Menjadi Manusia Indonesia bersama Tafsir Pancasila Fahruddin Faiz
Ada sebuah puisi yang daya ledaknya melebihi “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan” atau “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu, aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.” Dua penggalan puisi yang tidak asing lagi, terutama untuk manusia Indonesia yang gemar sastra. Namun, daya ledak puisi Pak Jokpin dan Pak Sapardi di atas, barangkali mesti bertekuk lutut dihadapan lima baris puisi ini: ia menjahit, menenun, dan menjaga sebuah bangsa besar bernama Indonesia.
Puisi itu berjudul Pancasila, sebuah nilai yang lahir dan tumbuh mekar atas dasar perbedaan, semacam panduan untuk menerka masa depan, sebentuk benang yang ditenun menjadi kain perdamaian. Sebuah kekayaan intelektual yang membuat peradaban Barat iri, semacam ideologi yang membuat Perjanjian Westphalia merenung, sebentuk kesepakatan bersama untuk mewujudkan mimpi ratusan juta manusia Indonesia. Sebuah nilai yang tak pudar oleh waktu, semacam daya ledak yang unggul, sebentuk kumpulan aksara yang penuh makna.
Meski realitas kebangsaan hanya memajang Pancasila sebagai hiasan dinding, dibaca berulang-ulang tanpa pernah serius diwujudkan. Dengan fakta yang sedemikian pahit, Pancasila tetap saja menyala, ia hidup dan mengilhami manusia Indonesia. Namun, kegagahan Pancasila akan jauh lebih kekar jika sedang diperdebatkan. Saya jadi teringat perdebatan Rocky Gerung dengan salah satu pemakalah di Kongres Pancasila XII, Antonius Manurung. Ketua Umum DPP Gerakan Pembumian Pancasila ini tidak sepakat dengan pernyataan Rocky bahwa Pancasila bukanlah ideologi, ia menolak pernyataan dan mengecam Rocky untuk tidak mengulang pernyataannya lagi.
Rocky melihat bahwa telah timbul kecemasan atas pernyataannya. Ia mengatakan bahwa Pancasila memang boleh jadi ideologi, tetapi bukan semacam nilai yang resmi. Sebab, berbahaya dan bertentangan dengan prinsip demokrasi, bertentangan dengan kemajemukan Indonesia. Kita sebagai bangsa yang besar sedang membayangkan adanya semacam tuntunan, tetapi tuntunan ini tidak boleh diresmikan sebagai ideologi negara, sebab bertolak belakang karena Indonesia menganut demokrasi—hal yang demikian bertentangan secara prinsip. Berpikir ideologis bahwa Pancasila sudah final adalah kedunguan, mesti ada keterbukaan pikiran dan transaksi argumen. Jika tidak boleh diperdebatkan, buat apa kongres digelar?
Kongres Pancasila 2024 mengambil tema “Pancasila Nyawa Bangsa; Menghalau Kemerosotan Moral dalam Praktik Penyelenggaraan Berbangsa dan Bernegara.” Semacam tema untuk merespons pemilihan umum yang penuh dengan populisme semu, hegemoni dangkal, dan politik citra. Ruang publik yang riuh dengan sentimen kotor, defisit substansi dan surplus caci maki. Pada pucuk gunung yang dingin dan luas, dunia pendidikan tinggi Indonesia tampak cemas dan khawatir, khayalan Tom Nichols perihal “matinya kepakaran” tampak terhampar di depan mata. Saat suara moral para Guru Besar dianggap seruan partisan dan kurang kerjaan, ketakutan itu makin mencekam. Kita menyaksikan sebuah masyarakat yang anti pengetahuan.
Lalu mampukah Pancasila menyelamatkan nilai keadaban bangsa yang luntur? Jika kita berkaca pada tafsir Pancasila Fahrudin Faiz—tayang perdana di kanal YouTube NU Online pada Sabtu, 21 November 2024—maka harapan penyelamatan itu ada. Sebab, pancasila adalah landasan filosofis yang bangsa ini sepakati untuk menjadi moral kompas. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila juga merupakan nilai yang universal: sila ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan adalah nilai-nilai yang berlaku secara umum dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, terlepas dari perbedaan suku, budaya, agama, ras, atau latar belakang sosial.
Pemahaman kita tentang hakikat Pancasila akan berjalan dengan baik jika pemaknaan atas nilai-nilai Pancasila tidak keluar dari lima sila pokok. Althusser (1918-1990), seorang pemikir marxis, menawarkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana ideologi bekerja dalam masyarakat. Menurutnya, ideologi bukanlah sekadar kumpulan ide atau gagasan yang mengawang, melainkan sebuah praktik yang secara aktif membentuk subjek. Itu artinya, Pancasila dengan rancang bangun penyemaian dan penyebarluasan idenya, aktif membentuk alam sadar dan bawah sadar manusia Indonesia.
