Memahami Ekonomi Politik Industri Media Massa dalam Arus Digitalisasi

slider
09 Desember 2023
|
2060

Judul: Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital | Penulis: Ross Tapsell | Penerjemah: Wisnu Prasetya Utomo | Penerbit: Marjin Kiri, Cet III, 2021 | Tebal: viii + 298 halaman | ISBN: 978-979-1260-81-7

Media massa merupakan sarana penting untuk menyandarkan informasi, pengetahuan, dan perumpamaan di dalam masyarakat kapitalis masa kini (Strinati, 2020: 169). Kehadiran media massa telah menjadi ruang kontestasi baru antara pemilik media, kekuasaan, dan warga negara.

Di sisi lain, digitalisasi yang semakin massif di abad ke-21 ini telah memungkinkan perusahaan-perusahaan media yang kaya dan kuat untuk memperluas jangkauannya. Hal ini kemudian berimplikasi pada meningkatnya konglomerasi yang membuat landskap media semakin oligopolistik.

Digitalisasi telah memberi ruang bagi media-media besar menjadi semakin besar, membuat industri media semakin terkonsentrasi, dan menjadi ruang penting bagi para elite menggunakan kekuasaannya.

Ross Tapsell melalui buku ini yang terbit kali pertama di Inggris dengan judul Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution cukup berani dalam memaparkan bagaimana bisnis media memiliki pengaruh yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan politik di Indonesia.

Melalui buku ini, dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik, Tapsell secara sistematis memaparkan temuannya terkait iklim industri media massa di Indonesia dengan berbagai dinamika internalnya dalam pusaran arus digitalisasi.

Perspektif ekonomi politik yang dimaksud di sini yakni organisasi media sebagai lembaga yang menjadi perantara struktur ekonomi dimana apa yang mereka kerjakan amat dibatasi oleh kebutuhan untuk menghasilkan dan menyebarkan ideologi kelas penguasa.

Setiap mendiskusikan topik tentang kekuasaan dan pengaruh pemilik media, tidak jarang pemilik media menggunakan pengaruhnya secara dominan di negara dengan sistem demokrasi elektoral untuk secara eksplisit mengampanyekan seorang kandidat.

Kehadiran buku ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa pemimpin-pemimpin media di Indonesia turut menjadi pemain politik yang kian kuat, dan berkontribusi pada liputan berita dan informasi yang jauh lebih partisan (hlm. 11).

Industri Media dan Kekuasaan

Kehadiran buku yang berdasarkan hasil riset ini hendak menunjukkan bagaimana para pemilik media di Indonesia semakin bertambah kaya dan mempertahankan pangsa pasar yang lebih besar, dan berimplikasi pada posisi mereka yang menjadi semakin kuat secara politik.

Dikatakan oleh Tapsell, bahwa di mana pun ada demokrasi multi partai, pemilik media akan membentuk partai politik, dan politisi akan turut serta membangun perusahaan media dengan tujuan memperbesar modal politik mereka.

Salah satu temuan Tapsell dalam riset ini, yakni regulasi di Indonesia mengenai kepemilikan media masih sangat lemah atau bahkan tidak ditegakkan. Akibatnya, pemilik media dapat dengan mudah bersiasat yang membuat mereka bukan lagi sekadar pemilik surat kabar atau stasiun televisi, tetapi telah menangani konglomerat multiplatform yang besar (hlm. 13).

Pada bab kedua dan ketiga buku ini, Tapsell banyak menyinggung tentang industri media massa dan hubungannya dengan kekuasaan di Indonesia. Sulit dipungkiri bahwa beberapa ketua umum partai di Indonesia merupakan seorang konglomerat dengan jejaring bisnis yang tersebar di berbagai bidang, salah satunya yakni bisnis media.

Adanya korelasi antara pimpinan partai politik dengan bisnis media tertentu pada akhirnya membuat media tersebut dalam berbagai pemberitaannya cenderung mem-framing suatu peristiwa agar sesuai dengan kepentingan partai dimana ia terafiliasi.

