Memahami Abjeksi dalam Filsafat Julia Kristeva
Julia Kristeva adalah seorang pemikir lintas disiplin yang memiliki pengaruh besar dalam dunia filsafat, linguistik, dan kritik sastra. Lahir pada 1941 di Sliven, Bulgaria, Kristeva menunjukkan minat awal dalam bahasa dan budaya, yang kemudian membawanya ke Prancis pada 1965 untuk melanjutkan studi di Paris.
Di Prancis, ia terhubung dengan para intelektual terkemuka seperti Roland Barthes dan Philippe Sollers, yang membuka jalan baginya untuk menjadi salah satu pemikir paling signifikan dalam teori feminis dan psikoanalisis kontemporer. Kristeva memulai karier akademiknya dengan fokus pada linguistik, khususnya strukturalisme, tetapi segera meluaskan minatnya ke bidang psikoanalisis dan filsafat.
Karyanya sering kali mencerminkan perpaduan dari berbagai disiplin ilmu, menciptakan pendekatan baru yang menantang pemikiran tradisional. Seperti terlihat dalam upayanya untuk memahami bagaimana bahasa dan budaya membentuk identitas dan subjektivitas manusia, yang merupakan tema utama dalam karya-karya Kristeva.
Dalam karyanya, Kristeva tidak hanya mengeksplorasi teori-teori yang telah ada, tetapi juga mengembangkan konsep-konsep baru seperti “abjeksi” yang menjadi salah satu kontribusi utamanya dalam dunia filsafat.
Dengan latar belakang yang kaya akan pengalaman lintas budaya dan lintas disiplin, Kristeva mampu menawarkan perspektif yang unik terhadap isu-isu yang kompleks, termasuk tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan batas-batas identitasnya.
Buku karya Kristeva seperti Revolution in Poetic Language (1974) dan Desire in Language (1980), mencerminkan pemahaman mendalam Kristeva tentang hubungan antara bahasa, budaya, dan subjektivitas, yang kemudian menjadi landasan bagi teori abjeksi.
Konsep Abjeksi dalam Filsafat
Salah satu konsep paling terkenal yang diperkenalkan oleh Kristeva adalah “abjeksi,” yang kali pertama diuraikan secara mendalam dalam buku Powers of Horror: An Essay on Abjection (1980).
Abjeksi merujuk pada pengalaman menjijikkan atau terlarang yang mengancam batas-batas identitas individu. Dalam filsafat Kristeva, abjeksi tidak hanya berhubungan dengan rasa jijik yang kita alami terhadap benda-benda tertentu, tetapi juga mencerminkan cara kita menjaga identitas dan keteraturan dalam hidup kita.
Kristeva menggambarkan abjeksi sebagai sesuatu yang berada di ambang antara objek dan subjek—sesuatu yang kita tolak namun tetap tidak dapat sepenuhnya kita abaikan. Contoh konkret dari abjeksi bisa berupa limbah tubuh seperti darah atau kotoran, yang dulu merupakan bagian dari tubuh kita tetapi sekarang dianggap menjijikkan dan harus dibuang. Proses membuang limbah ini adalah bentuk abjeksi, di mana kita mencoba mempertahankan batas-batas diri kita dengan menyingkirkan apa yang dianggap sebagai ancaman.
Dalam konteks yang lebih luas, abjeksi juga dapat dilihat sebagai mekanisme sosial yang berfungsi untuk menjaga norma-norma dan struktur kekuasaan yang ada. Misalnya, masyarakat sering kali mengabjeksi kelompok-kelompok tertentu, seperti imigran atau minoritas, untuk menjaga stabilitas dan identitas kolektif.
Melalui konsep abjeksi, Kristeva menantang pemikiran tradisional tentang identitas dan subjektivitas. Ia menunjukkan bahwa identitas tidak terbentuk melalui proses internal yang stabil, tetapi melalui interaksi yang kompleks dengan dunia luar, di mana abjeksi memainkan peran kunci. Dalam hal ini, abjeksi bukan hanya fenomena psikologis, tetapi juga sebuah cara untuk memahami bagaimana manusia berinteraksi dengan dunia dan menjaga keteraturan dalam hidupnya.
Pemahaman Filosofis tentang Subjek dan Identitas
Pemahaman Julia Kristeva tentang subjek dan identitas berakar pada keyakinan bahwa identitas manusia tidak pernah sepenuhnya stabil atau tertutup. Sebaliknya, identitas selalu berada dalam kondisi menjadi (becoming) yang terus-menerus, di mana subjek berusaha untuk membedakan dirinya dari dunia luar.
Proses ini, menurut Kristeva, sangat terkait dengan abjeksi, yang menciptakan batas antara diri dan yang lain, antara yang dikenal dan yang asing. Dalam karya-karyanya, Kristeva menggambarkan subjek sebagai entitas yang selalu dalam keadaan perpecahan internal, di mana ia terus-menerus menghadapi ancaman terhadap identitasnya.
