Menyelami Pemikiran Romantisisme Jean-Jacques Rousseau

slider
13 Juni 2024
|
1432

Zaman pencerahan yang berlangsung antara abad ke-17 dan ke-18, melahirkan banyak pemikir berpengaruh dalam sejarah pemikiran barat. Zaman ini ditandai dengan pengagungan rasio atau akal sebagai lentera peradaban, dan penghormatan terhadap kebebasan manusia, yang menggantikan dogma agama dan berbagai macam bentuk takhayul yang dominan di abad pertengahan.

Salah satu pemikir atau filsuf yang menonjol dari zaman pencerahan, adalah Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). Meski Rousseau dilahirkan di Jenewa, Swiss. Ia digolongkan sebagai filsuf Prancis. Di negeri inilah, Rousseu banyak menghabiskan aktivitas intelektualnya dan menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 66 tahun.

Sumbangsih pemikiran Rousseau yang terbesar adalah dalam bidang politik, terutama mengenai ide demokrasi dan kehendak umum. Selain itu, Rousseau juga dikenal sebagai pelopor romantisisme, sebuah gerakan yang pemikirannya bertabrakan dengan mayoritas filsuf di zaman pencerahan. Karya-karyanya yang termasyhur adalah The Social Contract, Confession, Emile dan Discourse on Inequality.

Selama hidupnya, Rousseau dikenal sebagai sosok yang sering berseteru dengan orang lain, termasuk dengan sahabatnya, David Hume dan Voltaire. Meski demikian, pemikirannya memiliki pengaruh yang besar terhadap para filsuf setelahnya di kemudian hari. Apa sebetulnya yang dimaksud dengan gerakan romantisisme? Bagaimanakah proyek filsafat Rousseau dan relevansi pemikirannya terhadap zaman kontemporer?

Selayang Pandang Romantisisme

Dalam buku Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietsche karya F. Budi Hardiman (2019), dikatakan bahwa gerakan romantisisme sudah dimulai sejak tahun 1770-an sampai dasawarsa pertama abad ke-19. Romantisisme juga dapat dikatakan masih berada dalam suasana pencerahan, meski gerakan ini sebetulnya memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemikiran pencerahan.

Gerakan romantisisme meliputi banyak bidang, mulai dari kesusastraan, kebudayaan, seni, filsafat dan terutama politik. Gerakan ini lebih mengutamakan aspek emosional manusia daripada aspek rasionalnya, dan sedikit banyak juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang berasal dari Timur.

Menurut Hardiman, baik romantisisme maupun pencerahan sama-sama memandang manusia sebagai makhluk yang bebas. Namun, sementara pencerahan memandang mitos dan emosi subjektif sebagai hal yang membelenggu manusia, romantisisme justru memandang hal yang membelenggu manusia adalah kebudayaan yang dihasilkan dari rasio atau akal.

Sebagaimana dikatakan Bertrand Russell dalam Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik Zaman Kuno hingga Sekarang (2022), secara umum gerakan romantisisme dicirikan dengan digantikannya standar kepraktisan dengan estetika. Kaum romantik misalnya, memandang bahwa seekor cacing itu bermanfaat, tetapi tidak indah. Sebaliknya, seekor harimau itu tidak bermanfaat, tetapi tubuhnya memiliki keindahan.

Kaum romantik juga memiliki ketertarikan pada hal-hal yang aneh, seperti misalnya hantu, kastil tua yang sudah terbengkalai, dan praktik-praktik magis seperti hipnotis. Berbeda dengan kebanyakan orang yang memandang abad pertengahan sebagai zaman kegelapan, kaum romantik justru memandang abad pertengahan sebagai zaman yang menyenangkan dan merindukan kembalinya zaman tersebut.

Sebagai bapak romantisisme, watak gerakan ini sangat menonjol dalam pemikiran Rousseau. Seperti dikatakan Hans Fink dalam Filsafat Sosial: Dari Feodalisme hingga Pasar Bebas (2003), Rousseau memang sependapat dengan para pemikir pencerahan lainnya, bahwa manusia pada hakikatnya baik. Namun, ia tidak sependapat bahwa kebaikan alamiah itu dicapai dengan mengganti prasangka tradisional dengan akal.

Rousseau berpendapat bahwa pemikiran pencerahan yang mengagung-agungkan rasionalitas, dapat menjauhkan orang-orang dari kebaikan moral seperti kerendahan hati dan sikap tolong menolong. Ia pun lantas menyerukan sebuah slogan “back to nature” atau “kembali ke alam”.

Namun, ketika Rousseau menyatakan bahwa manusia harus kembali ke alam, ia tidak berpikir bahwa manusia harus kembali ke hutan rimba dan menjalani kehidupan primitif. Perkataannya ini dimaksudkan bahwa manusia harus kembali kepada kehidupan yang bersahaja, berdasarkan kehendak dan perasaannya.

Teori Kontrak Sosial dan Keadaan Alamiah

Rousseau merupakan salah satu dari tiga filsuf, yang mengemukakan teori mengenai kontrak sosial dan keadaan alamiah. Selain Rousseau, dua filsuf lainnya adalah Thomas Hobbes dan John Locke, yang sama-sama berasal dari Inggris. Sedikit banyak teori kontrak sosial dan keadaan alamiah versi Rousseau, memiliki persamaan dan perbedaan dengan kedua pendahulunya tersebut.

