Memaknai Takdir dan Menerima Konsekuensi

slider
14 Juli 2020
|
2254

Secara sederhana, takdir dapat dipahami sebagai ukuran, ketentuan, kemampuan, atau kepastian. Menurut Komaruddin Hidayat, takdir berlaku dalam tiga hal.

Pertama, takdir Allah yang berlaku pada fenomena alam fisika, yaitu seperangkat hukum atau ketentuan Allah yang mengikat perilaku alam yang bersifat objektif. Dalam hal ini, watak atau hukum sebab-akibat alam mudah dipahami oleh umat manusia.

Respon waktu dari mekanisme hukum alam ini cenderung pendek, sehingga hasil dan akibatnya mudah serta cepat diketahui oleh umat manusia. Misalnya cara kerja obat yang dimasukkan dalam tubuh manusia.

Kedua, takdir Allah yang berkaitan dengan hukum sosial (sunatullah) yang berlakunya melibatkan manusia hadir di dalamnya. Respon waktu dari sunatullah ini relatif lebih panjang dibandingkan takdir yang berlaku dalam hukum fisika.

Ketiga, takdir dalam pengertian hukum kepastian Allah, yang berlaku namun respon waktunya lebih panjang lagi. Dalam hal ini, akibatnya baru diketahui setelah di alam akhirat nanti. Ketika di dunia efek dari hubungan sebab-akibatnya belum berakhir, sehingga harus dibuktikan di akhirat nanti. Takdir ini biasanya disikapi oleh umat manusia dengan penuh rasa keimanan, hal itu lantaran selama manusia masih hidup di dunia efeknya belum dapat dibuktikan.

Dari tiga macam takdir yang sudah disebutkan di atas, kita bisa memahami bahwa takdir merupakan hukum sebab-akibat yang berlaku secara pasti, yang tentu operasionalnya di bawah kontrol dan pengawasan Allah Tuhan Semesta Alam yang Mahatahu dan Mahaadil. Berlakunya hukum sebab-akibat ini pula ada yang melibatkan campur tangan manusia dan ada pula yang tidak.

Dalam artian, takdir merupakan suatu kejadian yang manusia baru mengetahuinya setelah kejadian. Karena itu, manusia dapat menelusuri penyebabnya setelah terjadinya, layaknya jenis takdir pertama dan kedua yang telah dijelaskan di atas.

Sementara itu, makna takdir yang ketiga adalah ketetapan Allah sejak azali yang manusia tidak mengetahui sebenarnya sepanjang hayat. Sehingga manusia harus senantiasa berusaha dan berdoa atas dasar keimanan.

Terkait dengan itu, manusia harus sadar bahwa setiap tindakan pasti membuahkan konsekuensi. Terlepas dari penilaian baik-buruk atau benar-salah, setiap orang pasti ngunduh wohing pakarti atau memetik buah perbuatannya sendiri. Realitas inilah kemudian yang juga populer dikenal dengan Hukum Karma atau Karmapala. Setiap manusia bebas berbuat apa pun, namun tidak bisa lepas dari risiko atau konsekuensi dari perbuatannya itu.

Buah dari perbuatan manusia ini bisa muncul secara cepat atau lambat, tergantung kompleksitas perbuatannya. Secara sederhana dapat dipahami bahwa sebelum menghasilkan buah perbuatan atau karma, setiap perbuatan terlebih dahulu menjadi benih-benih karma yang melekat dalam jiwa manusia. Menurut fisika kuantum, secara energi benih-benih itu mengisi ruang kosong di antara sub-partikel di dalam diri manusia.

Energi semacam inilah yang kemudian secara vibrasi akan menarik kejadian atau peristiwa yang sesuai. Ketika hukum tarik-menarik ini terealisasi, kemudian terjadilah apa yang dinamakan ngunduh wohing pakarti atau memetik buah perbuatan itu.

Terkait dengan hal itu, leluhur Jawa menyampaikan bahwa agar umat manusia selalu eling lan waspada, selalu sadar akan hukum sebab-akibat dan waspada terhadap buah dari perbuatan kita.

Akibat yang berupa realitas energi dalam diri manusia ini secara sederhana dapat dikategorikan menjadi akibat baik dan akibat buruk.

Akibat baik akan menarik peristiwa atau keadaan yang membawa kita pada sukacita dan ketenangan dalam hidup. Hal ini biasanya terjadi lantaran manusia sebelumnya pernah melakukan tindakan yang didasari oleh kesadaran murni yang membawa harmoni.

Sementara itu, akibat buruk akan menarik peristiwa atau keadaan yang membawa pada dukacita dan degradasi kualitas hidup. Ini akibat tindakan yang merusak harmoni, menyusahkan orang lain, dan melanggar tuntunan dari Sang Pencipta.

Akibat baik atau buruk ini biasanya juga gagal berbuah. Hal itu lantaran akibat buruk bisa sirna dan seseorang tidak jadi memetik buah perbuatan yang membawa dukacita jika menyadarinya lalu memohon ampun dan bertaubat.

Sebaliknya, akibat baik juga bisa gagal menjadi buah yang membawa manusia pada keberuntungan dan sukacita apabila seseorang justru menghapusnya dengan tindakan yang merugikan orang lain.

Realitas sebab-akibat ini perlu diselami secara mendalam. Terutama terkait pada beberapa kasus yang secara umum kita labeli dengan “musibah, kecelakaan, atau peristiwa buruk”.

Apakah itu semua pasti terjadi akibat perbuatan melanggar harmoni pada masa lalu? Sebagai contoh, seorang santri yang tertipu dan harus kehilangan beberapa uang. Apakah itu akibat dari tindakan ia pada masa lalu yang juga pernah menipu atau merugikan orang lain secara finansial? Bisa dipastikan belum tentu. Hal itu lantaran peristiwa buruk tidak selalu terjadi akibat tindakan buruk pula, namun bisa akibat kecerobohan manusianya sendiri.

Secara umum, orang yang mudah tertipu biasanya memiliki karakter lugu dan tidak waspada. Sehingga mereka tertipu bukan karena memiliki jiwa yang jahat atau mungkin pernah melakukan tindakan yang merugikan orang lain, namun semata-mata karena tidak waspada. Demikian juga pada kasus kecelakaan di jalan raya. Hal itu umumnya terjadi lantaran tidak berhati-hati, bukan akibat perbuatan sebelumnya yang merugikan orang lain.

Namun, memang ada kasus seseorang tertipu akibat tindakan menipu pada masa lalu. Atau seseorang mengalami kecelakaan akibat sumpah atau doa orang lain yang telah dirugikan atau dirampas haknya, sehingga marah dan sakit hati. Karena itu, kita perlu mengerti setiap peristiwa secara jernih agar tidak terjebak pada penilaian atau pemaknaan yang keliru. Yang terpenting, berani berbuat harus berani bertanggung jawab.

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang melakukan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula” (QS Az-Zalzalah [99]: 7-8).


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

A. Fikri Amiruddin Ihsani

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Gusdurian Surabaya