Menerjemahkan Cinta Manusia
Judul : Sanjungan Kepada Cinta │ Penulis : Alain Badiou │ Penerjemah : Andreas Nova │ Penerbit : Circa │ Tebal : 69 halaman │ Cetakan : Pertama, 2020 │ ISBN : 978-623-7624-11-0
Cinta adalah salah satu topik yang tidak ada habisnya untuk terus diperbincangkan. Perwujudan dan ekspesi dari keberadaannya terus mengalami perkembangan seiring dengan peningkatan kompleksitas pengalaman manusia.
Sayangnya cinta seringkali dianggap sebagai sesuatu yang terberi (given) yang diterima begitu saja (taken for granted), sehingga tidak ada upaya untuk mempelajarinya. Seolah-olah cinta mendadak masuk ke dalam diri seseorang untuk kemudian memegang kendali penuh layaknya parasit pengendali pikiran.
Berbagai macam ekspresi cinta yang hadir dalam kehidupan sosial dianggap sebagai keabsolutan yang tidak perlu didiskusikan dan diperdebatkan lagi. Asumsi finalitas makna cinta inilah yang membuat wajah cinta cenderung tunggal, monoton, dan eksklusif. Disinilah pengkategorisasian mulai bekerja; ada yang dianggap cinta, belum cinta, atau bahkan tidak cinta.
Buku ini akan merupakan hasil wawancara seorang jurnalis asal Prancis, yaitu Nicholas Truong, dengan seorang filsuf yang juga asal Prancis, yaitu Alain Badiou mengenai cinta. Menurut Badiou, terdapat sejumlah interpretasi (penafsiran) atas cinta.
Pertama, interpretasi romantik yang fokus pada terjadinya ekstase dalam pertemuan. Sederhananya adalah energi atau gejolak khas yang dialami seseorang ketika berjumpa dengan orang yang ia cintai. Apabila energi atau gejolak tersebut perlahan menghilang, maka cinta diasumsikan ikut menghilang.
Kedua, interpretasi komersial-legalistik. Ketika energi dan gejolak tersebut ditindaklanjuti dengan adanya semacam kontrak antara dua individu, maka di situlah cinta lahir. Relasi pernikahan maupun pacaran merupakan bentuk paling mudah dari keberadaan kontrak tersebut. Berakhirnya kontrak—atau hubungan—antar dua individu mengasumsikan berakhirnya cinta.
Ketiga, intepretasi skeptis. Bagi seseorang yang memilih menginterpretasikan cinta secara skeptis, baginya cinta hanya ilusi. Cinta hanyalah bunga-bunga indah yang menutupi motif sesungguhnya dari tindakan manusia, baik itu hasrat, nafsu, ataupun benefit.
Ketiga intepretasi tersebut adalah pembacaan Badiou atas realitas. Ia tidak menganjurkan seseorang untuk memilih salah satu di antara interpretasi tersebut, karena hal tersebut hanya pemetaan untuk mengetahui bagaimana cinta diinterpretasikan oleh masyarakat. Badiou memiliki gagasan tersendiri mengenai makna cinta dan bagaimana cinta itu dipraktikan.
Cinta sebagai Dua Adegan
Menurut Badiou, cinta mengandung elemen awal yang memisahkan dan membedakan. Perlu disadari dan dipahami bahwa, dua orang yang saling mencintai adalah dua individu berbeda dengan karakteristiknya masing-masing. Meskipun terdapat sejumlah hal yang diklaim memiliki kesamaan, tetap saja terdapat titik tertentu yang membedakan ‘aku’ dengan ‘dia’.
Kesadaran pada perbedaan ini dapat membuat seseorang tidak berusaha memaksakan pikiran maupun keinginannya terhadap pasangannya. Biarkanlah ‘aku menjadi aku’ dan ‘dia menjadi dia’ dengan segala kekhasannya. Justru hal tersebut yang dapat menambah warna dari jalannya cinta. Oleh karena itu, Badiou menganggap cinta sebagai ‘dua adegan’, cinta adalah tentang bagaimana menjadi ‘dua’ dan bukan ‘satu’, meskipun bersatu pada hakikatnya tetap dua.