Ekosistem media di Indonesia yang semakin partisipan telah membuat para pemilik media menjadi semakin kaya dan kuat secara politik di era digital. Di saat yang bersamaan, konglomerasi media di Indonesia menjadi semakin bersifat kedinasan.

Hal ini dapat dilihat pada iklim sebuah perusahaan media yang menempatkan keluarga besar pemilik media dalam menduduki posisi-posisi penting perusahaan, seperti editor, manajer, atau kepala operator. Terlihat bahwa kepentingan politik keluarga kerap menjadi pertimbangan yang lebih kuat dalam penentuan posisi ini.

Dijelaskan pula secara rinci oleh Tapsell, bahwa kemuculan “Raja Media” dimulai pada periode pertama masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masa ini ditandai dengan naiknya dua penguasa perusahaan media: Aburizak Bakrie dan Surya Paloh.

Lebih dari siapa pun, kedua orang inilah yang paling menentukan arah liputan berita televisi di Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Pertarungan seru di antara keduanya sebagai tokoh politik yang saling bersaing, penentu agenda, dan “king maker” dengan segera menjadi ciri khas dari konsolidasi terhadap politik dan media di Indonesia (hlm. 129).

Munculnya Ragam Media Alternatif

Landaskap media yang semakin partisan dan terpolarisasi pada akhirnya membuat pemilihan umum menjadi kaleidoskop pemberitaan yang menguntungkan tokoh-tokoh tertentu serta perkembangan harian dan kegiatan rutin si pemilik media.

Namun, ditemukan fakta bahwa semakin bias dan berlebihan liputan politik suatu media, maka semakin kecil peluang perusahaan akan bisa stabil secara finansial. Sebab politisasi media ini justru membuat konsumen beralih ke media yang lebih independen.

Merespons industri dan bisnis media yang semakin menggurita, pasca Pemilu 2014, sejumlah inisiatif media digital bermekaran dan menjadi contoh lebih lanjut tentang pentingnya platform media digital dalam lanskap media dan politik di Indonesia (hlm. 219).

Kemunculan media-media alternatif berbasis digital ini menjadi sebuah media kontra oligarki dengan kemampuannya yang memungkinkan warga mengkritik secara langsung kebijakan-kebijakan pemerintah. Seturut dengan itu, berkembangnya jurnalisme warga di berbagai daerah juga telah memberikan harapan bagi potensi media partisipatif untuk memengaruhi individu politisi.

Perkembangan media-media digital telah membuat politisi-politisi di Indonesia memungkinkan untuk mendapatkan arahan dari para penasihatnya mengenai sentimen media sosial terkait isu-isu tertentu.

Sebagai justifikasi atas penelitian yang dilakukan oleh Tapsell, dalam buku ini turut dilengkapi dengan kutipan-kutipan wawancara yang dilakukan secara langsung kepada para pengusaha industri media, politisi, dan pelaku jurnalistik. Melalui kutipan wawancara ini pula kita dapat mengetahui bahwa saat ini media digital kian menjadi ruang kontestasi bagi segenap kepentingan yang terkadang saling bertabrakan antara korporasi media dengan warga.

Sebagai pendukung, buku yang merupakan hasil riset ini juga dilengkapi dengan berbagai infografik yang memudahkan pembaca dalam memahami proses transformasi lanskap media di Indonesia. Dimulai dari iklim perusahaan media konvensional hingga platform digital jurnalisme warga dipaparkan secara lengkap dalam buku ini.

Buku ini sukses memaparkan perkembangan media di Indonesia secara kronologis dari masa ke masa beserta beragam dinamika yang meliputinya. Bahasa akademik yang digunakan membuat hadirnya buku dapat menjadi referensi bagi siapa saja: mahasiswa, dosen, peneliti, ataupun masyarakat umum yang memiliki ketertarikan di bidang kajian media utamanya dalam lanskap ekonomi politik media digital di Indonesia. Tidak lupa pula kepada para pengamat media di Indonesia dapat menjadikan buku ini sebagai penutup ruang kosong dari kepustakaan yang ada mengenai lanskap media di Indonesia. 


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ammar Mahir Hilmi

Mahasiswa Magister Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM