Mendaras Al-Qur’an Merespons Perubahan

slider
30 September 2022
|
1995

Meminjam perkataan filosof Yunani kuno, Heraklitos, yang mengatakan bahwa “realitas itu seperti aliran sungai yang mengalir”. Realitas atau kenyataan itu selalu diliputi oleh perubahan. Maka, kita tidak akan pernah menginjakkan kaki di aliran air yang sama.

Perkataan lebih dari 20 abad yang lalu itu masih relevan hingga sekarang. Perubahan selalu menyertakan suatu tatanan baru, yang kadang kala tidak mudah untuk menanggapinya. Untuk merespons perubahan, diperlukan sikap yang fleksibel dan dinamis, guna dapat beradaptasi dan menjawab perubahan tersebut.

Dimensi kesejarahan membuktikan bahwa perubahan terus terjadi secara mutlak. Seperti halnya, prinsip newton digeser oleh prinsip quantum, komoditas ekonomi diubah menjadi komoditas intelektual, prinsip hierarkis disubsitusikan oleh prinsip relasi, bahkan prinsip khilafiyah diganti oleh prinsip trias politika.

Seorang futurolog, John Nisbitt, pada akhir dekade 90-an pernah meramalkan bahwa abad ke-21 akan muncul era baru yang akan merubah sistem nilai yang lama dan membangun sistem nilai baru. Fakta membuktikan bahwa hancurnya partikularitas bangsa-bangsa dan dibangunnya universalitas tak terbatas. Sebut saja ekonomi dan informasi sudah tidak terbatas pada lingkup tertentu, namun sudah meluas pada realitas global.

Segala jenis ilmu pengetahuan juga terus mengalami perubahan, dialektika menjadi suatu keniscayaan. Pengafirmasian, penegasian, penafian, pengintegrasian, pengintegralan, dan lain sebagainya menjadi variabel penting dalam hal ini.

Berbagai persoalan baru pun muncul tak terelakkan. Sebut saja, persoalan lingkungan, hak asasi, keperempuanan, ruang angkasa, kesejahteraan ekonomi, perdamaian dunia menjadi tantangan bagi kekokohan disiplin ilmu untuk menjawabnya.

Kompleksitas persoalan semakin sukar dipahami. Untuk mencapai kesejahteraan ekonomi tidak akan diraih jika bisa hanya dimotori oleh ekonomi yang berbasis kerakyatan, namun perlu pula untuk menggandeng disiplin ilmu lain untuk membaca persoalan secara luas dan dalam. Dalam persoalan yang sama, diperlukan pula disiplin sosiologi untuk membaca masyarakat dalam tataran tertentu. Bahkan tidak dapat dipungkiri bantuan dari disiplin psikologi untuk menelaah kondisi kejiwaan masyarakat.

Dengan realitas yang begitu kompleks maka dengan suatu disiplin ilmu yang tunggal tidak akan dapat membaca realitas secara menyeluruh, tidak dapat digunakan lagi prinsip mono-disiplin-ilmu. Maka, perlu menggandeng disiplin ilmu lain untuk membaca realitas secara komprehensif guna mencapai tujuan atau mengatasi suatu persoalan.

Merespons Perubahan

Untuk merespons perubahan realitas yang tak terelakkan dan kompeksitas persoalan yang begitu rumitnya, diperlukan pembacaan baru atas teks sumber primer (Al-Qur’an dan sunah Nabi). Seperti yang dipaparkan sebelumnya, perlu untuk menggandeng disiplin ilmu lain untuk mendapatkan view yang komprehensif. Al-Qur’an melalui tafsirnya juga demikian, perlu untuk menggandeng disiplin ilmu lain untuk mencapai visi Al-Qur’an itu sendiri, yakni sebagai hidayah atau petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Usaha tersebut telah dilakukan oleh Fakhruddin Al-Razi melalui karyanya Mafatih al-Ghaib dengan menyinggung teori-teori ilmiah pada kitabnya tersebut. Namun, model penafsiran seperti demikian kurang mendapat ruang oleh kebanyakan para mufassir pada umumnya. Bahkan muncul komentar yang bernada tidak setuju pada magnum-opus Ar-Razi, seperti … di dalamnya ada segalanya, kecuali tafsir itu sendiri” (fîh kull syay` illâ al-tafsîr).

Sedikitnya, khazanah teori ilmiah yang berseliweran sewaktu Ar-Razi masih aktif berkarya tidak beda jauh dengan zaman sekarang. Buktinya, social science atau natural science telah ada sejak zaman Yunani kuno walaupun belum terbentuk seperti yang dimanifestokan oleh para sosiolog klasik pada kisaran abad ke-19 lalu. Juga, zaman sekarang, sosiologi telah berkembang hingga telah muncul berbagai varian baru seperti, sosiologi agama, sosiologi pendidikan, sosiologi multikultural, dan lain sebagainya.

Tentu bukanlah suatu upaya untuk mendegradasi Al-Quran, tafsir Al-Quran beserta segala aspek-aspeknya, namun sebagai upaya untuk mewujudkan visi Islam Rahmatan lil `Alamin. Berusaha memberi ruang integrasi bagi Al-Quran beserta tafsirannya menggandeng disiplin ilmu lain untuk merespons, menyikapi, dan menjawab segala persoalan kemanusiaan.

