Mempertanyakan Ulang Ihwal Cinta

slider
slider
04 Desember 2019
|
1653

Judul: Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran | Penulis: Fahruddin Faiz | Penerbit: MJS Press, 2019 | Tebal: xii + 132 halaman | ISBN: 978-623-91890-0-6

Suatu waktu terjadi percakapan dua insan tentang cinta. Salah seorang ‘menggugat’ pasangannya dengan pertanyaan terkait cinta. Ia mengatakan, “Katamu, mencintai itu merupakan jalan setapak menuju pintu Sang Pemilik Cinta? Tapi bagaimana mungkin aku bisa berjalan hingga sampai pada tujuan itu, jika ‘cinta’mu tidak memerdekakan fitrah kemanusiaanku? ‘Cinta’mu tidak perduli dengan keindahan komunikasi dan kreativitas berdialog? ‘Cinta’mu tidak memuat tanda-tanda ketulusan mencinta? Bahkan ‘cinta’mu tidak mampu mengantarkanku menjadi pribadi yang manusiawi?”.

Saya sengaja mengawali resensi ini dengan memunculkan pertanyaan yang bernada ‘menggugat’ status quo cinta. Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa jadi bersifat universal. Tentu saja sifat tersebut bisa untuk siapa saja tanpa membedakan suku, bahasa, maupun budaya. Selain itu, saya meletakkan pertanyaan di awal sebenarnya memiliki relevansi dengan buku ini. Kaitan yang dimaksud bisa dilihat sejak dari judul buku Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran yang berusaha memotret objek cinta dari angle filsafat. Sebab, bukan filsafat namanya jika tidak bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan yang melampaui. Pun demikian dengan buku ini, semangat yang dibawa adalah semangat mempertanyakan kembali perihal cinta.

Sejalan dengan itu, buku Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran karya Fahruddin Faiz dimulai dengan pertanyaan dan juga diakhiri dengan pertanyaan terkait cinta; baik pertanyaan secara eksplisit maupun pertanyaan secara implisit. Hal ini bisa kita lihat mulai dari kalimat pembuka hingga penutup. Delapan paragraf dalam kalimat pembuka, seakan mendorong kita sesegera mungkin menjelajahi cerita tentang, penjelasan atas, dan pengungkapan mengenai cinta. Namun, belum saja kita melangkah lebih jauh ke dalam pembahasan selanjutnya untuk mencari tahu apa itu cinta, kita tiba-tiba dicegat oleh pertanyaan: “Begitu sibuknya engkau berbicara tentang cinta, lantas kapan engkau mencintai?" (hlm. vii).

Sementara itu, pada bagian penutup kita dapati juga beberapa pertanyaan. Mengenai hal ini, kita bisa menemukan pertanyaan filosofisnya pada paragraf ketiga dan keempat. Pertanyaan yang dimaksud adalah—seperti, adakah yang ia berikan selama ini yang ia anggap cinta kepada kekasih hatinya, kepada Tuhannya, kepada sesamanya, dan kepada objek apa pun itu, merupakan sebentuk cinta atau bukan? Adakah dengan cinta, nilai, mutu, dan kualitas kemanusiaan seseorang meningkat atau justru mundur? Kalau seseorang tidak memiliki cinta untuk dirinya sendiri, bagaimana ia mampu memberikan cinta untuk yang lain? Pun demikian di bagian pembahasan ‘Memasuki Dunia Cinta Filosofis’ hingga ‘Menjelajahi Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran’ memuat pertanyaan-pertanyaan, baik secara tersurat maupun tersirat yang filosofis.

Dengan bekal pertanyaan-pertanyaan tersebutlah, menurut saya buku ini memiliki nilai penting bagi pembaca. Pembaca seakan ‘diuji’ kembali mengenai cinta. Nilai pentingnya juga bagi pembaca adalah bahwa buku ini memantik kita untuk bersikap kritis terhadap persepsi kita tentang cinta yang dipegang selama ini. Sebab, tanpa kesadaran yang utuh mengenai cinta, sebagus dan seluhur apa pun cinta yang kita miliki itu tidak memberikan power positif dalam kehidupan jika cinta itu hanya diterima begitu saja. Atau bisa jadi cinta yang dijalankan selama ini diekspresikan hanya untuk—meminjam kata Erich Fromm—yaitu memperdayakan bukan memberdayakan potensi cinta.