Lantas muncul pertanyaan, apakah berarti antara ‘aku’ dan ‘dia’ tidak saling bertanggungjawab, karena ada nuansa pembiaran dalam cinta? Tentu tidak bermaksud seperti itu. Kebebasan dalam cinta menuntun seseorang untuk menghormati karakter, watak, dan minat dari pasangannya. Kebebasanlah yang membuat cinta tidak bernuansa transaksional maupun perbudakan. Kebebasan juga yang membuat cinta jauh dari citra dominasi dan ketergantungan
Tentang Kesetiaan
Cinta selalu dimulai dengan sebuah pertemuan, namun menurut Badiou pertemuan saja belum cukup. Cinta tidak dapat direduksi sekadar sebagai pertemuan—atau ekstase dalam pertemuan, karena cinta adalah konstruksi (bangunan). Layaknya sebuah bangunan, maka cinta harus bertahan selama mungkin, meskipun menghadapi sejumlah tantangan dan rintangan.
Di sini tersirat gagasan Badiou tentang kesetiaan yang menjadi faktor elementer dalam cinta. Secara sederhana, kebertahanan cinta dapat dijumpai dalam usia suatu hubungan, semakin lama maka diasumsikan cinta semakin menguat.
Namun, wujud kebertahanan ini bisa saja manipulatif, karena panjangnya usia hubungan tidak selalu memastikan keberadaan cinta di dalamnya. Di sinilah pentingnya untuk melihat lebih dalam maksud Badiou tentang cinta yang bertahan lama.
Sebagai sebuah kontruksi, cinta diasumsikan kuat dan kokoh. Artinya cinta perlu selalu dibangun dan dihadirkan dalam diri. Cinta bukanlah energi atau gejolak khas yang secara tiba-tiba merasuk dalam diri seseorang, untuk kemudian dibiarkan begitu saja.
Kerusakan, keambrukan, atau bahkan hilangnya cinta dalam diri tentunya disebabkan oleh ketidakmampuan—atau bahkan keengganan—seseorang untuk menjaga, merawat, dan mempertahankannya. Jika cinta yang dimaksud adalah kecondongan hati kepada sang kekasih, maka pastikan kecondongan itu akan tetap ada meskipun badai menerpa. Pastikan bahwa terdapat komitmen dalam diri untuk tetap menjaga konsistensi rasa terhadap sang kekasih.
Menurut Badiou, ungkapan-ungkapan cinta adalah bentuk dari upaya untuk menjaga konstruksi cinta yang ada dalam diri, bukan semata-mata pemanis bibir. Dalam kalimat “Aku mencintaimu” ada nilai komitmen untuk membangun sesuatu yang akan bertahan lama. “Aku mencintaimu” itu artinya “Ada kamu sebagai sumber hidupku”.
Terakhir, Badiou mengatakan bahwa, “Cinta merupakan keinginan kuat untuk bertahan, tetapi lebih dari itu, cinta adalah keinginan untuk waktu yang tidak diketahui”. Maksudnya adalah sebisa mungkin cinta harus bertahan selamanya, atau bahkan lebih dari selamanya.
Seutas Catatan
Harus diakui bahwa Alain Badiou tidak begitu lengkap dalam menjelaskan cinta, khususunya bagaimana mewujudkan idenya tentang cinta sebagai kontruksi. Ia sekadar memberikan premis-premis dan prinsip-prinsip yang perlu hadir ketika seseorang sedang berada dalam cinta.
Namun langkah lengkap untuk mewujudkannya kurang begitu dipaparkan. Di titik ini kajian-kajian cinta seringkali dianggap imajinatif dan mengawang-awang karena tidak menyertakan pedoman pelaksanaannya. Meskipun begitu, sisi imajinatif inilah yang membuat cinta terus berkembang dalam pemaknaan dan penafsirannya. Terlalu detail dalam menjelaskan cinta justru membuat cinta kehilangan sisi menariknya, cinta menjadi tidak ada bedanya dengan resep masakan.
Biarkanlah cinta terus dimaknai dan ditafsirkan oleh manusia dari masa ke masa, agar ia tetap hidup dan bertahan lama—seperti yang diwasiatkan oleh Alain Badiou.
Category : resensi
SHARE THIS POST