Mencari Solusi Atas Problem Positivisme dan Modernitas
Judul: Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas | Penulis: F. Budi Hadirman | Penerbit: Kanisius, 2003 | Tebal: 202 halaman | ISBN: 978-979-21-9667-1
Positivisme adalah aliran filsafat yang dicanangkan oleh Auguste Comte pada abad ke-19. Aliran ini berkeyakinan bahwa kemajuan dan kesejahteraan umat manusia dapat dicapai ketika manusia menjelaskan segala hal-ihwal di dunia ini secara positif (ilmiah).
Apabila manusia masih menjelaskan persoalan di dunia ini dengan pendekatan teologis yang berpatok pada hal-hal gaib atau pendekatan metafisis yang berkutat pada abstraksi filosofis, maka manusia dapat dikatakan masih “terbelakang”. Karena itu, dalam perspektif positivisme, segala sesuatu dapat dikatakan benar bila didukung dengan data-data yang dapat diuji, difalsifikasi, dan divervikasi.
Memang patut untuk dipuji bahwa dengan perspektif itu, positivisme mendorong ilmu-ilmu alam dan teknologi maju hingga taraf yang maksimum. Banyak penemuan dalam bidang sains dan teknologi yang manfaatnya dapat kita rasakan hingga sekarang.
Namun, manfaat itu juga dibarengi dengan kerusakan yang begitu parah. Letusan bom di Hiroshima dan Nagasaki serta kolonialisme atas Dunia Ketiga merupakan contoh paling riil dari ekses negatif itu.
Masalahnya tak hanya itu, positivisme juga berusaha untuk menerapkan metodologinya tidak hanya pada ilmu-ilmu alam, melainkan juga ilmu-ilmu sosial. Positivisme berpretensi untuk menjadi satu-satunya klaim kebenaran atas berbagai jenis ilmu pengetahuan.
Padahal, objek penelitian ilmu-ilmu sosial bukanlah tikus putih, asam amino, larutan, sel, mesin, dan lain sejenisnya; melainkan masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berpikir, berperasaan, dan berperilaku dalam struktur budaya, sosial dan politik.
Tentu saja tak adil mendekati manusia dengan berbagai persoalannya dengan menjaga jarak (baca: distansi penuh), bertindak objektif secara absolut dan menyimpulkannya dengan hukum kausalitas niscaya yang bebas dari kepentingan apa pun.
Artinya, subjektivitas mesti dibunuh total dan ilmuwan meneliti manusia layaknya produk di laboratorium. Pendekatan ini justru mengobjekkan manusia—meminjam istilah para teoritikus Madzhab Frankfurt—melestarikan status quo konstruksi masyarakat yang ada karena penelitian dituntut untuk mendapatkan pengetahuan yang das sein (apa yang ada) dan bukan das sollen (apa yang seharusnya ada).
Modern adalah bentuk adjektiva yang berasal dari bahasa Latin “moderna” yang berarti “sekarang” atau “baru”. Kata “modern” digunakan untuk menunjukkan sebuah suatu masa tertentu dimana pemikiran-pemikiran pada masa itu disebut modernisme, sedangkan fakta sosialnya dinamakan modernitas. Modernitas memiliki elemen pokok, yakni pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah kehidupan; kemampuan untuk menyingkirkan kendala kebebasan dari tradisi sejarah; dan kesadaran yang dimunculkan oleh subjek (hlm. 194).
Modernitas sebagai bapak kandung positivisme juga memiliki problem yang tak kalah parahnya. Modernitas dengan mantra kritik, kemajuan, kebaruan, emansipasi dan individualisasi awalnya memang mengundang banyak manfaat.
Dobrakan terhadap tradisi agama yang dogmatis, keberanian untuk mempunyai pikiran sendiri dan harapan akan kemajuan adalah ekses positif yang dibawa modernitas. Namun, seperti positivisme, juga menciptakan problem yang akut.
Birokratisme dan teknokratisme adalah dua elemen hasil dari modernisasi yang justru mengindividualisasi dan mendisiplinkan manusia. Perlu juga dicatat modernisasi juga menimbulkan alienasi dan reifikasi atas manusia. Ujungnya, manusia tak bisa memaknai hidup ini.
Atas dasar itu, F. Budi Hadirman berupaya untuk mengkritik positivisme dan modernitas melalui buku yang berjudul Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan modernitas. Dalam buku ini, kita akan disuguhi di antaranya solusi-solusi alternatif dalam menyelesaikan problem modernitas tanpa terjebak dalam dogmatisme atau rasionalitas yang semu.
