Memahami Konflik Agama Melalui Pemikiran Karen Amstrong Tentang Fundamentalisme Agama

slider
30 September 2024
|
365

Kegelisahan akhir-akhir ini menghampiri penduduk dunia akibat konflik Israel-Palestine yang begitu kompleks. Beberapa orang menganggapnya sebagai masalah agama perihal keyakinan masing-masing kelompok terhadap janji dalam kitab suci. Pihak lain menganggapnya sebagai problem politik belaka. Keduanya mungkin sama-sama benar, namun pendapat pertama cenderung lebih masuk akal. Konflik Israel-Palestine memiliki latar belakang pertentangan antara Islam dan Yahudi.

Tulisan ini akan dimulai dengan satu pertanyaan mendasar yakni, “Jikalau agama selama ini selalu mengklaim sebagai sumber perdamaian, lantas mengapa konflik terjadi?

Agama, Konflik, dan Perdamaian

Pertentangan tentang definisi agama merupakan salah satu persoalan yang hingga kini masih berlanjut. Pertentangan tersebut berkisar seputar jangkauan persoalan apa saja yang dapat atau tidak dapat dimasukkan dalam istilah agama. Misalnya, Cambridge Dictionary of English (1995) mendefinisikan agama sebagai keyakinan dan penyembahan pada satu Tuhan atau banyak Tuhan, atau keyakinan pada berbagai sistem keyakinan atau peribadatan.

Definisi ini memiliki satu persoalan krusial, yakni bahwa ia mengecualikan Hindhuisme, dan sebagian Buddhisme, Jainisme, Taoisme, dan Konfusianisme dari lingkup agama. Oleh karena itu, batas-batas definisi agama itu sendiri perlu diatur dan diperjelas agar tidak terjadi ambiguitas dan miskonsepsi. Definisi tersebut sebisa mungkin jangan sampai terlalu rapat maupun terlalu longgar.

Jika batas-batas ditarik dengan rapat, maka apa yang menurut orang dianggap masuk dalam ranah agama justru tidak dianggap agama, atau jika batas-batas ditarik terlalu longgar, maka akan sulit mengetahui dengan pasti apa yang dirujuk dari istilah tersebut ketika digunakan. Meski tidak ada definisi yang bebas kritik, namun tentunya beberapa definisi memiliki kualitas yang lebih baik.

Di antara kualitas definisi yang lebih baik diberikan oleh Peter Connoly. Connoly mendefinisikan agama sebagai berbagai keyakinan yang mencakup penerimaan pada yang suci (sacred) wilayah transempiris dan berbagai perilaku yang dimaksudkan untuk memengaruhi relasi seseorang dengan wilayah transempiris itu (Connoly, 2002).

Agama biasanya akan memperlihatkan beberapa atau bahkan keseluruhan dimensi atau manifestasi di atas. Akan tetapi, satu-satunya elemen yang benar-benar penting dalam agama adalah keyakinan pada wilayah yang suci (sacred), transenden, dan transempiris yang karenanya seseorang dapat dikatakan beragama atau tidak beragama.

Semua agama, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindhu, Budha, dan lainnya, secara apriori tentulah mengajarkan serta menuntut para penganutnya untuk senantiasa melanggengkan kebaikan. Mungkin menjadi masalah di sini adalah bahwa masing-masing agama memiliki standar kebaikannya masing-masing yang cenderung relatif dan berbeda dengan pandangan agama lain. Selain itu, masing-masing agama pun memiliki klaim kebenarannya masing-masing yang harus selalu dipegang erat-erat.

Klaim-klaim seperti itu tentunya masih relatif aman jika masih berada pada ranah internal masing-masing. Berpotensi menimbulkan konflik ketika klaim-klaim kebenaran tersebut bersinggungan dengan keyakinan umat lain yang berbeda. Kasus seperti ini sangat rawan melahirkan gesekan-gesekan antar umat agama dan lantas memunculkan pertanyaan-pertanyaan radikal tentang esensi agama sebagai sumber kebenaran dan perdamaian.

