Menang Tanpo Ngasorake

slider
06 Oktober 2018
|
1102

Sebagai salah satu penduduk dunia maya, saya sering heran dengan kelakuan banyak orang (baca: akun) di media sosial menjelang tahun politik. Orang-orang mendadak jadi ahli politik serentak—sekurang-kurangnya menjadi pengamat politik. Saya tidak tahu istilahnya apa, mungkin bisa disebut politic syndrome. Mulai dari orang yang berlatar pendidikan agama sampai perhotelan, bahkan yang tidak berpendidikan-pun, semua mendadak suka memberi kuliah politik. Ada yang via status, ada pula yang di kolom komentar postingan orang.

Fenomena politic syndrome ini sebenarnya memberi sinyal positif. Maraknya orang yang melek ngomongin politik, bisa dibaca sebagai indikator suksesnya proses demokrasi di negara ini. Setiap orang memiliki kebebasan dan hak untuk beropini. Ini juga menunjukkan besarnya antusias masyarakat dalam mengawal sepak terjang pemerintahnya di kancah politik. Tentu saja ini kabar bagus, namun tetap saja ada ‘tapi’-nya.

Indonesia menyongsong tahun 2019 dengan penuh gairah. Negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia ini akan menggelar hajatan politik akbar tahun depan. Meski bersamaan dengan Pemilu Legislatif, namun Pemilu Presiden selalu menjadi yang paling disorot dan ramai diperbincangkan. Jokowi-Ma’ruf Amin bersanding dengan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan masa kampanye pemilu, yakni mulai 23 September 2018 sampai 13 April 2019. Meski begitu, appetizer alias menu pembuka kampanye sejatinya sudah dimulai jauh-jauh hari sebelum tanggal yang ditetapkan secara resmi oleh KPU.

Ya, bagi Anda yang memiliki akun media sosial, pasti menyadari bahwa sebetulnya kampanye sudah bergulir sejak lama. Setiap orang berkampanye mendukung dan memuja setinggi langit calon presiden yang akan dipilihnya. Setali tiga uang, sisi buruknya, tak sedikit di antara mereka yang sekaligus menjelek-jelek dan menjatuhkan calon presiden lawannya. Akibatnya jelas, rakyat menjadi terkotak-kotak. Hasilnya? Terbentuklah garis batas pemisah yang terang: Cebong dan Kampret. Hal ini menjadi semakin tidak menarik ketika kemudian adu argumen yang terjadi di dunia maya sampai dikembangluaskan menjadi permusuhan di dunia nyata. Naudzubillah.

Inilah yang membuat saya tidak hanya heran, namun juga kesal. Kesal karena setiap kali membuka salah satu aplikasi di media sosial, isinya orang gontok-gontokan argumen soal presiden. Mending kalau perang argumennya berbobot dan santun, malah sebaliknya. Sudah rugi kuota, rugi hati dan perasaan pula saya membacanya.

Tempo hari saya tidak sengaja melihat video di Youtube yang diunggah oleh channel Cameo Project. Di video itu, ada dua presenter yang sedang mewawancarai Deddy Corbuzier menyoal Pemilu 2019, wabilkhusus Pilpres. Saat ditanya tentang maraknya orang yang menjelek-jelekkan salah satu calon presiden, mantan pesulap itu menyebut ada tiga kemungkinan pelakunya.

Pertama, jelas adalah kubu lawan. Kedua, sindikat. Artinya ada buzzer dari pihak-pihak yang memang sengaja ingin merusak keharmonisan bangsa—ini sangat berbahaya. Dan yang ketiga adalah dari kubu sendiri yang tujuannya untuk memperoleh simpati. Dan, i’m sorry to say, orang-orang ahli politik dadakan semakin memperkeruh suasana, hingga akhirnya benar-benar terkotak-kotak. Korbannya adalah masyarakat umum yang semakin sulit untuk membaca peta politik dengan jernih. Dalam konteks politik, apapun menjadi ‘halal’ dan mungkin. Saya selalu percaya bahwa dalam politik, kawan dan lawan adalah fana, kepentinganlah yang abadi.

Saya adalah orang yang berpikiran sederhana. Mendukung seseorang, menurut saya, harusnya bisa dilakukan tanpa perlu menjatuhkan orang lain. Falsafah luhur Jawa menuturkan dengan gamblang: Menang tanpo ngasorake. Menang tanpa menjatuhkan. Kepada mereka yang mendukung salah satu capres sembari menjatuhkan yang lain, saya selalu bertanya, apakah ketika kamu mendukung pilihanmu, saat itu pula kamu memiliki kewajiban untuk merendahkan yang lain? Apa untungnya menjelek-jelekkan orang lain? Sederhana saja.

