Menghadapi Kecerdasan Buatan

slider
25 Juli 2023
|
2065

Hanya butuh dua bulan bagi ChatGPT untuk mendapatkan 100 juta pengguna. Lebih cepat 7 bulan dari TikTok, lebih cepat 2 tahun dari Instagram—dua aplikasi yang terkategori sangat populer.

Kehadiran ChatGPT bukan saja membuat orang-orang terpukau, melainkan juga mengantarkan kita memasuki “era baru” dalam perkembangan teknologi, yang memunculkan kegamangan bagi beberapa kalangan.

Kecerdasan buatan (artificial intelligence) bukanlah barang yang sepenuhnya baru dalam kehidupan umat manusia. Sudah sejak 1950 Alan Turing, ahli matematika dan komputer asal Inggris, dengan Turing Machine-nya membuka pintu awal perkembangan kecerdasan buatan di masa modern.

Sampai saat ini, beragam aplikasi yang sehari-hari kita pakai pun telah mengimplementasikan kecerdasan buatan untuk melayani kebutuhan dan keinginan kita. Aplikasi jual-beli daring dan media sosial, misalnya, menggunakan kecerdasan buatan untuk mengustomisasi penyajian produk dan konten berdasarkan preferensi setiap pelanggannya.

Namun, ChatGPT-lah yang boleh dibilang mengentakkan kesadaran kita akan kedahsyatan kecerdasan buatan. Tentang hal itu, banyak ilmuwan telah mengeluarkan pendapatnya. Pro dan kontra mencuat. Sebagian melihatnya dengan optimisme, meyakini bahwa kecerdasan buatan akan memudahkan manusia untuk menyelesaikan berbagai urusan hidupnya.

Sedangkan sebagian lainnya memandang dengan cemas, khawatir kecerdasan buatan akan makin mendisrupsi-mendistorsi kehidupan manusia, dan kelak—pada titik paling ekstrem—bisa menggilas manusia itu sendiri.

Dua Sisi Kecerdasan Buatan

Meminjam hasil analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas tentang dampak kecerdasan buatan (terutama versi Large Language Model seperti ChatGPT dan MidJourney) terhadap sektor industri-ekonomi, sektor yang mengandalkan keterampilan manusia untuk menyediakan produk (barang dan jasa), didapatkan bukti menarik.

Tiga sektor industri dengan tingkat keterpaparan kecerdasan buatan tertinggi ialah sektor informasi dan komunikasi (58,1%), keuangan dan asuransi (55,2%), dan jasa perusahaan (52,3%).

Sedangkan tiga sektor industri dengan tingkat keterpaparan terendah adalah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (1,34%), penyediaan akomodasi dan makan-minum (18,1%), dan industri pengolahan (23,6%).

Temuan tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan buatan akan membawa banyak dampak (positif dan negatif) terhadap jenis pekerjaan yang banyak menggunakan kemampuan mesin dan komputer. Sebaliknya, jenis pekerjaan yang bersifat manual, yang lebih banyak menggunakan tenaga manusia, lebih kecil peluangnya terdampak kecerdasan buatan.

Dengan kacamata positif, kita dapat melihat banyak keuntungan dari hadirnya kecerdasan buatan di banyak sektor kehidupan. Kita bisa bersahabat dengan kecerdasan buatan untuk meningkatkan produktivitas dalam bekerja dan berkarya.

Bersama kecerdasan buatan kita bisa mengefisienkan aktivitas yang melelahkan dan menguras waktu. Atas bantuan kecerdasan buatan, dengan modal atau masukan (input) yang kecil, kita bisa mendapatkan laba atau keluaran (output) yang lebih besar (bigger) dengan lebih cepat (faster) dan berkualitas lebih baik (better).

Probabilitas kesalahan yang dilakukan oleh kecerdasan buatan pun cenderung lebih minim. Urusan pengolahan data, misalnya, akan lebih akurat apabila menggunakan aplikasi perhitungan ketimbang dilakukan secara manual-tradisional oleh manusia.

Sangat mudah bagi kecerdasan buatan untuk memproses data dan informasi dalam jumlah yang banyak lagi besar, dan ia bisa melakukannya terus-menerus—ini poin yang teramat penting.

Kecerdasan buatan eksis untuk mengatasi keterbatasan manusia. Tenaga manusia terbatas, maka tubuhnya membutuhkan istirahat setelah beraktivitas atau bekerja berat yang normal selama delapan jam; kecerdasan buatan bisa beroperasi nonstop. Ingatan manusia terbatas sehingga rentan terhadap kelupaan; kecerdasan buatan mampu merekam dan menyimpan sangat banyak data dengan durasi yang lama.

Manusia sangat dipengaruhi oleh perasaannya, ia bisa merasa bosan dan malas dengan kegiatannya, bisa merasa takut, tidak puas, marah, bahkan menyesal dengan apa yang dilakukan; kecerdasan buatan tidak terhalang oleh emosi-emosi semacam itu.

Melihat betapa bermanfaatnya kecerdasan buatan untuk hal ihwal kehidupan manusia membuat kita seyogianya bergembira dengan eksistensinya. Namun, kita juga perlu insaf akan sifat bawaan dari produk teknologi, bahwa selain memberi maslahat, kecerdasan buatan juga mendatangkan mafsadat dan menantang nilai-nilai kemanusiaan kita.

