Menjernihkan Pola Pikir tentang Budaya dan Politik

slider
03 Maret 2021
|
1819

Judul : Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas | Penulis : Kuntowijoyo | Penerbit : IRCiSod | Cetakan : I, Oktober 2019 | Tebal : 295 halaman | ISBN : 978-623-7378-02-0

Budaya dan politik adalah dua hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Budaya merupakan hasil olah pikir umat manusia. Makhluk bukan manusia tidak memiliki akal sebagai penunjang daya berpikir. Sementara itu, politik diperlukan untuk menunjang sistem pemerintahan dan ketatanegaraan dalam kehidupan manusia. Apabila merujuk pada fakta tersebut, sudah seyogianya manusia mampu memahami dengan benar hakikat, fungsi, dan medan jelajah keduanya.

Sayangnya, perihal ‘yang seharusnya’ kerap kali berbanding terbalik dengan ‘yang senyatanya’. Sebut saja seperti budaya negeri sendiri yang terasa asing, tetapi budaya negeri asing justru mendarah daging. Di bidang politik, misalnya. Kita dapat menemui maraknya praktik fanatisme. Masyarakat masih lebih mementingkan ihwal ‘siapa yang menjadi’ daripada ‘apa yang diingini’.

Kontradiksi antara ‘yang seharusnya’ dan ‘yang senyatanya’ tersebut memantik rasa peduli seorang budayawan, sastrawan, sekaligus sejarawan kenamaan Indonesia; Kuntowijoyo. Kepedulian itu membuatnya menyusun sebuah buku kumpulan esai politik dan budaya yang diberi judul Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas. Judul yang diambil dari salah satu esai dalam buku.

Buku dengan tebal 295 halaman ini secara umum terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi 15 esai budaya. Sementara bagian kedua, berisi 19 esai politik. Secara garis besar, esai-esai pada buku ini merupakan kegelisahan Kuntowijoyo terhadap budaya manusia Indonesia yang seakan kehilangan arah, terutama dalam sistem perpolitikan Indonesia yang cenderung menjauh dari Pancasila.

Melihat Stigma Budaya dengan Lebih Jernih

Kejernihan pola pikir Kuntowijojo dalam hal kebudayaan tampak jelas pada esai berjudul Otak-Atik, Otak-Otot, dan Otak-Otak. Dalam tulisan itu, ia mengungkapkan gagasan tentang ancaman pengikisan nasionalisme yang datang dari piring melalui makanan-makanan asing. Ia menyebutkan bahwa dalam culinary culture atau yang biasa disebut dengan budaya makan, masyarakat Indonesia sendiri bahkan mendatangkan modal negara asing yang ujung-ujungnya memojokkan kekuatan domestik. Hal itu dapat diamati lewat persebaran penjualan makanan, seperti fried chicken, hamburger, piza, spageti, dan sejenisnya. Keberadaan makanan-makanan tersebut kemudian menggeser secara masif onde-onde, kaspe, getuk lindri, lemper, koci-koci, dan sejenisnya. Seseorang bisa saja berdalih bahwa meskipun piza difavoritkan, tetapi onde-onde juga tidak ditinggalkan. Namun, pandangan bahwa piza lebih berkelas daripada onde-onde, tetap tidak bisa dielakkan.

Bukan hanya urusan makanan lokal bangsa sendiri yang dinomorduakan. Kuntowijoyo juga memberikan sebuah pencerahan terkait masalah slogan back to nature yang kerap dianggap primitif. Lewat esainya yang berjudul Pendidikan Perubahan, Kuntowijoyo mengelompokkan tingkatan budaya masayarakat menjadi 4 tipe. Pertama bermula dari tingkatan budaya Tipe IV dengan lokus pantai atau hutan. Kemudian, berkembang menjadi budaya Tipe III dengan lokus desa, sungai, dan bukit. Lalu, berkembang lagi menjadi budaya Tipe II dengan lokus perkotaan. Hingga akhirnya, kini menjadi Tipe I dengan lokus metropolitan dan megapolitan.

Kuntowijoyo memaparkan kekurangtepatan pola pemikiran masyarakat mengenai semangat untuk hidup lebih ramah pada alam. Ia mengulik stigma yang masih beredar dalam masyarakat tentang bagaimana seseorang yang ingin mengusung konsep kembali pada alam. Kebanyakan orang menganggap bahwa kembali pada alam dapat dilakukan dengan cara mendegradasikan budaya dengan kembali ke Tipe III atau Tipe IV. Padahal, menurutnya, konsep back to nature tetap bisa dilakukan dengan mempertahankan Tipe I maupun Tipe II. Misalnya saja, dengan menerapkan konsep back to nature pada kafe-kafe dan wisata-wisata kekinian, tanpa meninggalkan unsur milenialnya.

Memudahkan Pemahaman Wacana Politik

Kuntowijoyo membuat esai-esai bertema politik menjadi menarik dengan penggunaan analogi. Ia memakai nama-nama hewan untuk menjelaskan hakikat demokrasi dalam Demokrasi Gajah, Demokrasi Kuda, dan Demokrasi Anjing. Ia juga menggunakan analogi yang serupa untuk mendeskripsikan relasi politik dalam Rumah Joglo, Rumah Gedong, dan Politik. Penggunaan analogi dapat membantu pembaca lebih mudah memahami intrik politik yang biasanya dianggap rumit. Hal itu disebabkan pemilihan materi analogi yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Tidak hanya lewat analogi. Kuntowijoyo juga mempermudah pembacanya untuk memahami dunia politik dengan menyentuh pengalaman berpolitik masyarakat. Lewat tulisan Sistem Pemilu dan Budaya Politik Nasional, ia menyajikan pengalaman masyarakat dalam berpartisipasi dalam pemilu. Ia mengkritik bahwa partisipasi yang mereka jalani itu sejatinya hanya bersifat pasif.

Kuntowijoyo menyebutkan bahwa peran aktif dalam berpolitik hanya dilakukan oleh para elite. Sementara masyarakat, hanya melakukan peranan pasif. Hal itu ia jelaskan dengan memaparkan betapa maraknya seruan untuk tidak golput. Iklan-iklan yang diatasnamakan sebagai produk layanan masyarakat itu akan selalu bertebaran hampir di setiap sudut jalan raya menjelang pemilu. Kepasifan peran masyarakat juga dapat dilihat dari cerita-cerita tentang warga yang menggunakan hak suaranya sebagai semacam pertukaran karena ia telah mendapatkan sangu atau serangan fajar. Atau, kisah tentang pencoblosan dobel yang terjadi pada setiap penyelenggaraan pemilu. Bahkan, dapat pula dilihat dari munculnya anggapan masyarakat yang memilih golput dengan dalih siapa pun yang akan menjabat, tidak akan memberikan dampak apa pun bagi orang kecil seperti mereka. Jika memang begitu, “Sudah baikkah sistem politik di negeri ini?”

Membaca buku ini adalah membaca kejernihan pola pikir Kuntowijoyo dalam memaknai gejolak politik dan dinamika budaya.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Akhmad Idris

“Menulis adalah mengukir nama di dunia yang sudah lama fana”. Penulis buku Wasiat Nabi Khidir Untuk Rakyat Indonesia (2020)