Salah satu konflik agama yang dari dahulu hingga sekarang masih terus berlangsung terwujud dalam konflik Yaman. Akar dari konflik adalah persaingan penyebaran ideologi Islam antara Sunni (Arab Saudi) dan Syiah (Iran) dimana kedua negara tersebut saling berkompetisi untuk menggulingkan ideologi satu sama lain guna kepentingan politik dan ekonomi. Keduanya menggunakan pendekatan ideologi Islam sebagai bentuk intervensi dalam perebutan kekuasan wilayah Yaman di dunia internasional (Lutfitriani, 2021).

Dalam upaya untuk menyebarkan ideologi Syiah Imamiyah, Iran mengirimkan kelompok Syiah Houthi sebagai oposisi bagi pemerintah Yaman serta menyokong segala kebutuhan kelompok Houthi. Intervensi tersebut merupakan bentuk perwujudan visi pemerintah Iran yang menyatakan bahwa ideologi Syiah Imamiyah tidak hanya sebagai agama resmi Iran, namun Syiah adalah ideologi serta prinsip dasar dalam bernegara (teokrasi). Imam Khomeini selaku pimpinan Iran menyatakan dengan tegas bahwa ideologi Syiah merupakan pesan universal yang harus disampaikan ke seluruh penjuru dunia tanpa mengenal batas-batas wilayah tertentu.

Sementara itu, Arab Saudi sebagai negara yang mengklaim diri sebagai penganut Sunni pun ingin menyebarluaskan ideologinya serta menghalau oposisi yang tak lain adalah Syiah. Oleh karena itu, Arab Saudi berupaya menyokong pemerintah Yaman untuk melawan kelompok Houthi yang berusaha menyebarkan ideologi Syiah. Iran tak gentar dan terus melakukan ekspansi dengan membantu kelompok oposisi Syiah Houthi. Kompetisi ideologi Syiah-Sunni ini yang kemudian menimbulkan konflik di Yaman dengan mayoritas korbannya adalah warga sipil.

Selain alasan ideologi, keberlangsungan konflik Yaman juga dipicu oleh letak geografis yang sangat strategis. Kondisi geografis menjadikan Yaman sebagai incaran bagi negara-negara besar, termasuk Iran dan Arab Saudi, sehingga keduanya mencurahkan kekuatan maksimal untuk menguasai Yaman guna kepentinan politik dan ekonomi. Konflik Yaman sebagai konflik politik meskipun akarnya bermuara pada penyebaran ideologi agama.

Dari konflik Yaman dapat dilihat bahwa agama disalahgunakan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan dan kepentingan satu kelompok tertentu. Fanatisme yang berlebihan terhadap keyakinan dan ideologi kelompok justru membawa malapetaka bagi orang lain. Konflik Yaman juga menjadi bukti bahwa meskipun memiliki keyakinan agama yang sama (Islam), pertentangan dan pemberontakan masih dapat terus terjadi selama masing-masing kelompok ataupun sekte di bawah naungan agama yang sama memiliki sikap intoleran terhadap yang lain.

Konflik Yaman hanya satu jenis contoh dari banyaknya konflik-konflik agama yang dilatarbelakangi oleh rasa fanatisme terhadap klaim kebenaran sepihak. Mempertahankan klaim kebenaran agama merupakan sesuatu yang sangat sensitif.

Di satu sisi, agama memerintahkan umatnya untuk sebisa mungkin menjaga keyakinan meskipun darah dan nyawa sebagai taruhannya. Namun, di sisi lain, problem kemanusian kian memanas. Konflik dan peperangan di mata manusia normal adalah hal yang mengerikan dan tak sesuai dengan fitrah manusia. Apalagi bila akar dari konflik tersebut bermuara pada agama.

Karen Amstrong dan Fundamentalisme Agama

Karen Amstrong merupakan salah seorang komentator terkemuka dunia tentang isu-isu agama. Ia merupakan seorang penulis dan peneliti agama yang menyebarkan semangat keberagamaan yang penuh cinta kasih dan perdamaian. Amstrong menulis topik-topik tentang sejarah pencarian umat manusia tentang Tuhan, dari mulai agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) hingga agama-agama dengan basis etika seperi Budhaisme dan Hindhuisme.