Menurut Yusuf al-Qardhawi, penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan perlengkapan ilmu-ilmu kontemporer dengan unsur realita-realita serta teorinya [akan] menjelaskan sasaran serta makna-maknanya (Qardhawi, 1999: 531).

Tentu tidak mudah untuk mencapai hal tersebut. Perlu dialog intensif antara pakar tafsir dengan para ilmuwan. Menjadi angkuh jika menganggap para pakar tafsir mengetahui atau memahami segala bidang. Begitupun para ilmuwan sebaliknya.

Di satu sisi, ada para pakar tafsir yang menguasai ilmu-ilmu tafsir dan kebahasaan. Di sisi lain, ada para ilmuwan yang ahli dalam ilmu alam, ilmu sosial. Sehingga memungkinkan tercapainya integrasi keilmuan yang integral dalam membaca realitas kauniyyah serta terhindar kecenderungan-kecenderungan sepihak.

Sebagian besar pemikir Islam menganjurkan demikian. Aspek kehidupan dunia perlu digaungkan. Dalam karya Min al- Naql ilâ al-‘Aql, Hassan Hanafi juga mengemukakan supaya ‘ulûm al- Qur`ân bergerak dari ilmu lughah dan balâghah ke humaniora (al-‘ulûm al-insânîyah) (Hanafi, 2014: 15).

Mohammed Arkoun juga termasuk pemikir yang menggunakan pendekatan semiotika dan linguistik dalam memahami Al-Quran, seperti yang pernah diterapkannya dalam memahami surah Al-Tawbah ayat 5, yang dikenal sebagai “ayat pedang” (âyat al-sayf) (Arkoun, 1996: 93-99).

Fazlur Rahman juga yang banyak memberikan masukan dan telaah mendalam pada kajian sosiologi historis dalam suatu pembahasan ayat tertentu, misalnya pembahasan tentang poligami, hukuman potong tangan, perbudakan.

Kemunculan Covid-19 menjadi suatu persoalan baru yang perlu dibaca, diteliti, dan dicermati. Manusia pada umumnya menganggap persoalan tersebut merupakan suatu wabah. Sebagian kecil yang lain menganggap persoalan tersebut merupakan suatu azab, karena kejahatan suatu kaum tertentu, dan semua manusia patut mendapatkannya.

Di sini pentingnya positioning, arah mana yang akan kita lihat dan dari mana kita melihatnya. Tentu pada sebagian kecil orang yang menganggap wabah sebagai azab tidak akan merampungkan permasalahan sama sekali. Dengan bijak, kita perlu menggunakan petunjuk dari Al-Quran sebagai kaca mata dalam melihat wabah. Dengan lebih bijak lagi, kita menggunakan bantuan disiplin ilmu lain untuk membantu kita dalam memahami persoalan wabah tersebut.

Kalangan yang menganggap wabah sebagai azab, boleh jadi hanya membaca Al-Quran melalui terjemahannya, tapi menafikan aspek-aspek ketat pada sejumlah pengetahuan (ilmu) yang berkaitan dengan Al-Quran (Ulumul Quran). Maka tidak mungkin dapat menemukan Covid-19 dalam Al-Quran hanya melalui terjemahannya.

Dalam Al-Quran menyerukan spirit penelitian tidak hanya satu-dua kali. Umat muslim yang memiliki Al-Quran dengan berbagai tafsirannya dan berbagai keilmuan turunannya, seharusnya mampu menjawab persoalan yang ada dan terjadi.

Kenyataan yang dihadapi kini semakin bertambah kompleks, seperti metaverse dan sejenisnya. Hal ini menjadi penting untuk dipahami bersama. Mengingat perubahan terus terjadi, realitas hari ini semakin kompleks, dan banyak variabel-variabel baru yang bermunculan.

Bukan hal yang mudah memang, tidak sekadar menggunakan Al-Quran sebagai cocoklogi atas ilmu yang telah mapan. Kita harus membaca hubungan antara al-Qur`an dengan disiplin ilmu lain sebagai hubungan yang dinamis. Kebenaran Al-Quran tidak terbantahkan, dan teori-teori yang bekembang memiliki berbagai keterbatasan. Namun dengan kebenaran mutlak tersebut yang perlu diperhatikan ialah tafsirannya, bagaimana membaca dan memahami Al-Quran secara mendalam.

Kini kita di zaman yang jauh berbeda dengan zaman dulu (klasik), apakah akan membaca realitas dengan gaya baru atau malah tetap merujuk pada penafsiran-penafsiran zaman dahulu yang tentunya memiliki corak yang berbeda dan berhadapan dengan realitas yang sama sekali berbeda. Di sinilah letak urgensi memahami Al-Quran dan tafsir Al-Quran dalam merespons setiap realitas.

 

Referensi:

Arkoun, Mohammed, 1996, Al-Fikr Al-Islam, Beirut: Markaz al-Inma al-Qoumiy.

Hanafi, Hassan, 2014, Min al-Naql ila al-‘Aql: Ulum al-Qur’an, Kairo: Maktabah Madbuly.

Qardhawi, Yusuf, 1999, Berinteraksi dengan al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Satrio Dwi Haryono

Mahasiswa Aqidah dan FIlsafat Islam UIN Raden Mas Said Surakarta