Menjaga Kewarasan, Menjaga Autentisitas Diri
Judul: Menjaga Kewarasan | Penulis: Fahruddin Faiz | Penerbit: MJS Press, 2023 | Tebal: 136 halaman | ISBN: ISBN: 978-623-88285-2-4
Zaman senantiasa berubah. Bergerak dinamis dan terus-menerus melahirkan inovasi dari waktu ke waktu. Akan sangat mudah menjadi “gila” di era disrupsi seperti sekarang ini. Itulah mengapa kita perlu menjaga kewarasan diri agar tetap bisa ngeli ananging ora keli.
Frasa Menjaga Kewarasan pada judul buku ini seakan mengingatkan kita bahwa manusia itu sejatinya waras dan akan tetap waras jika ia mampu merawat intelegensi dan nurani. Buku ini membahas tentang self-love, people pleaser, overthinking dan insecurity, serta mindfulness dengan begitu reflektif dan akrab dengan kehidupan sehari-hari kita.
Mengenali Diri, Mencintai Diri
Percaya diri itu penting karena merupakan modal yang berharga untuk bisa mengeksplorasi diri; mengoptimalkan potensi diri untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Dengan mengenali dan menerima diri—kelebihan dan kekurangannya—itu dapat memantik kita untuk terus menggali kemampuan diri, alih-alih menjadikan self-love sebagai justifikasi untuk bermalas-malasan.
Self-love (cinta diri) semacam upaya konfidensial dalam membangun persepsi positif terhadap diri sendiri. Kemampuan mencintai diri sendiri inilah yang mampu menangkal krisis identitas dan merawat rasa percaya diri seseorang.
Tak jarang, self-love sukar dilakukan karena adanya self-hatred mindset yang tertanam dalam benak. Selalu fokus pada hal-hal negatif saja, harus “melangit” untuk dapat meresapi setiap nikmat dan anugerah Tuhan, dan berujung menjadi pecundang yang tak berani bermimpi. Inilah manifestasi self-hatred mindset yang kerap membuat kita sulit menerima diri apa adanya.
Kita luput menyadari bahwa setiap dari kita ini pastinya memiliki kekhasan yang definitif. Seperti kata Osho Rajneesh, diri kita ini unik karena hanya ada satu-satunya “kita” dan tidak akan pernah ada “kita” lagi di dunia ini.
Hidup kita jadi kerap gelisah karena kita sering memaksa diri untuk menjadi “sama” dengan yang lain dengan cara menafikan kekhasan diri yang autentik ini. Padahal, kunci hidup tenang itu sederhana sebetulnya, yakni melihat masa lalu tanpa penyesalan, menjalani masa kini dengan rasa syukur, dan memandang masa depan tanpa kekhawatiran berlebih.
Jangan jadikan hidup menjadi sumber penyesalan karena biar bagaimanapun, masa lalu itu sudah terjadi. Sudah terukir dan tak bisa kita ubah, revisi, apalagi hapus. Maka dari itu, lebih baik fokus pada apa yang dimiliki saat ini agar kita bisa menjadi lebih baik dari diri kita yang kemarin.
Jadilah pribadi yang mudah bersyukur. Memikirkan masa depan itu jelas penting, tapi secukupnya saja. Kekhawatiran yang berlebih pada hal yang belum pasti terjadi hanya akan menarik diri berkubang rasa takut dan ragu untuk melangkah.
Bagaimanapun kita sendiri yang paling bisa memahami diri sendiri. Mengerti nilai, potensi, dan batasan diri agar dapat menerima dan mencintai diri apa adanya. Namun, perlu disadari bahwa cinta diri tidak berarti sama dengan bersikap egois. Erich Fromm bahkan berpendapat bahwa cinta diri justru berlawanan dengan sikap mementingkan diri sendiri.
Seseorang yang mencintai diri sendiri semestinya dapat menjadi pribadi yang lebih peduli terhadap orang lain, bukan malah sebaliknya. Hal ini cukup rasional karena berkaitan dengan pemahaman eksistensial diri. Orang yang benar-benar memahami tentang diri sendiri pastinya paham batasan antara cinta diri dengan egosentrisme ataupun narsisisme.
Menyigi People Pleaser
Antitesis dari self-love adalah people pleaser. Seorang people pleaser adalah orang yang menggadaikan kebebasannya; memasrahkan eksistensi diri pada reaksi orang lain terhadap dirinya. Bedanya dengan seorang altruis, people pleaser itu orang yang berbuat hal-hal baik demi mengharap pujian dan sanjungan orang lain, sedangkan seorang altruis lebih nothing to lose dalam berbuat kebaikan; hanya memberi tak harap kembali.
People pleaser cenderung menjadi seorang yes-man; orang yang selalu mengiyakan dan menyetujui pendapat orang lain. Karakter semacam ini bisa menghilangkan autentisitas diri. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak menyayangi dirinya sendiri karena terpaku mengejar pengakuan dari orang lain.
Namun, bukan berarti kita lantas dilarang membuat orang lain senang. Menyenangkan orang lain boleh-boleh saja, bagus malahan, asalkan diri kita memang berkenan untuk melakukannya, bukan karena terpaksa apalagi demi mencari sanjungan orang.
Dalam iklim masyarakat Timur, kita hidup mengenal adanya budaya sungkan; ewuh pekewuh. Sebuah kultur yang baik, sebetulnya, mengajarkan kita agar mempunyai rasa tepa selira terhadap orang lain. Namun, jika kadarnya tidak proporsional dan tidak pada tempatnya, dapat berdampak negatif, dapat menjerumus menjadi rasa rendah diri (minder) karena tidak adanya rasa percaya diri yang utuh saat menghadapi orang lain.