Amstrong telah memperoleh berbagai penghargaan atas dedikasinya dalam mempromosikan saling pengertian antara agama-agama. Tulisan-tulisan Amstrong kebanyakan merujuk pada teori fundamentalisme agama yakni gerakan-gerakan keagamaan yang muncul pada abad ke-15 dan abad ke-20.

Dalam buku The History of God (1993) Amstrong mempertanyakan kembali persoalan-persoalan mendasar terkait gagasan tentang agama dan Tuhan, terutama tentang masa depan agama dan kebertuhanan. Pertanyaan ini berakar pada kondisi aktual umat manusia abad ke-21 yang semakin manaruh jarak antara dirinya dengan agama.

Di Eropa, gereja-gereja mulai kosong; ateisme tidak lagi menjadi pedoman kaum intelektual, tetapi telah merajalela ke jalanan menjadi pelampiasan manusia atas Tuhan yang telah menerornya di masa lalu. Banyak orang yang mulai tak gentar dengan prospek hidup tanpa Tuhan. Mereka tak perlu merasa takut lagi terhadap hukuman dan ancaman yang dijanjikan Tuhan bagi yang tidak mematuhi berbagai aturan-Nya. Mereka telah mendapatkan kebebasan intelektual baru dengan berani mengikuti pikiran sendiri tanpa memedulikan aturan-aturan keagamaan.

Amstrong memaparkan bahwa salah satu problematika yang kerap kali terjadi pada umat beragama pada masa silam adalah pembentukan konsepsi yang salah atas ide Tuhan yang dipergunakan dengan akibat-akibat yang merusak (Amstrong, 2022).

Salah satu bentuk religiusitas yang paling keras muncul sejak 1970-an yang kerap disebut “fundamentalisme” dalam agama-agama terbesar di dunia. Sikap spiritualitas yang seperti ini cenderung harfiah, intoleran, dan reduktif terhadap ajaran-ajaran agama yang seharusnya penuh dengan cinta kasih. Bentuk spiritualitas ini pun merupakan gerak yang justru menjauhkan penganutnya dari Yang Mutlak.

Istilah fundamentalisme pada awalnya digunakan oleh umat Kristen sebagai representasi dari gerakan reformis. Istilah ini kemudian muncul dan digunakan kembali pada paruh abad ke-20 sebagai bagian dari gerakan inovatif. Fundamentalisme dapat dilihat sebagai bagian dari penolakan pascamodern terhadap modernitas yang pada mulanya merupakan gerakan defensif akibat ketakutan yang mendalam akan peniadaan. Hal ini yang kemudian menyebabkan mereka mengembangkan visi paranoid tentang “musuh” (Amstrong, 2011, p. 468).

Akar dari masalah fundamentalisme pada masing-masing agama cukup beragam. Fundamentalisme Protestan, misalnya, digerakkan oleh pertentangan antara pertanyaan-pertanyaan teologis dengan penemuan-penemuan ilmiah terbaru.

Dalam Yudaisme, fundamentalisme Yahudi terinspirasi oleh terbentuknya negara Israel yang membuat umat Yahudi amat bersemangat mendukung dan menganggap para tentara, lembaga politik, dan berhubungan dengan Tanah Suci sebagai sesuatu yang sakral.

Dalam Islam, Al-Qur’an menegaskan bahwa tugas utama umat muslim adalah menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Sehingga ketika mereka melihat suatu bentuk eksploitasi oleh penguasa yang korup atau fenomena-fenomena yang menunjukkan adanya ketidakadilan, mereka bisa secara religius tersinggung—sebagaimana umat Protestan tersinggung akibat kitab suci diludahi. Masalah lain yang juga dikhawatirkan kelompok fundamentalisme muslim adalah lahirnya gerakan-gerakan sekulerisasi dan westernisasai dari Barat. Sebagian menganggapnya sebagai ancaman seperti halnya Darwinisme bagi fundamentalisme Protestan.

