Menilik Krisis Pendidikan Dalam Negeri

slider
21 Maret 2022
|
1663

Judul: Krisis Tata Kelola Pendidikan Indonesia | Penulis: Teguh Triwiyanto | Penerbit: Buku Kompas | Terbit: 2021| Tebal Buku: xx + 260 hlm | ISBN: 978-623-346-175-7

H. Abdul Malik Fadjar, Menteri Pendidikan Nasional Kabinet Gotong Royong, pernah berpesan bahwa,Dalam upaya mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia, perlu peneguhan dan penguatan kembali komitmen dari semua pihak untuk menempatkan pendidikan nasional sebagai ‘paradigma’ pembangunan nasional”. Pendidikan, menurutnya, bukan sekadar sebagai sektor dari pembangunan, tetapi yang melandasi pembangunan itu sendiri.

Kita diajak menggantungkan asa kepada pendidikan dengan harapan, mampu mengentaskan pelbagai masalah kompleks di negara, juga sebagai kendaraan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Akan tetapi, jika kita melihat kondisi pendidikan nasional, kritik datang begitu kencang dari masa ke masa. Pendidikan yang diharapkan mampu mengentaskan pelbagai masalah justru sedang dalam kungkungan masalah. Teguh Triwiyanto dalam buku barunya, Krisis Tata Kelola Pendidikan Indonesia (2021) juga melancarkan kritik sekaligus, mengabarkan kepada kita tentang kompleksitas masalah dalam dunia pendidikan nasional.

Di buku sebelumnya, Gelombang Liberalisme Pendidikan (2019), penulis menyebutkan bahwa akar dari semua masalah dalam dunia pendidikan nasional adalah, tata kelola pada komponen pendidikannya yang carut-marut.

Berangkat dari situ, buku bersampul merah ini, mencoba menguliti satu per satu komponen yang ada untuk melihat, menakar, dan mengendalikan sumber krisis tata kelola pendidikan Indonesia.

Penulis mengawali bukunya dengan mengatakan bahwa, krisis tata kelola pendidikan di Indonesia merupakan tanda, bagaimana negara kurang memperhatikan penggunaan sumber daya secara efektif, kurang terjadi pemeliharaan efisiensi dan efektivitas dari tata kelola organisasi negara yang ada di bidang pendidikan (hlm, 1).

Menurutnya, setiap komponen pendidikan yang di dalamnya ada kurikulum dan pembelajaran, siswa, guru dan tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, serta pemerintah dan masyarakat adalah saling terkait secara terpadu dan harus dikelola secara efektif, efisien, serta akuntabel. Karena itu, untuk mencapai tujuan dari pendidikan nasional, mestinya dibenahi terlebih dahulu krisis pada tata kelolanya sebelum berlanjut ke tahap-tahap berikutnya.

Guru dan Kurikulum

Adagium “Ganti Menteri, Ganti Peraturan” muncul ketika kita membahas perihal kurikulum. Bukan tanpa alasan, terhitung sejak Indonesia merdeka, setidaknya pendidikan nasional sudah dua belas kali bongkar pasang kurikulum. Dalam penerapannya, kurikulum sentralistik masih mendominasi dibanding kurikulum desentralistik.

Indonesia yang konon dipenuhi dengan keberagaman sosial, politik, ekonomi, dan geografisnya ini, tentu memiliki beragam potensi baik materi ataupun nonmateri yang bisa digali untuk kemudian dikembangkan. Proses penggalian dan pengembangan itu bisa terjadi apabila pendidikan yang berlangsung mampu mengakomodasinya. Penerapan kurikulum yang sentralistik bukanlah jawaban atas masalah tadi. Karena tata kelola kurikulum sentralistik menghasilkan kurikulum nasional, satu kurikulum yang berlaku di seluruh negara (hlm. 41).

Penerima pendidikan formal dengan pemberlakuan kurikulum sentralistik ini, seolah dipaksa menenggak ramuan yang diracik terpusat, tanpa melihat situasi kondisi, kebutuhan, maupun tingkat kemajuan dari daerah yang menerapkannya. Ilmu yang diajarkan akan terasa mengawang dan memunggungi kekayaan lokalitas yang beragam. Padahal, menjadi beragam dalam suatu negara bukanlah sebuah aib, justru menjadi daya tawar yang memiliki kekuatan jika diolah sedemikian rupa.

Kita bisa belajar dari China dan India, misalnya. Kedua negara ini memiliki beberapa kesamaan dengan Indonesia yang juga memiliki keluasan wilayah dan keberagaman penduduknya. Reformasi pendidikan dari kedua negara tersebut telah berhasil mengantarkannya menjadi pendorong “Abad Asia”.

India menempuh kebijakan pendidikan melalui kesetaraan dan keadilan sosial, desentralisasi tata kelola pendidikan di semua tingkatan, dan pembentukan tatanan pendidikan yang partisipatif.

Sementara China melakukan kebijakan pendidikan melalui perluasan akses promosi pendidikan berkualitas, dengan penerapan kurikulum yang memperhatikan kondisi wilayah yang luas serta suku yang beragam. Alokasi anggaran negara adalah sumber utama dana pendidikan.

Proses pendidikan dari kedua negara itu mendorong anak untuk tumbuh dan berkembang tanpa tercerabut dari akarnya. Dengan begitu, seorang anak yang selesai dari pendidikan formalnya dan kembali ke masyarakat, akan merasa mandiri tanpa gagap jika harus mencari sesuap nasi untuk dirinya, karena ia telah diberi bekal bagaimana mengelola apa yang ada di sekitarnya.

Hal ini juga mengingatkan kita pada pesan dari salah satu tokoh pendidikan Indonesia, Mohd, Sjafei bahwa, “Ilmu ialah penerangan tentang cara mengambil dan mempergunakan seefektif mungkin materi itu. Jadi ilmu yang harus dipelajari ialah ilmu yang dapat dipraktikkan terhadap materi yang ada di sekitar kita.”

Faktor penting selain kurikulum yang harus diperhatikan juga ialah guru. Kurikulum sebagai sistem akan mangkrak apabila pelaksananya kurang menguasai apa yang menjadi tugasnya. Pendidikan nasional membutuhkan guru profesional yang diukur oleh guru terdidik, terlatih, dan didukung oleh fasilitas memadai. Dari situ mereka dapat bekerja dengan baik serta memiliki komitmen tinggi dalam usaha mencerdaskan, dan akhirnya mendapatkan kompensasi secara layak (hlm, 98).

Namun sayang, dalam pelaksanaannya ditemukan banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Selain itu, adanya perguruan tinggi sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi, serta kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan mutu pendidikan (hlm, 101). Di samping memang menggunungnya tugas administrasi guru dan kebingungan karena bongkar pasang kurikulum yang tak berkesudahan.

Demikian.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahmad Kurnia Sidik

Penulis menjadi bagian dari telapaksimak.com.