Menuju Ikhlas
Ngaji Filsafat pada 28 Desember 2022 mengangkat tema “Ikhlas”. Sebuah tema yang penting sekaligus berat. Penting karena memang sepantasnya kita menjalani hidup dengan keikhlasan. Berat bukan dalam tataran diskursus, melainkan dalam level praktek. Terlebih lagi dalam peradaban pamer hari ini yang menuntut kita untuk menunjukkan kedirian, sementara ikhlas menghendaki khumul (menyebunyikan) kedirian.
Imam Syafi’i berkata, “Semua manusia akan hancur kecuali orang yang berilmu. Tapi, orang yang berilmu juga akan hancur kalau tidak mengamalkan ilmunya. Dan, orang yang beramal pun pada akhirnya akan hancur, kecuali orang yang ikhlas.”
Ucapan Imam Syafi’i ini sedikitnya menggambarkan keutamaan ikhlas sebagai puncak eksistensi diri manusia. Ilmu memberi nilai pada kehidupan manusia, namun ilmu tanpa amal belum cukup, dan pada akhirnya amal juga menuntut sebuah keadaan ikhlas.
“Ikhlas” secara etimologi berasal dari bahasa Arab. Isim mashdar dari “akhlasa—yukhlisu—ikhlasan” yang artinya murni, tidak tercampur, bersih, dan jernih dari sesuatu yang sebelumnya sudah pernah terkontaminasi.
Awalnya mungkin kita melakukan sesuatu itu berangkat dari niat yang masih terkontaminasi dengan berbagai motif, namun pada akhirnya motif-motif itu hilang dan yang tersisa hanyalah kemurnian niat kepada Yang Maha Kasih.
Pada tahap ini manusia mencapai sebuah keadaan, yang disebut Imam al-Ghazali sebagai “tujuan (niat) amal yang murni”, dan yang disebut Imam al-Qusyairi sebagai “penunggalan al-Haq”, dalam mengarahkan orientasi ketaatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sampai di sini kita dapat mengartikan ikhlas sebagai sebuah proses. Proses menuju pada keadaan “murni hanya karena Allah”. Proses itu melalui jalan amal saleh dengan bertitik tolak pada mengupayakan niat yang ikhlas, dan berakhir pada titik tujuan keridaan Allah.
Karena niat merupakan proses menuju kepada penunggalan al-Haq (versi al-Qusyairi), maka dalam perjalanannya ada tingkatan-tingkatan keikhlasan. Ini sejalan dengan Imam asy-Syarkawi dalam al-Minhajul Qudsiyyah ala al-Hikam al-Atha’ilah, yang membagi tingkatan ikhlas dalam tiga level.
Pertama, ikhlasul-‘ibad, yang merupakan keikhlasan seorang hamba dalam melakukan amal dengan masih mengharap balasan surga dan keselamatan atas neraka dari Allah. Keadaan ini sudah termasuk ikhlas.
Kedua, ikhlasul-muhibbin, yang merupakan ikhlasnya para pecinta. Mereka melakukan amal tanpa mengharap apa pun selain cinta-Nya.
Ketiga, ikhlasul-arifin, yang merupakan ikhlasnya orang-orang arif. Ini adalah level peleburan hamba dengan Allah dalam ikhlas. Mereka sepenuhnya sadar bahwa semua daya menuju Allah (amal yang mereka lakukan) hakikatnya merupakan anugerah dari-Nya. Sebagaimana Syaikh Abu Syuaib Sholih ar-Rusti as-Susi memandang bahwa, “Ikhlas adalah perbuatan yang menghilangkan persepsi keikhlasan itu sendiri.” Pun, demikian level tertinggi keikhlasan adalah mengikhlaskan rasa ikhlas itu sendiri (ikhlasul-arifin).
Dalam proses menuju ikhlas, faktor-faktor pendukungnya adalah ilmu, sahabat atau circle yang baik, mujahadah an-nafs (kemampuan mengendalikan diri), isti’anatullah (kesadaran memohon pertolongan Allah), dan sadar akan kefanaan diri serta dunia. Sedangkan, yang menjadi penghalang jalan menuju ikhlas adalah riya, ujub, takabur, hasud, dan munafiq. Hal-hal ini penting diperhatikan untuk menuju ikhlas.
Bebas dari FoMO (Fear of Missing Out) Menuju Ikhlas
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa ia berharap agar ilmunya dipelajari oleh banyak orang, kitab-kitab yang ditulisnya dibaca dan bermanfaat bagi banyak orang, tanpa perlu orang-orang menyebut-nyebut namanya. Keinginan Imam Syafi’i itu menggambarkan keikhlasan. Mental ikhlas manusia yang benar-benar ingin berkarya tanpa harus mengakukan dirinya.
Mental Imam Syafi’i itu agak berbeda dengan kebiasaan manusia FoMO (Fear of Missing Out), yang sengaja memamerkan berbagai capaian diri, agar tidak kehilangan momen atau tidak ketinggalan eksis.
Harapannya, agar dapat pujian atau disebut-sebut oleh orang lain sebagai manusia dengan jutaan aktivitas produktif. Hasrat yang pada akhirnya membawa kita pada titik ketidaktenangan hidup, sebab dihantui kehendak untuk FoMO secara berlebihan setiap saat.
Laku FoMO berkebalikan dengan keadaan ikhlas. Sebab, keikhlasan justru lebih menghendaki keadaan yang non-FoMO.