Sekulerisasi sendiri merujuk pada semua hal, urusan, kebijakan, dan tindakan yang diambil dan dilaksanakan tanpa mengaitkannya dengan elemen-elemen keagamaan. Sementara westernisasi adalah proses pem-Barat-an; suatu proses yang di dalamya cara hidup dan nilai-nilai budaya Barat ditumbuhkan, diterapkan, dan dikembangkan dalam kehidupan masyarakat/bangsa (Ismail, 2018). Keduanya memiliki hubungan yang saling berkaitan yang dengan frontal ditentang oleh kaum fundamentalisme Islam karena dikhawatirkan akan mengancam esensi dari agama.

Ancaman-ancaman yang dihadapi fundamentalisme membuatnya bersikap defensif dan tidak mau menerima setiap perbedaan sudut pandang. Mereka menjadi tidak toleran dan selalu berupaya untuk menghalau setiap perspektif yang bertentangan dengan keyakinan mereka.

Fundamentalisme Kristen mengambil sikap keras dan tegas terhadap paham-paham evolusi Darwinisme. Mereka menentang pengajaran di sekolah-sekolah umum, menolak demokrasi, dan melihat feminism sebagai monster jahat zaman ini. Modernitas dalam pandangannya merupakan sumber dari segala macam bentuk kejahatan, seperti evolusi dan aborsi.

Pada tahapan yang lebih ekstrem, sebagian dari mereka bahkan berani membunuh dokter dan perawat yang bekerja di klinik aborsi. Tindakan mereka tak lain dan tak bukan merupakan ekspresi dari keyakinan doktrinal atas kitab suci, bahwa setiap kata dari Alkitab benar secara harfiah. Ekspresi ini merupakan sebuah sikap yang berbeda dari tradisi arus utama Kristen.

Keyakinan lain dari tradisi fundamentalisme bahwa musuh-musuh Allah harus dicela dan ditentang. Dalam keyakinannya, satu-satunya iman yang benar adalah tradisi mereka. Sebagian fundamentalisme Kristen memandang orang Yahudi dan Muslim tidak memiliki tempat yang layak selain di neraka; sebagian yang lain melihat ajaran-ajaran Buddha, Hindhu, dan Taoisme diilhami oleh iblis.

Fundamentalisme muslim dengan cara yang lain telah menentang dan menggulingkan demokrasi dan pemerintahan. Sebagian dari mereka bahkan memilih jalan ekstrimis melalui kejahatan terorisme. Fundamentalisme Yahudi pun demikian; mereka membangun tenda-tenda illegal di perbatasan jalur Gaza dengan tujuan mengusir penduduk Arab. Tindakan tersebut didasari pada keyakinan mereka bahwa Israel merupakan Tanah Suci tempat Mesias akan turun.

Dalam segala bentuknya, fundamentalisme merupakan manifestasi iman yang sangat reduktif. Akibat kecemasan dan kekhawatiran akan ancaman dari pihak luar, mereka justru mendistorsi tradisi-tradisi yang coba mereka bela. Kelompok fundamentalis cenderung selektif dan subjektif dalam membaca kitab suci.

Mereka mengutip ayat-ayat sesuai dengan kepentingan dan mengabaikan ayat-ayat lain yang menganjurkan pluralisme dan perdamaian. Dengan memakai ayat-ayat tersebut mereka yakin dan optimis bahwa tindakan yang dilakukan merupakan satu bentuk pembelaan terhadap agama Tuhan. Tetapi yang sebenarnya terjadi adalah jenis religiusitas semacam ini mewakili kemunduran dari Tuhan (Amstrong, 2011, p. 471).

Alih-alih merupakan iman yang tipikal, fundamentalisme adalah penyimpangan. Penolakannya terhadap sekularisasi, westernisasi, dan modernitas Barat kerap kali menjadi akar dari berbagai konflik keagamaan di ranah global. Hal ini disebabkan karena adanya pemahaman dan keyakinan yang mendasari ajaran agamanya yang dianggap paling benar (normatif-ideologis).