Di satu sisi, pemikiran Rousseau mirip dengan Locke dalam menggambarkan keadaan alamiah sebagai keadaan utopis. Namun, sementara Rousseau menganggap bahwa manusia pada dasarnya baik, Locke tidak mempercayai hal tersebut. Selain itu, mereka juga bersimpangan jalan dalam merumuskan motif diadakannya kontrak sosial.

Locke mengatakan bahwa kontrak sosial terjadi karena adanya urgensi untuk melindungi hak milik dan mempertahankan keadaan alamiah yang utopis. Sementara Rousseau mengatakan kontrak sosial terjadi karena kendala yang dihadapi manusia, lebih banyak dibandingkan sumber daya untuk mempertahankan diri dalam keadaan alamiah.

Mengutip Henry J. Schmandt dalam buku Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern (2021), pemikiran Rousseau mengenai keadaan alamiah dapat dilihat dalam karyanya berjudul Discourse on the Origin and Foundation of Inequality. Rousseau menggambarkan keadaan alamiah manusia seperti di taman surga, di mana manusia hidup tenang, bahagia, dan sederhana.

Sebagaimana yang dikatakan Schmandt, Rousseua berpendapat bahwa ada dua motif dan tujuan yang mendorong orang-orang mengadakan kontrak sosial. Pertama, kebutuhan terhadap masyarakat korporasi yang dapat memobilisasi kekuatan bersama dengan dukungan semua anggotanya. Kedua, keinginan dari setiap individu untuk tetap memiliki kebebasan, meski disatukan dengan orang lain dalam hubungan timbal balik.

Dalam kontrak sosialnya, Rousseau memiliki pandangan yang sama dengan Hobbes, bahwa manusia menyerahkan seluruh haknya. Namun, jika Hobbes mengatakan bahwa penyerahan hak ini diberikan kepada satu orang atau sekelompok orang, Rousseau mengatakan penyerahan hak tersebut diserahkan kepada semua orang yang terlibat dalam kontrak sosial tersebut.

Pemikiran Rousseau mengenai penyerahan hak kepada semua orang, memiliki implikasi dengan pemikirannya mengenai demokrasi dan kehendak umum. Tindakan penyatuan individu ke dalam sebuah komunitas melalui kontrak sosial, pada akhirnya menciptakan negara sebagai institusi sosial.

Demokrasi dan Kehendak Umum

Menurut Hardiman (2019), Rousseau melihat adanya perubahan kondisi setelah terjadinya kontrak sosial. Misalnya, dalam keadaan alamiah terdapat “kebebasan alamiah” dan manusia dibatasi oleh kekuatan fisik individu, maka setelah terjadinya kontrak sosial keduanya digantikan oleh “kebebasan sipil” dan dibatasi oleh kehendak umum.

Dalam pandangan Rousseau, jika suatu negara dikelola dengan baik, maka kebebasan warga negaranya bisa lebih tinggi daripada negara. Contoh negara yang dianggapnya baik, adalah negara yang merefleksikan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat, menurutnya, adalah pengimplementasian kehendak umum.

Rousseau juga menentang adanya lembaga perwakilan, karena menurutnya keberadaan lembaga tersebut dapat mereduksi kedaulatan rakyat. Ia percaya bahwa kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi, seperti pembagian antara eksekutif dan legislatif. Secara tidak langsung, Rousseau menentang konsep trias politica yang digagas oleh Locke, yang membagi kekuasaan menjadi tiga: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Sebagai pendukung demokrasi dan penentang monarki, Rousseau sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Mengenai hal ini, Hardiman menilai bahwa pemikiran Rousseau mengenai kehendak umum, juga menjadi legitimasi terhadap totalitarianisme. Ketika Rousseua mengatakan bahwa kehendak umum selalu benar, pendapatnya tersebut menjadi bibit munculnya “tirani mayoritas”, dan “penindasan terhadap minoritas”.

Jadi, dapat dikatakan bahwa pemikiran Rousseau mengenai kedaulatan rakyat dan kehendak umum, terkesan berlebihan dan dapat menyimpang dari prinsip demokrasi itu sendiri. Namun, terlepas dari pemikirannya mengenai kehendak umum, harus diakui bahwa Rousseau adalah sosok yang gigih sebagai pembela demokrasi dan kebebasan manusia.

Hidupnya yang penuh perseteruan dan pemikirannya yang kontroversial, tentunya tidak mereduksi Rousseua sebagai seorang filsuf besar. Ia pada dasarnya adalah anak emas dari zaman pencerahan, kendati ia memiliki pemikiran berbeda dengan pemikiran umum pada zamannya.

Referensi:

Hardiman, F. Budi. 2019. Pemikiran Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius.

Schmandt, Henry J. 2021. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Russell, Bertrand. 2002. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik Zaman Kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fink, Hans. 2003. Filsafat Sosial: Dari Feodalisme hingga Pasar Bebas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Indra Nanda Awalludin

Asal Sindang, Majalengka, Jawa Barat