Misalnya, orang yang ikhlas tetap akan melakukan ibadah meski sendirian (tidak perlu dokumentasi), tidak ingin menonjol dan tidak suka dipuji, serta lebih suka melakukan amal secara rahasia. Laku demikian merupakan sisi balik FoMO, yang lebih suka memamerkan berbagai amal, agar tidak kehilangan momen.
Manusia yang ikhlas agak tidak peduli apakah amal atau aktivitas produktif yang dilakukannya terdokumentasi dan diketahui atau tidak. Sebab, “momen” bagi orang yang ikhlas bukan pada dokumentasi dan pengakuan orang lain, melainkan pada proses menjalani amal itu sendiri. Tidak peduli apakah orang tahu ia beramal atau tidak, yang terpenting adalah ia dapat menikmati proses kedekatan dengan Tuhan-nya.
Proses menuju ikhlas secara tidak langsung membawa pada pembebasan dari jeruji FoMO. Membebaskan manusia dari keterpenjaraan hasrat untuk memamerkan diri. Sebab, keikhlasan menuntut ketersembunyian, tidak perlu menonjol dan tidak harus dipuji, tidak perlu diketahui oleh banyak orang.
Ya, meskipun dalam prosesnya toh tetap dipuji dan menonjol, serta dikenal banyak orang, dikarenakan kapasitas dan aktualisasi diri tidak akan menipu hasil, namun orang ikhlas tidak akan terpenjara oleh keinginan mendapatkan pujian dan pengakuan manusia, sebab motifnya hanyalah keridaan Tuhan-nya.
Sebagaimana Yusuf al-Qardawi dalam Fii at-Thariq ila Allah an-Niyyah wa al-Ikhlas menjelaskan bahwa, di antara buah dari ikhlas adalah tenangnya jiwa dan kuatnya ruhani atau mental. Maka, keluar dari penjara FoMO menuju keadaan ikhlas akan membawa pada ketenangan jiwa, dan juga meneguhkan diri pada istiqamah dalam kebaikan ketika sendiri maupun ramai.
Ketersembunyian Diri di Tengah Peradaban Pamer
Menurut Imam al-Junaid al-Baghdadi bahwa, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Tidak ada malaikat yang mengetahui dan mencatatnya. Tidak ada setan yang mengetahui dan merusaknya. Dan, tidak ada hawa nafsu yang mengetahui lalu membengkokkannya.” Ketersembunyian menjadi salah satu karakteristik ikhlas. Hanya Allah dan si pelaku yang mengetahui seberapa tinggi level keikhlasan suatu amal.
Oleh karena itu, ikhlas jelas bukan barang untuk dipamerkan: “Ikhlas membangun negeri, jangan lupa coblos...!” seperti slogan demikian yang kemungkinan akan banyak kita dapati di tahun 2024 nanti.
Pamer (riya) justru beroposisi biner dengan ikhlas. Kondisi ikhlas ini agaknya berat, mengingat peradaban hari ini “seakan” dibangun di atas pondasi pamer, sedangkan ikhlas menuntut laku sebaliknya.
Bila pamer menghendaki dokumentasi kedirian sebagai jalan utama, maka ikhlas mengidealkan ketersembunyian sebagai keadaan terbaik. Pandangan ini sejalan dengan Ibn Atha’ilah as-Sakandariyah yang memandang bahwa jalan menjaga keikhlasan adalah khumul (menyembunyikan diri).
Ibn Atha’ilah menjelaskan, “Sembunyikan wujudmu pada tanah yang tidak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari biji yang tidak ditanam tidak akan berbuah sempurna.”
Mencermati penjelasan Ibn Atha’ilah, maka khumul (ketersembunyian) bukan untuk dimaknai mengubur eksistensi diri, melainkan lebih tepat ditafsirkan sebagai upaya menyuburkan potensi diri. Tidak perlu memamerkan berbagai capaian diri (laku FoMO), cukup dengan menjalani kehidupan dan mengasah potensi diri sebaik mungkin (menuju kadaan ikhlas). Jika sesuatu dilakukan dengan ikhlas dan istiqamah, maka akan tiba masanya Tuhan mendatangkan reward (anugerah) untuk itu.
Menuju ikhlas bukan berarti tidak memanfaatkan atau menyia-nyiakan potensi diri dengan alasan tidak ingin pamer. Ketersembunyian diri menuju ikhlas bukan untuk mematikan potensi diri, melainkan untuk beroposisi dengan laku riya.
Kita perlu mencontoh Imam Syafi’i yang menulis banyak kitab, tetapi dan bukan riya, pujian, dan ketenaran yang malah menjadi memenjarakan diri. Sehingga, tidak perlu orang harus menyanjung atau menyebut-nyebut nama, yang terpenting adalah ilmu bermanfaat untuk umat manusia.
Sebagaimana Ali bin Abi Thalib menjelaskan, ciri riya itu ada empat, yaitu malas jika sendiri, rajin jika banyak orang, semakin rajin jika dipuji, dan menjadi malas jika dicela. Maka, laku menuju ikhlas adalah untuk mengoposisikan diri dari keempat keadaan itu, menjadi orang yang tetap semangat melakukan kebaikan tanpa perlu menimbang keramaian maupun kesunyian, dan tidak goyah akan pujian maupun celaan.
Terakhir, sebuah pertanyaan untuk memuhasabahkan diri kita, sudah sejauh mana kita menuju ikhlas? Ah, entahlah, saya juga masih bingung, apa tulisan ini dilatari semangat untuk berkarya atau malah semangat untuk memamerkan kedirian. Entahlah.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST