Menjadi Santri di Pondok Pesantren

slider
31 Desember 2021
|
1815

Banyak masyarakat mengira bahwa perilaku santri akan selalu baik. Walaupun secara psikologi, pada fase-fase perkembangan, seorang anak akan terus mencoba dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Hal ini yang kadang-kadang membuat mereka akan berbuat kesalahan, sekalipun  sebagai seorang santri. Namun, pada umumnya kesalahan itu tidak akan terjadi ketika mereka telah memahami ilmu agama dengan baik. Karena mereka akan dapat mengontrol emosinya sebelum melakukan sesuatu.

Ada beberapa perilaku yang sering dilakukan santri, sehingga menimbulkan kebiasaan dan ada juga yang sampai melekat menjadi etika yang terjadi di pondok pesantren. Nilai-nilai etika lain yang ditekankan di pesantren meliputi persaudaraan Islam, keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian. Di samping itu, pesantren juga menanamkan kepada santrinya keshalehan dan komitmen atas Islam.

Seperti kebiasaan meng-ghasab yang hampir membudaya di setiap pondok pesantren. Ghasab  adalah perilaku saat seorang santri biasanya mengambil barang milik orang lain tanpa izin pemiliknya, tetapi nanti akan dikembalikan ke pemiliknya atau ke tempat semula tanpa pemberitahuan. Dan anehnya, budaya ghasab seakan sudah mengakar di setiap diri santri. Hal ini membuat santri tersebut tidak akan merasa kehilangan, sampai barang tersebut kembali lagi. Selain itu, santri yang menjadi korban tidak marah saat ada santri lain yang meng-ghasab  barangnya. Ia akan mencari barang sejenis milik temannya untuk dipakainya. Begitu seterusnya hingga menjadi pemakluman.

Kebiasaan semacam itu ternyata mengajarkan kepada santri untuk bersikap toleran terhadap barang milik orang lain. Bahwa sikap seperti itu tidak akan menimbulkan perasaan memiliki yang tinggi terhadap barang pribadi dan kurang toleran bila barangnya dipakai orang lain. Jika itu terjadi, maka yang ada akan timbul sikap arogan dan pengagungan yang berlebihan terhadap harta benda pribadi. Sebaliknya, sifat kepemilikan barang santri tidak mutlak atas nama pribadi, tetapi santri lain akan memiliki persepsi kemanfaatan barang bersama.

Dalam lingkungan pondok pesantren, santri juga dituntut untuk berperilaku baik, dengan selalu mengedepankan rasa kedisiplinan dan kebersamaan satu sama lain. Rasa kedisplinan yang diterapkan di dalam pesantren merupakan kedisiplinan yang sangat mendidik. Sebagai contoh, setiap santri dibiasakan untuk salat berjamaah. Awalnya mungkin sangat berat, dan sebagian santri menganggap itu sebuah paksaan. Namun keterpaksaan tersebut kemudian menjadi sebuah kebiasaan yang sangat berguna bagi kehidupan mereka ketika keluar dari pesantren.

Ataupun saat santri harus mengikuti jadwal yang telah ditetapkan oleh pengurus pondok. Mau tidak mau, santri harus mengikuti jadwal tersebut dan mengesampingkan jadwal yang ia buat sendiri. Apabila ia tidak patuh dengan jadwal yang telah dibuat oleh pengurus pondok, santri harus siap menerima konsekuensi atau akan di-takzir (dihukum) oleh pengurus pondok. Karena itu, jelas santri harus benar-benar disiplin terhadap peraturan yang telah dibuat oleh pengurus pondok.

Selain itu, salah satu kebiasaan lain yang juga benar-benar melekat dalam diri santri yaitu budaya, mengantri. Santri itu harus sabar mengantri. Sebab, hampir apa pun yang ada dalam pondok pesantren serba mengantri. Saat mandi, para santri harus mengantri. Ketika makan, mereka wajib ngantri. Saat ingin menyetrika dan mencuci baju pun harus juga dengan mengantri. Hal itu harus dilakukan dikarenakan fasilitas pondok yang digunakan santri digunakan bersama dan punya daya keterbatasan. Misalnya ada 5 kamar mandi, tapi santrinya 50 orang, padahal jam 7 harus sudah mengaji, maka mau tidak mau, santri harus mengantri satu kamar mandi 10 orang.

