Memahami Makna “Kemudahan Beserta Kesulitan” dalam Pandangan Hamka Melalui Erlebnis dan Ausdruck Wilhelm Dilthey

slider
15 November 2024
|
1135

Hermeneutika dipahami sebagai seni dan ilmu menafsir tulisan-tulisan tentang kitab suci atau identik dengan tafsir. Konsep hermeneutik ialah memahami teks secara khusus. Istilah hermeneutik berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu hermeneuin berarti menerjemahkan.

Pengambilan isitilah ini dikaitkan dengan tokoh Hermes dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan pesan dari para dewa menuju manusia. Sebelum menyampaikan pesan tersebut, ia terlebih dahulu memahami dan menafsirkan, barulah Hermes menyuratkan kepada manusia.

Wilhelm Christian Ludwig Dilthey adalah salah satu tokoh hermeneutik romantik. Fokus hermeneutik Dilthey adalah Gestewissenschaften (ilmu sosial) yang mencakup sejarah, kebudayaan, dan kehidupan mental. Bagian yang dapat digunakan untuk menerangkan Geisteswissenschaften Dilthey ialah historis. Ia menerapkan hubungan sejarah meliputi tiga prinsip.

Pertama, semua perwujudan perasaan yang manusia ungkapkan suatu proses sejarah yang harus dijelaskan dengan metode sejarah. Namun keadaan lingkungan, keluarga serta diri manusia tidak bisa dijelaskan secara konkret, sebab masing-masing dari komponen itu memiliki karakteristik berbeda. Kedua, waktu kejadian yang tidak sama dan individual yang berbeda hanya dapat dipahami dengan masuk secara imajinatif melalui pandangan khusus seorang yang langsung berada dalam waktu kejadian tersebut. Ketiga, penulis sejarah mempunyai batas cakrawala masanya sendiri.

Konsep hermeneutika Dilthey terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, erlebnis berasal dari bahasa Jerman yang berarti pengalaman. Mengenai “pengalaman” ini memiliki dua bentuk arti. Arti pertama ialah erfahrung yang mengacu pada pengalaman secara umum dirasakan semua orang. Contohnya, ketika pergi ke Jakarta tujuannya adalah melihat Monas, berenang di Ancol dan melihat binatang di Ragunan. Percontohan ini menunjukan bahwa semua orang dapat melakukannya. Arti kedua erlebnis mengacu kepada pengalaman secara spesifik yang dimilki oleh seseorang dan dirasa mempunyai kesan tersendiri bagi dirinya.[1]

Bagian kedua, ausdruck yang berarti ungkapan atau ekspresi. Hal ini dikeluarkan dalam bentuk tulisan atau diutarakan berasal dari pikiran atau dunia mental manusia. Ausdruck dapat dipahami maksudnya dengan melihat sisi kebudayaan, kesenian, dan gaya hidup.[2]

Hubungan antara ausdruck dan erlebnis yang dijelaskan Dilthey bertujuan untuk memahami ungkapan yang ditulis oleh seseorang dengan mengetahui lewat pengalaman khusus yang dialami. Menurut Dilthey, memahami bukan hanya sekadar untuk melihat cara baca dan teks tertulis, tetapi mengetahui dunia sosial historis manusia. Metode ini digunakan untuk memahami pemaknaan seorang author tentang gambar kejadian disekitar lewat pengalaman khususnya, sehingga reader dapat tergambarkan/terpahami.

Selama masa penahanan, Hamka mendapatkan kesulitan dan kemudahan. Kedua hal ini saling bergandengan atau tidak saling terpisahkan, yang akhirnya menghasilkan pemaknaan yang dicatat dalam tafsirnya. Ausdruck ini dituliskan oleh Hamka dalam tafsir Al-Azhar dibagian surah Al-Insyirah ayat 5-6. Pemaknaan yang disampaikan dalam penafsirannya dapat dipahami melalui hermeneutik Dilthey menggunakan erlebnis (pengalaman yang dialami secara khusus) semasa berstatus tahanan yang pada saat itu diduga melakukan kejahatan sesuai dengan PenPres No.11/1963, pengakuan palsu Hamka untuk terbebas dari perkara dan terlepas dari hukuman setrum.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً (6)

Artinya, “karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”[3]

Ausdruck atau ungkapan adalah metode yang dikembangkan oleh Dilthey yang membahas tentang ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan manusia untuk menggambarkan kondisi di sekitarnya sesuai dengan sosial dan budaya atau biasa juga disebut ekspresi hidup. Ausdruck juga digunakan untuk memahami dunia sosial-historis, ungkapan-ungkapan yang ada di dalam dokumen, manuskrip dan bukti sejarah lainnya akan menuju tahap penghayatan untuk diketahui maknanya.[4] 

Pada ayat 5-6 surah Al-Insyirah, Hamka menggambarkan kondisi saat dirinya sedang menafsirkan dan menjelaskan pengalaman-pengalaman sewaktu dirinya dipenjara. Kesulitan beserta kemudahan dapat dipahami lewat ungkapan pada tafsir Al-Azhar.

Hamka menafsirkan tentang kesulitan beserta kemudahan diawali dengan penjelasan bahwa, “Nabi Muhammad merasa mendapatkan beban berat seakan-akan bisa mamatahkan tulang punggung ketika memikulnya. Beban berat yang ditanggung oleh Nabi Muhammad terdapat kemudahan, dengan diangkat Tuhan namanya ke langit dan dimuliakan. Kesulitan selalu beserta kemudahan. Sesuatu yang sulit saja itu tidak ada dan mudah saja pun tidak ada! Dalam susah berisi senang, dalam senang berisi susah. Itulah perjuangan hidup. Ini dapat diyakinkan oleh orang-orang yang telah mengalami.”

Kemudian Hamka menguraikan secara khusus dengan menggambarkan pengalaman selama menafsirkan ayat ini:

“Penulis tafsir sendiri mendapat pengalaman besar sekali untuk meresapi inti-sari ayat ini ketika ditahan dua tahun empat bulan secara zalim dan sewenang-wenang. Itu adalah kesulitan! Kalau saya bermenung saja kesulitan dan kemerdekaanku itu, maulah rasanya diri ini gila. Tetapi akal terus berjalan; maka ilham Allah-pun datang. Saya atur jam-jam buat membaca dan jam untuk mengarang tafsir Al-Qur’an yang saya baca itu. Demikianlah hari berjalan tanpa banyak memikirkan kapan kelur dari penahanan. Di bulan Mei 1966 saya dibebaskan, saya telah selesai membaca Al-Qur’an sampai khatam lebih dari 150 kali selama masa dua tahun, dan saya telah selesai pula menulis tafsir Al-Qur’an 28 Juz. Karena 2 juz 18 dan 19 telah saya tafsirkan sebelum ditangkap. Tahun 1968 atau 1387 Hijriyah saya, almarhumah istri dan Irfan (anak kelima) dapat naik haji. Lebih dari separuh biaya perjalanan kami bertiga hasil dari honorarium tafsir Al-Azhar Juz ke-1.” [5]

Ungkapan yang disampaikan oleh Hamka di atas menggambarkan kesulitan yang dialami dirinya. Ausdruck adalah langkah awal untuk memahami pemaknaan lewat karya tafsir Al-Azhar sehingga kita dapat memahami dan merasakan kondisi sosial di zaman Hamka. Langkah berikutnya untuk paham lebih mendalam terhadap gambaran yang diungkapkan ialah erlebnis. Tahap ini menjelaskan secara mengkerucut, pada pengalaman yang dimiliki seorang dan dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna dalam hidupnya lewat penghayatan. Pengalaman khusus yang dialami oleh Hamka sebagai berikut:

  • Hamka dituduh melakukan kejahatan sesuai PenPres No.11/1963.