Untuk mewujudkan cita-cita keyakinan tersebut serta menolak segala bentuk penyelewengan dan ancaman terhadap eksistensi ajaran, mereka tidak jarang menempuh jalan kekerasan dan pemberontakan hingga terjadi pertumpahan darah. Keyakinan ini berlaku untuk seluruh sekte agama baik Islam (Syiah-Sunni), Yahudi, ataupun Kristen. Beberapa kasus perihal fundamentalisme agama dapat dilihat pada misalnya konflik antar kelompok Hisbullah dan Amal di Libanon, Syi’ah Iran dan Sunni Saudi Arabia, Hindhu dan Budha di Srilanka, serta Yahudi dan Kristen di Israel.

Di dalam negara agamis seperti Iran, Afghanistan, Srilanka, Libanon, Yaman, Suriah, Israel, dan Arab Saudi, gerakan tersebut biasanya bersifat revolusioner dalam upaya untuk menolak hegemoni asing. Sebaliknya, di negara-negara sekuler seperti Eropa dan Amerika, gerakan ini bertujuan untuk mengubah kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa bertentangan. (Zainuddin, 2015). Pada intinya, fundamentalisme merupakan sikap perlawanan terhadap segala bentuk gagasan yang mengancam agama melalui tindakan-tindakan yang cenderung ekstrem.

Fundamentalisme sejatinya telah keluar dari koridor ajaran-ajaran agama. Tugas agama seperti halnya seni adalah untuk membantu hidup manusia secara kreatif, damai, dan bahkan gembira dengan kenyataan-kenyataan yang tidak mudah dijelaskan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah diselesaikan seperti kematian, keputusasaan, dan ketidakadilan. Agama berada pada ranah iman bukan rasional, sehingga agama tidak seharusnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berada dalam jangkauan akal manusia (Amstrong, 2011, p. 505).

Agama adalah disiplin amaliah yang berasal dari latihan spiritual yang panjang dan gaya hidup yang bermoral. Agama bukanlah hal yang mudah. Ia harus terus diasah melalui ritus-ritus keagamaan, liturgi, dan doa-doa keseharian. Agama mendorong pemeluknya untuk mengambil sumber kebenaran yang berbeda, yang dengannya manusia dapat mencapai ekstasis dan keluar dari dirinya sendiri. Agama adalah sumber ketakjuban, kekaguman, dan kepuasan.

Kekonsistenan agama dalam mengajarkan sikap-sikap tersebut setidaknya menjadi bukti bahwa agama telah melekat dalam kondisi manusia mengalami dunia. Agama hadir sebagai manifestasi dari pencarian manusia atas Tuhan yang transenden. Pluralitas agama itu hanya terletak pada aspek eksoterik di mana masing-masing agama dan keyakinan memiliki bentuk ritual dan konsepsi Tuhan yang berbeda-beda.

Namun, pada aspek esoterik, semua sistem iman pada intinya telah berupaya keras menunjukkan bahwa yang Ultima tidak dapat diungkapkan secara memadai dalam suatu sistem teoritis karena terletak di luar jangkauan kata-kata. Jika hal ini dipahami dan diyakini masing-masing agama tentunya akan hidup damai berdampingan dengan tidak merasa dirinya sebagai satu-satunya yang “benar” dan yang lain “salah”. Pada intinya, semua agama memiliki aspek esoterik yang sama, yakni kepercayaan terhadap Tuhan yang transenden.

Referensi:

Amstrong, K. (2011). Masa Depan Tuhan. Bandung: Mizan Pustaka.

Amstrong, K. (2022). Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan Pustaka.

Cambridge Dictionary of English. (1995). Cambridge: Cambridge University Press.

Connoly, P. (2002). Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: IRCiSoD.

Ismail, F. (2018). Studi Agama Kontemporer. Yogyakarta: IRCiSoD.

Lutfitriani, I. D. (2021). Strategi Persaingan Penyebaran Ideologi Islam antara Sunni (Arab Saudi) dan Syiah (Iran) pada Konflik Yaman. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Zainuddin, H. (2015). "Agama dan Kekerasan (Membongkar Wacana Fundamentalisme Agama)" dalam Gema UIN Malang.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Syamsul Ma'arif

Seorang santri sekaligus mahasiswa jurusan filsafat Universitas Gadjah Mada. Memiliki minat dalam bidang filsafat religi dan budaya, tetapi juga suka membaca buku-buku sastra