Selain ingin menguji kembali perihal cinta, buku ini juga mengingatkan kita bahwa cinta itu adalah fitrah yang melekat sebelum manusia diturunkan di bumi. Hal tersebut bisa kita lihat—seperti yang tertulis—dalam potongan ayat Al-Quran antara lain dalam surah Al-Baqarah ayat 35. “Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini...” (hlm. 25).

Penggalan ayat di atas tentu bisa dimaknai dengan adanya fitrah cinta di dalam diri Nabi Adam. Fitrah cinta itu pada akhirnya mendorong Nabi Adam untuk diciptakan pendamping hidup sehingga dengan pasangan tersebut, Nabi Adam mendiami surga dengan penuh rasa cinta bersama istrinya.

Perihal cinta

Hal menarik yang disuguhkan buku ini juga adalah terkait cinta-cinta dan definisinya, cinta dan kaitannya dengan filsafat, ciri fundamental cinta, dan entitas cinta. Apa yang saya sebutkan di atas bukan saja menarik, tetapi itu merupakan pokok permasalahan yang saya kira penting mengapa hal itu yang dijadikan fokus penelaahan Pak Faiz. Lalu apa pentingnya memafhumi cinta dengan sederet muatan yang dikandungnya?

Mendefinisikan cinta tidaklah mudah. Kesulitan yang timbul adalah ketiadaan satu definisi yang utuh, kompleks, dan final tentang cinta. Kahlil Gibran sendiri, begitu juga dengan para filsuf, sufi, maupun psikolog lainnya mengaku tidak punya kuasa menuntaskan definisi cinta. Sebab, faktor yang paling disadari oleh Gibran adalah masalah subjektifitas. Cinta merupakan reaksi yang ditampung oleh perasaan setiap orang. Dengan demikian, pantaslah cinta ini tidak merupa dalam satu definisi tunggal.

Mengenai kesulitan mendefinisikan cinta, Rabi’ah al-Adawiyah sang pelopor cinta Ilahiah dalam Islam pernah ditanya orang tentang pengertian cinta. Ia menjawab:

Sukar menjelaskan apa hakikat cinta. Ia hanya memperlihatkan kerinduan gambaran perasaan. Hanya orang yang merasakannya yang dapat mengetahui. Bagaimana mungkin engkau dapat menggambarkan sesuatu yang engkau sendiri bagai telah hilang dari hadapannya, walaupun wujudmu masih ada oleh karena hatimu yang gembira telah membuat lidahmu bungkam.

Karena sukar mendefinisikan cinta, Al-Ghazali sampai mendefinisikannya secara simbolik dan puitis. Terlepas dari sukarnya definisi yang tunggal dan disepakati bersama, cinta, tegas Pak Faiz, diakui eksistensinya oleh semua orang. Ini bisa dicek, lanjut Pak Faiz, pada setiap orang. Mereka pasti mengakui bahwa cinta itu ada, operasional, dan fungsional dalam kehidupan.

Berbicara tentang cinta, ada semacam nada pesimis bahkan peremehan terhadap dunia cinta. Orang-orang menganggap bahwa pembahasan tentang cinta itu hanyalah jatah bagi orang yang tidak berpikiran maju. Bahkan membahas cinta lebih mendalam itu merupakan hal yang tampak lucu. Sebab, menurut mereka cinta itu adalah sesuatu yang abstrak. Sehebat apa pun parameter rasio-akal yang digunakan untuk mendudukan cinta dalam tataran empirisme, tentu saja tidak mungkin menggapai dan mengambil nilai-nilai kesejatian yang terkandung dalam cinta. Mengapa demikian? Dalam buku Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran Pak Faiz menyebutkan bahwa itu dikarenakan pandangan yang sempit, yakni pandangan yang reduksionis terhadap cinta (hlm. 5).