Hari senin tanggal 27 Januari 1964 Hamka ditangkap di Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan oleh Departemen Angkatan Kepolisian (DEPAK) dengan tunduhan melakukan kejahatan sesuai dengan PenPres No.11/1963. Selanjutnya Hamka dibawa ke kantor dan diberangkatkan ke Bogor. Selama berada di Bungalow milik Harlina dirinya berfikir kesalahan apa yang diperbuat, setelah 4 hari di Bungalow Harlina Hamka dipindahkan ke Bungalow Harjuna pada 31 Januari 1964 untuk menjalani pemeriksaan esok hari.[6]

Pada 1 Februari 1964 Hamka diperiksa oleh tim pemeriksa DEPAK terdiri dari 20 orang. Hamka diperiksaa oleh dua orang selama 3 jam yang terdapat tiga sesi: pagi, siang dan malam. Selama pemeriksaan Hamka diajukan pertanyaan seputar: biodata, pergaulan, pendidikan dan partai yang dimasuki, namun pertanyaan khusus disiapkan tentang satu gerakan gelap yang dibuat untuk menentang presiden Soekarno dan pemerintah Republik Indonesia yang sah, Hamka merasakan bahwa pertanyaan tersebut menuduh bahwa ia sebagai salah satu dari anggota gerakan gelap itu. Hamka menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban “tidak tahu, dan “tidak ikut”, semua jawaban tersebut timbul dari hati yang jujur.

Tim pemeriksa terus mendesak Hamka untuk mengakui tuduhan yang dijatuhi kepadanya, tetapi Hamka masih tidak mau mengakuinya sebab tidak ada yang harus diakui karena Hamka merasa ia sedang tertindas. Tim pemeriksa menggunakan cara lain agar Hamka mengakui tuduhan yang dijatuhkan kepadanya. Pertanyaan terkait kredibilitas Zamawi dilontarkan kepada Hamka dengan menanyakan, “Apakah Zamawi orang yang jujur?” Kemudian Hamka menjawab, “Menurut saya dia adalah orang yang jujur” Selanjutnya pertanyaan dilanjutkan, “kalau ada keterangan Zamawi mengenai diri anda, adakah kemungkinan bahwa ia memfitnah?” Hamka menjawab “tidak!”.

Keyakinan Hamka terkait Zamawi adalah orang yang jujur dan tidak suka memfitnah, dipatahkan oleh keterangan Zamawi bahwasannya Hamka turut aktif dalam gerakan untuk membunuh Presiden Soekarno. Zamawi juga menerangkan Hamka mengadakan rapat gelap di Tanggerang pada 11 Oktober 1963 dan seminggu sebelum mengadakan rapat yang bertempat di Tanggerang Hamka juga menggelar rapat di rumah Hamka sendiri.

Setelah mendengar penjelasan dari tim pemeriksa tentang pengakuan Zamawi, Hamka meminta kepada tim pemeriksa untuk memberikan keterangan yang ditulis oleh Zamawi untuk memastikan keterangan itu benar atau tidak, tetapi tim pemeriksa tidak mau memberikan keterangan Zamawi. Kemudia tim pemeriksa mengatakan pada hari itu juga bahwa Zamawi atau Ghazali Syahlan yang selama ini bersikeras tidak mengakui kesalahan dan akhirnya mengakui kesalahannya. Dengan pengakuan Ghazali Syahlan, akhirnya ia bisa beristirahat dan tidak diusik dengan pertanyaan-pertanyaan.[7].

  • Pengakuan Palsu Hamka

Pada 4 Februari 1964, tim pemeriksa bertanya kepada Hamka, apakah ia kenal dengan Overste Nasuhi. Hamka menjawab “kenal” dengan menjelaskan dirinya bertemu sebanyak dua kali, tahun 1953 di Sulawesi Selatan dan tahun 1959 ketika diundang untuk mengadakan penerangan kepada orang-orang yang di tahan. Namun, tim pemeriksa terus mendesak dan menawarkan untuk dipertemukan oleh Nasuhi. Setuju dengan tawaran itu, Nasuhi dibawa ke ruang pemeriksaan, kemudian Nasuhi ditanya mengenai keterlibatan Hamka dengan rapat gelap di Tangerang. Lalu Nasuhi menjawab secara detail pakaian yang dikenakan Hamka dalam rapat gelap di Tangerang.

Setelah memberikan pernyataan di depan Hamka dan tim pemeriksa, Nasuhi keluar ruangan pemeriksaan. Setengah jam kemudian Nasuhi kembali ke ruang pemeriksaan Hamka untuk menjelaskan pengakuannya tadi. Nasuhi menjelaskan bahwa dirinya juga dituduh mengikuti perkumpulan gelap di Tangerang dan berkata “bahwa kita sedang difitnah”.

Pernyataan Nasuhi tentang Hamka mengikuti perkumpulan bertujuan menghindari siksaan tim pemeriksa. Serta Nasuhi menganjurkan kepada Hamka untuk membuat pengakuan palsu yang nantinya alasan memberi pengakuan palsu akan dibuka dihadapan hakim. Seorang inspektur yang bernama Daud bertugas menjaga Nasuhi merespons pembicaraan mereka berdua. Inspektur Daud menyatakan akan menjadi saksi ketika pernyataan palsu itu diakui dihadapan hakim.

Tim pemeriksa menggunakan cara lain dengan mengatakan bahwa rahasia mengenai Hamka telah didapatkan. Rahasia itu berisikan, Hamka mendapatkan donatur dari perdana menteri Malaysia sebesar 4 juta dan menyimpan 4 peti granat untuk mengkudeta kekuasaan pemerintah yang sah. Rahasia tentang Hamka ini adalah karangan dari tim pemeriksa. Setelah didesak dan difitnah pada 6 Februari 1964 Hamka mengikuti saran dari Nasuhi untuk membuat pengakuan palsu mengenai perkumpulan gelap di Tangerang bertujuan menjatuhkan pemerintahan Soekarno.

Karangan pengakuan palsu yang dibuat berisi nama-nama yang ikut dalam perkumpulan, kondisi saat perkumpulan, dan waktu perkumpulan. Waktu yang diterakan Hamka dalam pengakuan palsu 10 Oktober 1963 sedangkan catatan tim pemeriksa perkumpulan dilakukan 11 Oktober 1963, perbedaan tersebut membuat penuduhan Hamka mengikuti rapat gelap 11 Oktober 1963 adalah sebuah fitnah.

Akhirnya tim pemeriksa berfokus terhadap pengakuan palsu yang dibuat Hamka pada 6 Februari. Kemudian Hamka menuliskan pengakuan secara terpernci tentang rapat gelap 11 Oktober. Akhirnya tanggal 24 Maret 1964 tim pemeriksan telah mencapai kesimpulan bahwa perkara yang dijatuhi oleh Hamka adalah perkara yang tidak ada, lalu para tim pemeriksa sedang mecari sumber fitnah yang menyeret Hamka dalam perkaran gerakan gelap tersebut.

  • Terlepas dari Hukuman Setrum

Pada 30 Maret 1964, Hamka melakukan rekonstruksi adegan secara rinci yang ditulisnya dalam pengakuan palsu terkait perkumpulan gelap 10 Oktober di Tangerang. Setelah merekonstruksi kejadian para tim pemeriksa mulai berubah sikapnya kepada Hamka. Sampai salah satu inspektur bernama Muljokusumo bertanya mengenai bacaan wirid, memberikan suguhan, dan berdiskusi tentang agama yang disambut oleh Hamka.[8] Ketika Hamka sedang dijaga polisi muda, ia mengatakan kepada Hamka, “Alhamdulillah bapak selamat!” lalu Hamka bertanya “Mengapa?”. Polisi lalu menceritakan bahwa bungkusan yang dibawa oleh inspektur Muljokusumo saat berbincang dengan Hamka berisi setruman. Inspektur Muljokusumo adalah orang yang sering menggunakan cara kasar serta ganas. Hamka menyangka bungkusan itu berisi tape recorder, dirinya sangat terkejut dengan penjelasan dari polisi muda tersebut dan merasa bersyukur Allah masih melidunginya dari siksa yang mengerikan itu.[9]