Proses ideologisasi menurut Althusser terbagi setidaknya menjadi dua jalan. Pertama, penyebarluasan melalui pendidikan, dapat dilakukan dengan mengatur kurikulum sekolah dan metode pembelajaran. Misalnya pemerintah menginginkan kurikulum merdeka sebagai rujukan dalam pembelajaran, maka dengan aturan ini metode pembelajaran yang digunakan adalah dengan mengajak siswa agar aktif saat di kelas, agar tercipta suatu pembelajaran yang interaktif. Kedua, penyemaian nilai dapat dilakukan dengan jalur kekuasaan, dengan formalisasi dari suatu pemaknaan atas nilai Pancasila, Indonesia pernah melakukan hal yang demikian saat rezim orde baru berkuasa.
Keberagaman penerimaan nilai atas Pancasila tentu melahirkan keragaman tafsir dan hal ini adalah fenomena yang biasa saja, asal tidak meninggalkan nilai utama Pancasila. Perdebatan justru akan memperbaiki cara kita dalam berpikir, berperasaan, dan bertindak. Lalu bagaimana jika Pancasila dipertarungkan dengan ideologi lain? Kita idealnya tidak perlu khawatir, sebab nilai Pancasila begitu universal, tidak ada yang bertabrakan. Seandainya bertemu dan coba dibenturkan dengan nilai lain—misal dengan fasisme atau komunisme—maka akan damai dan biasa saja. Sebab, universalitas nilai Pancasila diambil dari pembacaan yang begitu luas oleh para anggota PPKI.
Kalau ingin dicari dan diperas untuk menemukan perbedaan, kemungkinan ada pada implementasi atau perwujudan praksis dari sebuah nilai. Misalnya sila ketuhanan, kemajemukan Indonesia akhirnya melahirkan banyak sekali cara untuk menyembah Tuhan, ada yang pergi ke gereja, mengaji di masjid, atau berdoa di pura, semuanya sedang melakukan hal yang sama yaitu menjalankan sila pertama meski dengan cara yang berbeda. Landasan filosofis yang terkandung dalam Pancasila juga merupakan pijakan yang kokoh dalam membangun negara. Amerika dengan demokrasi dan liberalismenya, India dengan hinduisme dan budhisme atau Jepang dengan etik samurai yang sangat integratif, semuanya menggunakan nilai-nilai unik dan khas untuk merumuskan identitas atau filosofi hidup ideal.
Bahkan jika diteropong dengan kacamata psikologi, identitas menjadi begitu penting bagi sebuah bangsa. Contohnya saat manusia ingin mengembangan diri untuk menjadi insan yang lebih baik, standar awal yang harus dilakukan adalah dengan mengenali identitas, manusia harus selesai dan mampu menjawab pertanyaan siapa aku. Tanpa mengenal identitas diri, manusia akan koyak tanpa arah, begitu juga sebuah bangsa. Prinsip dasar dan identitas keilmuan bernama Pancasila ini adalah ide yang baik untuk menjadi landasan dalam menyusun hukum, norma, dan pengembangan sosial lain.
Mari kita melihat Pancasila jauh lebih dalam. Fahrudin Faiz melihat Pancasila bukan dengan kacamata “timbangan” melainkan “wadah”. Pancasila barangkali kurang ideal jika disebut sebagai titik tengah atau titik pertemuan dari kedua kutub yang berbeda (kanan dan kiri). Pancasila idealnya dilihat sebagai sebuah mangkuk, sebuah wadah untuk menaungi keragaman dan universalitas nilainya. Dengan kacamata mangkuk, persatuan tidak akan dilihat sebagai penyeragaman, tetapi penerimaan atas perbedaan, kita ada pada wadah yang sama meski berbeda dan tidak perlu dicari perbedaannya.
Keberagaman yang ada dalam nilai Pancasila memang menjadi ciri manusia Indonesia. Ketuhanan, ciri kehidupan manusia Indonesia adalah meyakini adanya Tuhan, meyakini suatu entitas, ruh, daya yang mencipta semesta. Dulu ada animisme dan dinamisme, sekarang ada agama resmi dan kepercayaan yang beragam. Kemanusiaan, ciri manusia Indonesia adalah peduli dengan sesama. Sejak dulu ibu yang akan melahirkan adalah urusan bersama, menjadi tanggung jawab publik, kita punya etika moral yang khas dan sangat altruis, spirit gotong royonglah yang menjadi sumber sila kemanusiaan, meski harus kita akui pola sosial individualistik sedang merebak.
Fahrudin Faiz menaruh perhatian cukup intim dengan sila keempat Pancasila. Mungkin saja Bung Karno adalah pembaca Plato yang baik, sebab filsuf Yunani kuno ini pernah menyatakan bahwa yang layak mengelola suatu negara adalah para filsuf. Para pemikir ahli inilah yang tahu hikmah, yang mengerti kebijaksanaan untuk menjadi pemimpin, meski kita harus mengernyitkan dahi dan menerima fakta bahwa pemimpin Indonesia banyak yang malas mengambil hikmah apalagi berlaku bijaksana.
Sumber: Fahruddin Faiz: Ngaji Filsafat, Tafsir Pancasila, dan 3 Kebahagiaan. Menjadi Indonesia #9. YouTube NU Online. 22 November 2024.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST