Menafsirkan Ulang Zakat secara Berkeadilan
Judul: Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam | Penulis: Masdar Farid Mas’udi | Penerbit: Pustaka Firdaus, 1991 | Tebal: x + 240 halaman | ISBN: 978-979-54100-9-6
Nama KH. Masdar Farid Mas’udi oleh KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) pernah disebut dan diharapkan menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Harapan Gus Dur ini bukanlah tanpa sebab, Gus Dur terkenal sebagai sosok yang paling mengapresiasi terobosan-terobosan baru yang dibuat oleh anak-anak muda NU. Semasa hidupnya, tidak jarang Gus Dur menjadi tameng yang melindungi anak-anak muda NU, yang dianggap sesat karena punya terobosan baru, bahkan oleh lingkaran NU sendiri.
Sifat Gus Dur yang mengayomi ini, bisa jadi adalah turunan dari KH. Hasyim Asy’ari. KH. Hasyim Asy’ari sendiri semasa hidupnya juga melakukan sebuah terobosan baru dalam menafsirkan dalil-dalil Al-Qur’an, seperti mendorong para perempuan untuk menempuh pendidikan. Meskipun pada waktu itu, penafsirannya mendapat tantangan dari ulama konservatif, dan dianggap bid’ah, KH. Hasyim Asy’ari terus maju dan memperjuangkan prinsipnya. Terbukti hari ini, pendidikan bagi perempuan masih terus berjalan dan sangat relevan.
Perjuangan yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari tampaknya tercermin dalam kepribadian seorang Gus Dur. Gus Dur selalu siap untuk pasang badan, bahkan Gus Dur tidak akan sungkan mendorong anak-anak muda NU untuk terus maju dan melanjutkan perjuangan ijtihadnya.
Kiai Masdar, termasuk anak muda NU yang terayomi oleh Gus Dur semasa beliau hidup. Kiai Masdar, ketika mudanya adalah tokoh intelektual NU yang berpengaruh. Bisa dibilang, gagasan yang beliau punya merupakan perspektif pemahaman keagaaman baru, baik bagi Islam Indonesia, dan lingkaran NU sendiri.
Nama kiai Masdar melambung, ketika terobosannya mengenai zakat menghantam publik. Kiai Masdar menganggap zakat adalah bagian dari pajak. Zakat dan pajak adalah bagian yang saling melengkapi, bukan malah bertentangan. Ibarat tubuh dan jiwa, zakat dan pajak saling mengisi kekosongan, dan kekurangan yang ada. Gagasan besar kia Masdar tersebut terangkum dan tersusun dalam sebuah risalah yang berjudul Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam.
Layaknya sebuah karya yang berwujud risalah, buku Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam sebagian besar berisi pengalaman panjang pengarangnya. Apa yang menjadi kegelisahan utama dalam buku ini adalah bahwa selama lebih dari 10 abad, umat Islam telah mengabaikan amanat sosial (kekhalifatan)-nya yang begitu jelas dalam ajaran agamanya (hlm. ix). Kiai Masdar menulis buku ini dalam rangka menegakkan kembali bangunan sosial Islam, dengan cara mengangkat persoalan zakat dari timbunan puing-puing kesejarahannya.
Buku karya Kiai Masdar ini berisi ungkapan-ungkapan yang sangat provokatif. Kiai Masdar mencoba meyakinkan kita semua lewat buku ini, bahwa zakat adalah pintu masuk bagi umat Islam. Menurut Kiai Masdar, apabila kita memang benar-benar hendak menegakkan keadilan dalam kehidupan sosial, maka zakat atau pajak adalah langkah awal untuk memulainya. Melalui zakat, Islam bukan saja telah menunjukkan keterlibatannya pada kehidupan yang sehat, adil, dan demokratis, akan tetapi sekaligus juga mengajarkan soal kebersamaan dan persatuan.
Apa yang diuraikan dalam buku ini bisa dibilang berani dan kontroversial. Hal itu bisa dilihat dari keberanian Kiai Masdar mendobrak tabu dan pakem yang sudah ada bertahun-tahun. Kiai Masdar mengawali penjelasannya soal kemandegan dalam dunia pemikiran Islam, termasuk ketika berbicara persoalan zakat. Selanjutnya, Kiai Masdar juga mempertanyakan ulang tugas keulamaan yang sejatinya berorientasi mencipta dan merekonstruksi sesuatu, agar sesuai dengan kebutuhan zaman, namun hari ini teredusir pada tugas yang melulu sifatnya konservasi.
Zakat, jika dilihat dari sejarahnya, merupakan hal yang urgen selama masa pemerintahannya Rasulullah dan kedua khalifah sesudahnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab (hlm. xiii). Kiai Masdar, lewat buku ini mengajak kita mengingat kembali perjuangan Rasulullah beserta khalifah Abu Bakar dan Umar dalam soal perzakatan. Selain itu, lewat buku ini, Kiai Masdar juga mencoba menggugat ajaran-ajaran yang dianggap sudah selesai secara konsepsi.
Konsepsi, menurutnya bukan hal yang pakem, dan saklek, termasuk konsepsi soal zakat. Konsepsi zakat seharusnya mampu menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Islam yang mengaklaim sebagai “agama keadilan”, sudah seharusnya mampu untuk mewujudkan hal tersebut.
Bukan hal yang mustahil kiranya apabila Islam hari ini harus mempunyai pengaruh di semua sektor kehidupan. Dengan kuantitas yang mengalahkan pemeluk agama lain, orang-orang yang mengaku memperjuangkan agama Islam sudah sepatutnya menjadi role model untuk pemeluk agama lain. Apalagi jika konteksnya Indonesia, yang lebih dari separuh penduduknya mayoritas beragama Islam.
Dalam buku ini, zakat coba diarahkan untuk mendukung yang namanya keadilan sosial. Pada salah satu bab dalam buku, kita akan menemukan bahwa zakat juga tidak luput dari yang namanya relativitas dan kontekstualitas. Oleh karenanya, zakat harus mampu kita bincangkan kembali, agar tujuan zakat demi kemaslahatan umat, menemukan titik terangnya.
Zakat harus diperbincangkan sampai ke ranah siapa yang diuntungkan dengan adanya zakat tersebut. Selanjutnya, harus juga diperjelas siapa-siapa saja yang mengendalikan zakat, agar zakat mampu dioptimalisasi untuk kemaslahatan bersama. Dua hal tersebut masuk ke dalam langkah taktis yang seharusnya terus diperbincangkan sesuai zaman.
Pada akhirnya, buku ini sangat layak dibaca karena mengingatkan kita soal ketimpangan sosial yang masih akan terus ada. Dalam buku ini, Islam sebagai agama terbesar, seharusnya mempunyai potensi, optimism, dan mampu untuk mengatasi masalah ketimpangan sosial. Islam juga seharusnya dalam setiap waktu tidak luput untuk memperbincangkan ketimpangan sosial sebagai agenda bersama.
Category : resensi
SHARE THIS POST