Kebiasaan ini memang ada baiknya juga. Mengajarkan kepada santri agar setibanya di masyarakat, nantinya dapat menjadi orang yang sabar dalam melakukan segalanya. Tidak menyerobot kekuasaan orang lain atau hak orang lain. Bahkan, terkadang ada santri menawarkan antreannya terlebih dahulu kepada santri yang sangat membutuhkan, misalnya kepada santri yang sudah kadung kebelet buang air dan sudah terdesak. Tidak hanya itu, dengan sabar mengantri, melatih santri untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia peroleh agar digunakan sebaik mungkin, dan digunakan dengan memikirkan orang lain juga.

Selain itu, saat kegiatan makan bersama ramai-ramai, rebutan makanan dan makan sambil suapan, persis anak ayam yang dipanggil oleh induknya merupakan salah satu wujud dari kebersamaan yang terjalin antar santri di pondok pesantren. Memang ada kesan serabutan, tetapi nikmatnya kebersamaan tidak bisa dibandingkan dengan makan di restoran. Orang makan di restoran punya kesan formalistis, serba diatur, terikat dan individualis, kadang hanya sekadar menaikkan gengsi.

Dari kebiasaan para santri tersebut, saya rasa ada refleksi yang tinggi ketika jiwa ukhuwah atau persaudaraan antarsantri terbentuk. Situasi dialogis dan akrab antarsantri semacam ini dipraktikkan di lingkungan pondok pesantren. Disadari atau tidak, hal itu akan mewujudkan suasana damai, senasib dan sepenanggungan, yang sangat membantu dalam pembentukan dan pembangunan idealisme santri.

Ada juga nilai etika kesederhanaan yang selalu melekat di diri santri. Jiwa kesederhanaan bukan berarti pasif, melarat, nrimo, dan miskin, tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Di balik kesederhanaan itu, terkandung jiwa besar, berani, maju terus dalam menghadapi perkembangan dinamika sosial. Kesederhanaan ini menjadi identitas santri yang paling khas di mana pun.

Kesederhanaan itu tercermin dari sikap santri saat ia memiliki barang atau sesuatu yang berlebih, maka tradisi traktiran begitu mengakar untuk tasyakuran keci-kecilan. Atau saat santri mempunyai banyak makanan akan dibagi-bagikan kepada teman sesama santri.

Hal lain yang juga tercermin dari kepribadian seorang santri adalah soal kemandirian. Para santri akan terbiasa mencuci, menyetrika sendiri baju miliknya tanpa bantuan orang tua, apalagi asisten rumah tangga. Perilaku ini membuat para santri siap untuk survive saat terjun ke dalam lingkungan luar yang lebih kompleks.

Seorang santri juga akan diasah rasa keikhlasannya. Seorang santri yang hanya sekadar mondok, tetapi juga dituntut untuk mengabdi dan bahkan mengajar di pondok pesantren. Hal ini menjadi arena para santri untuk mengolah keikhlasannya tanpa dilandasi ambisi dan keuntungan apa pun. Semua hal tersebut dilakukan semata mengharap ridho guru dan Allah SWT.

Perilaku tersebut dilakukan para santri karena sikap hormatnya kepada para kiai dan guru yang sudah memberikan ilmu kepadanya. Sikap ta’dzim, tawadu, ikhlas, hormat dan kepatuhan kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri.

Perhormatan tersebut juga diperluas lagi sehingga mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari. Mungkin perhormatan ini, bagi orang luar yang melihatnya, akan tampak terlalu berlebihan bahkan lebih penting daripada usaha menguasai ilmu, tetapi sebenarnya hal itu merupakan bagian integral dari ilmu yang akan dikuasai.

Semua nilai-nilai tersebut merupakan ciri khas dari santri di pondok pesantren dan menjadi pedoman etika ketika diterapkan dalam masyarakat.


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Arina Rahmatika

Masyarakat biasa sekaligus pengais ilmu yang pernah nyantri di pesantren.