Selain itu, selama ini cinta hanya dipandang dan dipahami dari perspektif psikologis. Sigmund Freud dan Erich Fromm misalnya, merupakan dua psikolog yang punya pandangan mengenai cinta. Jika berhenti pada asupan yang diberikan oleh Freud, maka kita hanya diantarkan pada jenis cinta yang erotis semata; juga merupakan bentuk reduksi terhadap nilai dan jati diri cinta.

Melepaskan anggapan miring terhadap cinta yang reduksionis dan berhenti pada pemaknaan berdasarkan perspektif psikologis saja, seperti disebutkan di atas, merupakan gagasan utama dalam buku Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran ini.

Jika Freud mengatakan cinta hanya sekedar urusan seksual, maka bagi Kahlil Gibran cinta merupakan dasar dari eksistensi manusia. Cinta bukanlah urusan remeh-temeh soal kemesraan yang tergambar semu di antara remaja, tetapi cinta bagi Gibran memiliki esensi dan jati diri yang mampu mewujudkan perdamaian, keharmonisan, kreativitas, ketentraman, bahkan mendorong terwujudnya kemajuan (hlm. 5-6). Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa asumsi tersebut benar?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kiranya penting kita memperhatikan klasifikasi karakter utama cinta. Setidaknya ada empat ciri utama mengenai cinta. Pertama, cinta dan kebebasan. Kedua, cinta dan keindahan. Ketiga, cinta dan ketulusan. Keempat, cinta dan penyucian. Dengan melandasi pada kebebasan, di sanalah cinta leluasa merangkai kreativitas wujud dan objeknya. Dengan itu, cinta tidak hanya untuk Allah, tetapi juga untuk manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lainnya.

Pun demikian relasi antara cinta dan keindahan, keindahan merupakan wujud harmonis dari elemen-elemen setiap benda yang membuat subjek yang melihatnya merasakan kedamaian. Namun, kadang tidak mudah meraih kedamaian jika cinta itu memuat semata-mata bentuk transaksi untung rugi. Tanpa ketulusan, kita tidak bisa mendapatkan esensi kesejatian cinta yang melampaui sekat-sekat partikuler. Jika cinta yang kita pegang seringkali membelenggu, tidak memuat keindahan, jauh dari ketulusan, tentu saja cinta itu tidak mampu mengantarkan kita pada level kesejatian, yakni terbentuknya jiwa-jiwa yang murni dan pribadi-pribadi yang manusiawi. Di sinilah nilai tertinggi cinta.

Selain keempat karakter utama cinta, penting juga kita memperhatikan cinta dan objek sebagai wujud ekspresi cinta. Dalam buku ini, Pak Faiz memilah objek cinta menjadi tiga, yakni cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, dan cinta alam semesta. Penggalian lebih terperinci saya kira bisa kita telaah sendiri di dalam buku.

Sebagai penutup, ada dua hal yang saya tekankan. Pertama, jika ulasan saya terkait buku Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran karya Pak Fahruddin Faiz dinilai membingungkan, maka saya kira resensi ini berhasil, ya berhasil membuat kita mempertanyakan kenapa demikian. Kedua, jika masih bingung sekaligus penasaran mengenai ihwal cinta yang harus dihidupkan dalam keseharian kita, buku ini recomended sebagai salah satu penyempurna referensi kita.

Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa yang terpenting dari apa yang kita bicarakan mengenai cinta adalah praksisnya. Sebab, seideal apa pun pengetahuan cinta yang sudah kita khatamkan dari berbagai macam referensi, jika tidak dieksiskan dalam realitas kehidupan sehari-hari, maka itu tidak bernilai apa-apa untuk eksistensi kemanusiaan kita. Berkenan dengan ini, saya kira penting untuk mengutip kembali apa yang saya tuliskan di awal, “Begitu sibuknya engkau berbicara tentang cinta, lantas kapan engkau mencintai?”.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ismail

Mahasiswa Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga, Santri Ngaji Filsafat