Kalau memang berniat mendukung salah satu calon presiden, tinggal posting dan angkat saja prestasi dan kinerjanya—asal sesuai fakta alias bukan hoax. Lalu, fokuslah terus di titik itu, kata Via Vallen. Beres! Tak ada umpatan dan cacian kepada calon lain dan kubunya. Beginikan kampanye jadi adem, suasana harmonis dan kondusif. Saya menyebutnya kampanye positif. Kalau itu bisa diwujudkan, Pemilu 2019 akan benar-benar menjadi pesta rakyat yang cemerlang. Semoga.

Mindset

Problem mendasarnya memang soal mindset. Setiap orang harus sadar bahwa media sosial adalah platform empuk bagi pelaku politik untuk menggiring opini publik. Ibaratnya, media sosial ini sudah tak ubahnya tempat penggorengan kerupuk yang amat besar. Kerupuknya adalah kita—masyarakat. Minyak gorengnya isu-isu politik. Dan si penggoreng adalah mereka yang memiliki kepentingan tertentu terhadap kita. Maka, mari bijak dalam bermedia sosial. Jika kita menemukan kesimpangsiuran berita, misalnya, tunggu sampai benar-benar valid dan terbukti dari sumber yang kredibel. Tahan untuk tidak membagikan atau memposting hal-hal yang rawan memicu kemarahan orang lain. Ingat, satu klik jarimu bisa memantik api kebencian sebesar Gunung Semeru.

Soal mindset ini, saya kemarin menerima pesan berantai di WhatsApp Grup (WAG) berjudul Games of Mind. Cerita di pesan itu, ada seorang istri yang jengkel dengan kebiasan si suami yang setiap selesai mandi, selalu meninggalkan handuk basah di atas kasur. Awalnya si istri berulang kali menyindir dengan sinis dan mengomel kepada si suami untuk menaruhnya di jemuran. Seiring berjalannya waktu, rupanya si suami tidak juga mengubah kebiasaannya.

Di tengah keputusasaan, si istri akhirnya mengubah cara berpikirnya sendiri. Handuk basah ini, pikir si istri, akan menjadi permadaninya di surga kelak sebagai balasan ketaatannya dalam melayani suami. Maka mulai saat itu, setiap kali melihat handuk basah di atas kasur, si istri langsung membawanya ke jemuran. Terus begitu. Sampai suatu hari tiba-tiba istrinya tidak lagi melihat handuk basah di atas kasur. Melihat keikhlasan dan kasih sayang istrinya, si suami akhirnya tergerak untuk mengubah kebiasaannya itu.

Lihatlah bagaimana pola pikir positif mampu mengubah kebiasaan buruk orang lain yang hatinya keras. Mungkin itu hanya cerita fiksi, tapi percayalah, ketika kita berbuat baik dan tidak merugikan—sekaligus merendahkan—orang lain pasti akan berbuah kebaikan pula. Bukankah mereka yang menanam kebaikan akan melihat balasannya—yang juga baik?

Mari berkampanye secara positif. Hindari perdebatan kusir yang berpotensi menimbulkan permusuhan. Cara paling sederhana adalah dengan tidak menjelek-jelekkan kubu lain yang berseberangan. Sebab ketika kita mulai menjelek-jelekkan salah satu calon, perdebatan tidak hanya akan berhenti di situ. Ia akan tumbuh menjadi bola liar yang ketika diterima oleh pendukung kubu lawan, tentu mereka akan balas menjelekkan calon yang kita pilih. Akan terjadi balas pantun. Terus begitu sampai entah.

Filter diri akan membuat kita wawas diri. Itu akan membuat kita memiliki kemampuan untuk mendeteksi postingan-postingan yang mengandung unsur kampanye negatif. Harusnya, jika ini bekerja dengan baik, secara spontan kita akan menolak postingan semacam itu, seperti saat kita mengunjungi situs-situs terlarang dan situs nganu, muncullah peringatan internet positif. Mari bijak dalam bermedia sosial.

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-04 Jumat, 05 Oktober 2018/25 Muharaam 1440 H


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Imdad

Lahir di Banyuwangi. Santri PP. Alfalah Ploso Kediri, PP. Queen Alfalah Kediri, PP. Darussholah Jember dan PP. Bustanul Makmur Banyuwangi. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, mengambil konsentrasi Akidah dan Filsafat Islam. Aktif menulis puisi, cerpen dan esai sejak SMA. Saat ini tinggal di Perumahan Polri Gowok Blok E1 no. 206 A, Sleman Yogyakarta.