Subjek berusaha untuk menghindari penggabungan dengan apa yang dianggap sebagai abjek, yang bisa merusak atau menghancurkan identitasnya. Abjeksi, dalam hal ini, adalah mekanisme yang digunakan subjek untuk menjaga jarak dari ancaman-ancaman ini, meskipun proses ini tidak pernah sepenuhnya berhasil.
Kristeva juga menunjukkan bahwa subjek tidak pernah sepenuhnya otonom atau independen, tetapi selalu terikat oleh dunia luar, terutama melalui bahasa dan budaya. Bahasa, sebagai medium utama komunikasi dan ekspresi, memainkan peran penting dalam pembentukan identitas subjek. Namun, bahasa juga memiliki keterbatasan, yang menciptakan ketegangan antara apa yang dapat dikatakan dan apa yang tidak dapat diungkapkan.
Ketegangan ini mencerminkan ketidakmampuan subjek untuk sepenuhnya menguasai atau memahami dirinya sendiri. Dengan demikian, identitas dan subjektivitas, dalam pandangan Kristeva, selalu berada dalam kondisi yang rapuh dan rentan. Abjeksi bukan hanya proses eksternal, tetapi juga proses internal yang terus-menerus berlangsung di dalam diri subjek.
Abjeksi dalam Psikoanalisis dan Teori Lacan
Kristeva banyak dipengaruhi oleh teori psikoanalisis, terutama dari Sigmund Freud dan Jacques Lacan. Salah satu elemen kunci dalam teori Lacan adalah konsep “the Other” (l’Autre), yang mewakili apa yang asing dan di luar diri subjek.
Kristeva mengadopsi konsep ini dan mengembangkannya lebih lanjut dalam teorinya tentang abjeksi, di mana ia menekankan bahwa abjeksi adalah momen krusial di mana subjek merasa terancam oleh penggabungan kembali dengan the Other, terutama yang diwakili oleh sosok ibu.
Dalam teori Lacan, subjek terbentuk melalui proses pemisahan dari the Other, yang sering kali diidentifikasi dengan figur ibu. Namun, Kristeva berpendapat bahwa abjeksi adalah mekanisme yang lebih dalam dan lebih fundamental daripada sekadar pemisahan.
Abjeksi adalah cara di mana subjek menjaga jarak dari the Other, tetapi dengan kesadaran bahwa pemisahan ini tidak pernah sepenuhnya berhasil. Ini menciptakan ketegangan terus-menerus antara keinginan untuk kembali ke keadaan awal (ketergantungan pada ibu) dan kebutuhan untuk mempertahankan identitas individu.
Kristeva juga menunjukkan bahwa abjeksi bukan hanya reaksi terhadap ancaman eksternal, tetapi juga merupakan bagian dari dinamika internal subjek. Subjek, dalam usahanya untuk menjaga identitasnya, terus-menerus mengalami ketakutan terhadap penggabungan kembali dengan the Other, yang diwakili oleh hal-hal yang dianggap menjijikkan atau terlarang.
Dalam analisisnya, Kristeva menggambarkan abjeksi sebagai proses psikoanalitik yang mendalam, di mana subjek terus-menerus berusaha untuk menjaga identitasnya melalui penolakan terhadap the Other. Namun, proses ini tidak pernah sepenuhnya berhasil, karena the Other selalu ada sebagai ancaman yang terus-menerus, menciptakan kondisi di mana identitas subjek selalu dalam keadaan ketidakpastian dan ketegangan.
Pembacaan Ulang Tubuh Perempuan
Kristeva juga dikenal atas kontribusinya dalam teori feminis, di mana ia mengeksplorasi bagaimana abjeksi berperan dalam pembentukan identitas perempuan.
Dalam pandangan Kristeva, tubuh perempuan sering kali dijadikan sebagai objek abjeksi dalam budaya patriarkal, di mana tubuh perempuan dilihat sebagai sesuatu yang harus dikendalikan atau bahkan ditolak untuk menjaga identitas dan keteraturan sosial. Ini terlihat dalam bagaimana menstruasi, kehamilan, dan proses reproduksi lainnya sering kali dianggap sebagai sesuatu yang menjijikkan atau terlarang.
Kristeva menunjukkan bahwa dalam budaya patriarkal, perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi abjeksi, di mana tubuh mereka dianggap sebagai ancaman terhadap keteraturan sosial. Misalnya, menstruasi, yang merupakan proses biologis alami, sering kali dihubungkan dengan rasa jijik dan dianggap sebagai sesuatu yang harus disembunyikan atau dihindari.
Namun, Kristeva juga berpendapat bahwa abjeksi dapat digunakan sebagai alat untuk menantang norma-norma gender yang ada. Dengan mengeksplorasi pengalaman abjeksi, perempuan dapat mengekspresikan ketegangan dan ambiguitas yang ada dalam identitas mereka, serta menantang cara-cara di mana tubuh mereka dikontrol dan diatur oleh masyarakat.