Inferioritas semacam ini muncul bisa karena benturan constant disapproval dan constant negative yang kontinu tertanam dalam persepsi diri. Begitu membekasnya sehingga seorang people pleaser selalu memburu validasi dari orang lain tentang harga dirinya, alih-alih lebih mengenali diri sendiri dengan cara-cara intrapersonal.
Lao Tzu pernah mengingatkan bahwa jika kita terus-menerus selalu memikirkan opini orang lain, maka selamanya kita akan menjadi “tawanan” mereka. Autentisitas diri menjadi terkerangkeng oleh jeruji-jeruji komentar, yang mana hal itu berada di luar kontrol diri kita. Oleh karena itu, kita pun harus tegas terhadap diri sendiri. Jika ya, katakan iya; jika tidak, katakan tidak. Inilah pentingnya memiliki pendirian dan prinsip dalam hidup.
Menangkal Overthinking dan Insecurity
Kurangnya rasa cinta diri juga dapat membuat kita tidak nyaman menjadi diri sendiri. Insecurity membuat kita tidak menghargai diri kita sendiri. Memvonis bahwa diri kita bukan siapa-siapa dan memupuk jiwa-jiwa inferior yang destruktif.
Sering kali rasa insecure muncul lantaran ketidakmampuan kita memenuhi ekspektasi diri. Sialnya, hal tersebut berangkat dari kita yang mengamini ilusi tentang standar-standar ideal yang semu.
Merasa harus berkulit putih dulu, baru percaya diri merasa cantik. Merasa harus sarjana dulu, baru percaya diri untuk ikut reuni sekolah. Semua itu adalah muslihat standar yang membuat diri kita justru kewalahan, alih-alih percaya diri dengan autentisitas diri.
Padahal, standar-standar tersebut mengandung unsur subjektivitas yang dominan. Seringkali, semua standar ini hanya perkara sawang sinawang. Dan kita kerap kali keliru menggeneralisasi hal-hal tersebut dengan penilaian-penilaian yang serampangan dan tidak semestinya.
Akar-akar insecurity bersumber dari salah persepsi dalam memahami takdir, lingkungan sosial yang kurang apresiatif, pengaruh pop-culture, dan ketidakcakapan mengontrol emosi. Empat faktor ini dapat menjadi juga saling terkait satu sama lain.
Kondisi sosiokultural dapat memengaruhi kondisi mentalitas seseorang. Itulah yang menyebabkan seorang insecure tidak berani melangkah. Takut terhadap respons yang akan didapatkan sebagai konsekuensi dari langkah yang diambil, padahal itu adalah suatu keniscayaan. Problemnya ada pada bagaimana kita mengidentifikasi ketakutan dengan tepat dan menemukan solusi yang bijak.
Karena kita merasa insecure, kita pun jadi kerap memikirkan banyak hal yang sebenarnya tidak perlu terlalu dipikirkan berat-berat. Memiliki rencana itu bagus, tanda bahwa kita siap menyambut hari yang baru, akan tetapi jika kita tidak bisa luwes dalam menyikapi realitas dan terlalu terpaku dengan apa yang telah direncanakan saja, maka itu akan membuat diri semakin kacau; menganggap rencana kita gagal total.
Padahal, bisa saja target dari rencana kita sebetulnya berhasil tercapai, hanya saja dengan cara lain yang tidak sama persis seperti yang kita bayangkan sebelumnya. Kita saja yang terlalu saklek harus begini-harus begitu dan lambat menyadari bahwa hidup begitu dinamis, paradoksikal, dan unpredictable.
Eling lan Waspada dengan Mindfulness
Semua daya upaya guna mengatasi insecurity dan overthinking muaranya adalah mindfulness; tentang bagaimana menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Fokus dan total terhadap apa yang sedang dijalani saat ini tanpa perlu terdistraksi hal-hal yang kurang penting.
Laju zaman yang berkembang pesat dan waktu yang kian terasa cepat berlalu membuat kita kadang tidak merasakan momen-momen dalam hidup. Menjalani hari demi hari sebatas rutinitas semata.
Berangkat kerja tiap pagi, bermacet-macetan, tahu-tahu tidak terasa hari sudah malam. Kita tidak merasakan bagaimana siang hari berjalan karena tidak dapat merasakan “hadir” dalam momen tersebut. Begitulah hidup jika hanya sekadar dijalani tanpa dihayati dan diresapi pula setiap detiknya.
Mindfulness adalah mode of being agar kita lebih eling lan waspada. Mindfulness melatih diri agar lebih responsif, bukan reaktif; lebih tanggap dalam bersikap, bukan sekadar reaksi-reaksi impulsif yang sembrono dan kurang berdasar. Tentunya, itu bisa diterapkan jika kita memiliki pikiran yang jernih, atau apa yang disebut oleh Shunryu Suzuki sebagai beginner’s mind.
Beginner’s mind selalu melihat dunia dengan mata yang segar, tidak terkekang oleh judgement-judgement yang membuat kita rancu dalam menentukan sikap. Maka dari itu, dengan menyadari makna, menikmati setiap proses, dan mengolah pikiran secara lebih optimal, kita akan lebih kapabel dalam hal kontrol diri. Tidak dikuasai permainan pikiran sendiri dan dapat lebih bijak dalam memilah skala prioritas.
Dengan lebih memahami diri, kita akan lebih mudah mengejawantahkan cinta diri (self-love). Kesehatan mental dan pikiran akan lebih terpelihara dari gangguan overthinking dan insecurity. Semua demi menjalani hari dengan lebih mindfulness dan menjaga kewarasan untuk menghadapi setiap lika-liku tantangan zaman.
Category : resensi
SHARE THIS POST