Solusi
Objek dari ilmu-ilmu sosial adalah segala hal yang tertampung dalam labenswelt (dunia kehidupan), yakni segala bentuk objek-objek simbolis yang manusia produksi dalam percakapan dan tindakan, baik ungkapan langsung, seperti tradisi-tradisi, karya-karya seni, teks-teks kuno, dan lain-lain; ataupun ungkapan tak langsung yang sifatnya tetap dan tertata, seperti struktur sosial, pranata-pranata, dan struktur kepribadian.
Dunia-kehidupan sosial bukanlah wilayah yang dapat diketahui begitu saja melalui observasi, melainkan dan tepatnya melalui apa yang disebut oleh Dilthey sebagai pemahaman (verstehen).
Pengetahuan yang ditemukan dalam dunia sosial itu bukanlah terutama kausalitas yang niscaya, melainkan makna. Sehingga, tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah untuk memahami makna (sinnverstehen).
Dalam konteks ini, ilmuwan sosial tak lebih tahu dan lebih paham dari pelaku sosial yang ingin dikajinya. Maka dari itu, dengan satu dan lain cara ia mesti masuk untuk ke dalam relung-relung kehidupan pelaku sosial. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena sosial, ia mesti memahami dan pemahaman itu didapatkan ketika ia turut berpatisipasi dalam dunia-kehidupan sosial itu.
Di sinilah letak pentingnya menggunakan hermeneutika. Hermeneutika adalah metodologi penafsiran yang awalnya digunakan untuk menafsirkan Bibel, namun kemudian digunakan untuk menafsirkan teks-teks non-kitab suci. Teks itu, dalam perkembangannya, dipahami tak hanya sebagai teks literatur, melainkan juga segala hal di dunia ini yang mempunyai makna.
Hermeneutika mengajak kita untuk melihat teks, pengarang, dan konteks dalam kesatuan yang utuh. Dalam konteks ilmu sosial, kita memandang pelaku sosial, dunia sosial, dan konteks yang melatari terkonstitusinya dunia sosial.
Tergantung apakah kita akan menggunakan pendekatan Schleiermacher yang berpusat pada empati psikologis pengarang, Dilthey yang mereproduksi proses teks diciptakan, atau Gadamer yang menafsikan teks dalam keterbukaannya dengan masa kini dan masa depan yang berkonskuensi pada penafsiran yang kreatif dan tak kunjung selesai.
Sementara itu, untuk menyelesaikan problem modernitas, Hadirman menggunakan perspektif Jurgen Habermas. Habermas adalah seorang filosof Jerman yang mempunyai minat besar terhadap persoalan modernitas. Ia berusaha melanjutkan sekaligus mengkritisi para teoritikus Madzhab Frankfurt, seperti Adorno dan Horkreimer yang merupakan pendahulunya. Tak hanya itu, ia juga mengkritik kritikan dari kaum postmodern atas modernitas.
Bagi Adorno dan Horkreimer, rasionalitas yang diagung-agungkan oleh modernitas justru mengandung paradoks. Di satu sisi, rasionalitas menggebrak tradisi dan dogmatisme agama yang menindas. Namun di sisi lain justru menghasilkan kapitalime, birokratisme dan teknokratisme yang mengasingkan manusia. Karena itu, kita sudah selayaknya meninggalkan modernitas.
Setali tiga uang dengan itu, kaum postmodern seperti Heidegger, Derrida, Bataille, dan Foucault, dengan cara yang berbeda, mengajak kita untuk meninggalkan modernitas. Pada intinya, para filosof pascamodern mengglorifikasi pembunuhan rasionalitas dan kebenaran objektif yang berusaha digapai oleh modernitas.
Habermas mengkritik kecenderungan tersebut. Ia berargumen bahwa modernitas tak sepenuhnya kita tinggalkan. Bagi Habermas, modernitas yang kita alami saat ini ialah “modernitas yang terdistorsi”. Jadi, ada konsep normatif mengenai modernitas yang sebenarnya dieksklusi oleh kondisi historis tertentu: kapitalisme yang di maksud di sini.
Dengan mempelajari kembali teori rasionalisasi Max Weber, Habermas menemukan bahwa modernisasi merupakan proses rasionalisasi dengan paradigma tunggal “rasionalitas tujuan”. Dalam arti ini, Habermas berupaya untuk mengukuhkan isi normatif modernitas yaitu rasionalisasi masyarakat, kepribadian, dan kebudayaan dengan rasio komunikatif.
Category : resensi
SHARE THIS POST