Pengalaman Hamka di atas ialah pengalaman yang sangat berkesan bagi Hamka, sehingga ditulis di dalam tafsir Al-Azhar bagian surat Al-Insyirah. Pengalaman tersebut bisa katakan berkesan karena banyak sekali kesulitan yang dialami oleh Hamka, dari awal penahanan ia tidak mengetahui apa kesalahan yang diperbuat, lalu banyak fitnah yang dilakukan dan bentakan yang diterima oleh Hamka. Semua itu bertujuan untuk mendesak Hamka agar mengakui, walaupun ia tidak merasa berbuat kesalahan. Namun Hamka dalam menemui setiap kesulitan, Allah juga memberikan kemudahan atau jalan keluar untuk masalahnya.

Pengalaman semasa menjadi tahanan adalah sebagai penghayatan atas ungkapan yang dituangkan Hamka pada tafsir Al-Azhar surah Al-Insyirah ayat 5-6. Ausdruck Hamka dalam tafsirnya, “Penulis tafsir sendiri mendapat pengalaman besar sekali untuk meresapi inti-sari ayat ini ketika ditahan dua tahun empat bulan secara zalim dan sewenang-wenang. Itu adalah kesulitan! Kalau saya bermenung saja kesulitan dan kemerdekaanku itu, maulah rasanya diri ini gila.”

Ungkapan ini menjelaskan sekaligus menggambarkan kejadian yang sedang terjadi pada masa Hamka berstatus tahanan. Memaknai kata مع dengan bersama, yang mana bersama di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah berbarengan atau serentak. Hubungan pengalaman terhadap ungkapan tafsir, membuat kita mengetahui lebih dalam maksud dari kata “bersama” lewat penghayatan pengalaman Hamka didesak, dibentak dan difitnah. Semua itu dianggap Hamka sebagai kesulitan, dalam kesulitan yang Hamka terima, terdapat kemudahan di dalamnya.

Referensi:

E. Palmer, Richard, 2016, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

El-Jaquene, Ferry Taufiq, 2018, Buya Hamka: Kisah dan Catatan dari Balik Penjara, Yogyakarta: Araska.

Hamka, Rusydi, 2016, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, Jakarta: Mizan.

Hamka, 1983 Tafsir Al-azhar Juz XXIX Cet-3, Surabaya: Pustaka Islam.

Hardiman, Budi, 2015, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius.


[1] Budi Hardiman, Seni memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 83.

[2] Richard E.Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 125-126.

[3] Qs. Al-Insyirah [94], ayat 5-6

[4] Budi Hardiman, Seni Memahami, 91.

[5] Hamka, Tafsir Al-azhar Juz XXIX Cet-3, (Surabaya: Pustaka Islam, 1983), 177-178.

[6] Ferry Taufiq El-Jaquene, Buya Hamka: Kisah Dan Catatan Dari Balik Penjara, (Yogyakarta: Araska, 2018), 152.

[7] Rusydi Hamka, Pribadi Dan Martabat Buya Hamka, (Jakarta: Mizan, 2016), 263-264.

[8] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, 276-285.

[9] Ferry Taufiq El-Jaquene, Buya Hamka: Kisah dan Catatan dari Balik Penjara, 158.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Tobroni

Santri Ngaji. Tinggal di Ulujami, Pesanggrahan, Jaksel