Kemudahan dan keuntungan yang diberikan kecerdasan buatan sesungguhnya mengandung bahaya, yaitu bisa melemahkan daya pikir dan menumpulkan kreativitas, membiaskan moralitas, sampai menyingkirkan peran manusia dari roda kehidupannya sendiri.

Kecerdasan buatan mampu mengubah suatu pekerjaan yang kompleks menjadi ringkas secara instan. Pekerjaan yang bersangkutan dengan tulis-menulis (termasuk menyunting dan menerjemah), misalnya, menjadi salah satu pekerjaan yang paling terdampak. Jika tadinya menulis merupakan aktivitas yang membutuhkan proses panjang dan rumit, kini kecerdasan buatan bisa menyulapnya menjadi aktivitas yang sepele.

Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, pelajar ataupun mahasiswa yang menghadapi tugas-tugas menulis tidak perlu merasa risau, tidak perlu pula repot-repot menafahus buku demi buku atau berbagai sumber referensi, sebab kecerdasan buatan bisa menghasilkan tulisan dalam tempo yang sangat singkat. Hanya dengan memberi perintah, kecerdasan buatan akan memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia.

Akan tetapi, hal itu membawa konsekuensi yang merugikan. Ketidakbijaksanaan, lebih-lebih ketergantungan, dalam memanfaatkan kecerdasan buatan akan mendangkalkan kemampuan berpikir, melumpuhkan kekritisan dan kreativitas manusia dalam menganalisis suatu hal serta menciptakan alternatif-alternatif baru untuk menyelesaikan persoalan kehidupan. Efeknya, kecerdasan buatan bisa lebih diandalkan daripada kemampuan manusia.

Perkara makin pelik ketika kita menyadari bahwa sesungguhnya kecerdasan buatan sangatlah bias. Kebaikan atau keburukan yang ditimbulkan amat bergantung pada moralitas penggunanya. Bukankah kecerdasan buatan bisa menjadi senjata yang ampuh untuk melakukan penipuan, pencurian data, sampai pemroduksian dan penyebarluasan informasi atau paham menyesatkan?

Akhirnya, kemalasan berpikir dan berusaha, akibat kemudahan yang sesungguhnya menipu yang diberikan kecerdasan buatan, akan menumpulkan kompetensi manusia—keadaan bertambah buruk pula ketika ada penyalahgunaan kecerdasan buatan. Alhasil, manusia bisa jadi merugi, tersisih dan tergantikan oleh mesin, oleh aplikasi, oleh ciptaannya sendiri.

Kunci Resiliensi Manusia

Kita sudah tidak mungkin mengelak dari penetrasi kecerdasan buatan dalam kehidupan kita. Berupaya menghentikan pengembangan kecerdasan buatan pun sesungguhnya merupakan kesia-siaan belaka.

Pilihan terbaik bagi kita untuk bisa berdamai dengan kecerdasan buatan adalah dengan meneguhkan kompetensi dan aspek-aspek kemanusiaan kita. Kuncinya ada pada pendidikan.

Pendidikan kita mesti lebih serius bergerak ke arah penanaman rasa cinta terhadap ilmu dan aktivitas belajar, berkonsentrasi menciptakan generasi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner).

Hanya insan-insan yang gandrung terhadap ilmu yang akan sanggup bertahan dari ancaman kecerdasan buatan, hanya mereka pula yang akan bisa memanfaatkan kecerdasan buatan dengan bijaksana dan beretika. Sebab, dengan menjadi pembelajar sepanjang hayat, manusia akan senantiasa berupaya memaksimalkan potensi-potensi eksistensialnya yang tidak terjangkau oleh kecerdasan buatan.

Meskipun barangkali kecerdasan buatan bisa mempunyai cakupan pengetahuan yang lebih luas daripada manusia, sebab memiliki ruang penyimpanan data yang besar, tetapi masih ada titik batasnya. Kecerdasan buatan tidak atau belum bisa menciptakan sesuatu yang sepenuhnya baru.

Hal itu karena ketiadaan unsur imajinasi dalam algoritma kecerdasan buatan. Berbeda dengan manusia yang memiliki potensi untuk berimajinasi dan berkreasi menemukan hal-hal inovatif tanpa batas—sementara kemampuan kecerdasan buatan hanya sebatas data yang diinput atau diberikan manusia, serta tanpa kesadaran otonom untuk mengembangkannya.

Kelemahan lain dari kecerdasan buatan ialah ketidakmampuannya beremosi. Mungkin kecerdasan buatan bisa memberikan respons-respons yang terlihat berperasaan, tetapi ia tidak punya kepandaian untuk benar-benar memahami gejolak hati manusia—sehingga tidaklah bisa bersimpati dan berempati.

Padahal kecerdasan emosional merupakan determinan kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Kenyataan tersebutlah yang bisa membuat kita yakin bahwa kecerdasan buatan tidak akan menggantikan peran-peran substansial manusia.

Oleh karena itu, mewujudkan pendidikan yang mampu mendayagunakan potensi imajinasi dan perasaan para pemelajar merupakan kewajiban. Mewujudkan pendidikan yang menyenangkan demi melahirkan pemelajar sepanjang hayat harus kita usahakan sepenuh hati. Hanya dengan begitulah manusia dan kemanusiaannya tidak akan tergoyahkan oleh kecerdasan buatan.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Febrian Eka Ramadhan

Peserta Kelas Menulis menemui senja di MJS Jilid #5. Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY. Penulis buku Satu Hal Yang Tak Boleh Sirna: Esai-Esai Pilihan (2022).