak berarti lantas kita kehilangan idealisme sama sekali.

Dalam bab ketiga ini juga terdapat kisah-kisah hikmah yang menyejukkan hati. Folklor Yin dan Yang, kisah petani dan kudanya, dan cerita Slilit Sang Kiai menjadi beberapa alegori yang bisa kita renungi bersama. Mengingatkan kita betapa hidup ini penuh paradoks dan akan selalu membutuhkan kebijaksanaan dalam menyikapi setiap likunya.

Dalam hidup, terkadang yang perlu kita lakukan hanyalah mengikuti dialektika hukum alam. Kelanjutannya, itu adalah pengejewantahan dari prinsip Wu-wei: mengalir bersama alam. Manifestasi Yin-Yang dengan pola Wu-Wei adalah upaya menjalani hidup dengan prinsip-prinsip mendasar, yakni adil, proporsional, sederhana, luwes, terbuka, dan bergembira.

Enam prinsip tersebut adalah modal dasar untuk menjalani hidup yang lebih tenang dan natural. Dengan memahami “ritme alam”, manusia akan lebih rileks dalam menikmati hidupnya. Tahu kapan harus bertindak responsif tanpa harus buru-buru, paham bersikap santai tanpa terjerembab lubang kemalasan, dan pandai membangun pikiran positif dengan tetap eling lan waspodo. Itulah kunci keseimbangan Yin-Yang dalam hidup.

Gulir Harmoni Cakra Manggilingan

Bab terakhir membahas tentang falsafah Jawa yang cukup populer, yakni Cakra Manggilingan. Bahwa hidup manusia itu selayaknya roda yang berputar; kadang di atas, kadang di bawah. Terus berputar, berdinamika mengikuti laju peradaban dengan hal-hal baru yang akan ditemui dan diadaptasi.

Dalam Filsafat Sejarah, hal ini bisa dilihat sebagai sesuatu hal yang siklis. Beberapa tokoh, mulai Ibnu Khaldun, Giambattista Vico, Oswald Spengler, hingga Arnold Joseph Toynbee pun mengamini pandangan dalam membaca gerak sejarah secara siklis. Mungkin ada banyak rentetan peristiwa baru yang akan lahir ke dunia, tetapi ketika ditilik lebih dalam, polanya kurang lebih selalu sama (siklis) dan berkesinambungan.

Dalam masyarakat Jawa, falsafah Cakra Manggilingan dimaknai dalam kejadian di tiga dunia: alam purwa, alam madya, dan alam wusana. Kita saat ini sedang berada di alam madya (alam dunia), sedangkan pemaknaan alam purwa lebih dilihat sebagai refleksi eksistensial tentang mengapa kita lantas ditakdirkan “ada” ke dunia ini.

Begitu pun dengan alam wusana yang mengingatkan kita bahwa kehidupan di bumi hanya temporer. Apapun yang kita alami hari ini, tak perlu disikapi secara berlebihan; secukupnya saja. Terpenting, senantiasa berhati-hati agar tidak terlena dan lupa bahwa masih ada kehidupan yang sejati setelah kematian nanti.

Siklus hidup manusia, dalam falsafah Jawa, tergambar dalam tembang-tembang macapat, yakni maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradana, gambuh, dhandanggula, durma, pangkur, megatruh, dan pucung. Sebelas tembang macapat ini merepresentasikan hidup manusia sejak dari dalam kandungan hingga di liang lahat kelak.

Telaah ranah mikrokosmos diwakili oleh macapat, sementara dalam ranah makrokosmos (sunatullah alam semesta) cakra manggilingan bekerja seperti dalam Serat Kalatida karya Ronggowarsito. Bahwasanya, dimensi zaman itu berputar dari fase kalatida, kalabendhu, dan berakhir di kalasuba.

Zaman kalatida adalah zaman egoisme; masa ketika setiap orang mengejar kesenangannya sendiri. Kemudian, bila sudah semakin parah akan berganti menjadi zaman kalabendhu alias zaman edan.

Ora ngedan, ora keduman”, begitu kira-kira paradigma yang menyeruak pada zaman kalabendhu. Anehnya, pada zaman ini, segalanya tampak teratur, stabil, dan normal. Namun, justru itu adalah tanda bahaya. Karena semua orang ngedan (menggila) maka kegilaan itu muncul menjadi sesuatu hal yang normal kemudian. Tata nilai dan tata kebenaran dijungkirbalikkan sedemikian rupa dalam “kegilaan” yang menjelma “kenormalan” tersebut.

Setelah itu, akan datang zaman kalasuba; zaman terang menuju kemakmuran. Ketiga zaman ini berputar secara siklis. Keniscayaan ini harusnya membuat kita sadar bahwa, seperti kata Ki Ageng Suryomentaram, hidup itu sebentar senang dan sebentar susah.

Cakra manggilingan mengajarkan kita agar tidak mudah berputus asa dalam hidup. Dengan menyadari kesementaraan kita dalam kehidupan ini, kita tetap bisa bersikap optimistis dengan senantiasa mawas diri.

Becik ketitik, ala ketara.

Sesungguhnya, kebaikan selalu bernilai murni. Apa yang mengaburkannya, itu hanya sekadar menyelimutinya saja, bukan menghapusnya sama sekali. Tetaplah bersinergi dan memayu hayuning bawana. Mari tanam hal-hal baik demi hidup yang lebih harmoni.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Lindu Ariansyah

Santri Partikelir MJS