Dalam konteks feminisme, abjeksi dapat dilihat sebagai cara untuk memahami bagaimana identitas perempuan dibentuk dan dipertahankan dalam budaya patriarkal. Dengan mengeksplorasi abjeksi, Kristeva membuka ruang bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara gender, tubuh, dan kekuasaan, serta memberikan alat baru bagi feminis untuk menantang dan meredefinisi identitas dan norma-norma sosial.
Abjeksi dan Politik Identitas
Abjeksi juga memiliki relevansi dalam diskusi tentang politik identitas, di mana konsep ini dapat digunakan untuk memahami bagaimana identitas kelompok-kelompok tertentu diatur dan dipertahankan dalam masyarakat.
Kristeva menunjukkan bahwa abjeksi sering kali digunakan sebagai mekanisme untuk mengeksklusi atau menyingkirkan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman terhadap identitas kolektif. Pada konteks ini, abjeksi berfungsi sebagai alat untuk menjaga batas-batas sosial dan politik, di mana kelompok-kelompok tertentu diidentifikasi sebagai “yang lain” dan dijadikan sasaran penolakan atau pengabaian.
Kristeva menunjukkan bahwa abjeksi bukan hanya reaksi individu terhadap pengalaman yang menjijikkan, tetapi juga merupakan proses sosial yang digunakan untuk mengatur hubungan kekuasaan dan identitas dalam masyarakat.
Sebagai contoh, kelompok-kelompok minoritas sering kali dijadikan sebagai objek abjeksi, di mana mereka diperlakukan sebagai ancaman terhadap keteraturan sosial dan dijauhkan dari ruang-ruang publik. Ini mencerminkan bagaimana abjeksi berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan hierarki sosial dan menjaga identitas kelompok dominan.
Namun, Kristeva juga berpendapat bahwa abjeksi dapat digunakan sebagai alat resistensi dalam politik identitas. Dengan mengeksplorasi pengalaman abjeksi, kelompok-kelompok yang terpinggirkan dapat mengekspresikan ketegangan dan ambiguitas yang ada dalam identitas mereka, serta menantang cara-cara di mana mereka diatur dan dikontrol oleh masyarakat. Maka abjeksi juga memiliki potensi untuk menjadi alat untuk mengungkapkan dan menantang struktur kekuasaan yang ada.
Melalui politik identitas, abjeksi dapat dilihat sebagai cara untuk memahami bagaimana identitas kelompok-kelompok tertentu dibentuk dan dipertahankan dalam masyarakat.
Dengan mengeksplorasi abjeksi, Kristeva membuka ruang bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara identitas, kekuasaan, dan eksklusi, serta memberikan alat baru bagi aktivis dan intelektual untuk menantang dan meredefinisi batas-batas identitas dan norma-norma sosial.
Kritik dan Respons terhadap Teori Abjeksi Kristen
Meskipun teori abjeksi Kristeva telah mendapatkan pengakuan luas, konsep ini juga telah menjadi subjek kritik dan debat dalam dunia akademis.
Beberapa kritikus berpendapat bahwa abjeksi terlalu fokus pada pengalaman individual dan psikologis, dan kurang mempertimbangkan aspek-aspek sosial dan struktural dari identitas dan kekuasaan. Mereka berargumen bahwa dengan menekankan aspek-aspek psikologis dari abjeksi, Kristeva mungkin mengabaikan bagaimana abjeksi diatur oleh kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang lebih luas.
Kritik lainnya datang dari perspektif feminis yang berpendapat bahwa teori abjeksi Kristeva, meskipun menawarkan pemahaman baru tentang identitas perempuan, masih bergantung pada konsep-konsep tradisional tentang gender dan tubuh.
Beberapa feminis berargumen bahwa abjeksi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Kristeva, mungkin memperkuat stereotipe tentang perempuan sebagai entitas yang menjijikkan atau terlarang, daripada menantang atau meredefinisi batas-batas gender.
Respons terhadap kritik-kritik ini menunjukkan bahwa teori abjeksi Kristeva masih memiliki relevansi yang signifikan dalam memahami pengalaman manusia dan hubungan antara identitas, tubuh, dan kekuasaan.
Beberapa akademisi berpendapat bahwa abjeksi dapat dilihat sebagai alat yang fleksibel dan dinamis untuk memahami bagaimana identitas dibentuk dan dipertahankan dalam berbagai konteks sosial dan budaya. Dengan mengadopsi pendekatan interdisipliner, abjeksi dapat digunakan untuk mengeksplorasi isu-isu yang lebih luas tentang identitas dan subjektivitas.
Untuk menghadapi kritik-kritik ini, teori abjeksi Kristeva terus berkembang dan diadaptasi dalam berbagai bidang studi, termasuk psikologi, sastra, dan teori budaya. Meskipun abjeksi mungkin memiliki keterbatasan, konsep ini tetap menjadi alat penting untuk memahami kompleksitas identitas manusia dan hubungan antara tubuh, kekuasaan, dan budaya.
Filsafat abjeksi bukan hanya sebuah konsep teoretis, tetapi juga merupakan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi dan menantang batas-batas identitas dan norma-norma sosial dalam dunia yang terus berubah.
Category : filsafat
SHARE THIS POST