Masjid dan Tradisi Minum Teh di Turkiye

slider
14 Februari 2023
|
1645

Turkiye setidaknya memiliki lebih dari 80.000 Masjid yang tersebar di seluruh wilayah. Hal itu karena orang Turkiye mayoritas beragama Islam, bahkan hampir 99%. Tak hanya itu, setiap masjid di Turkiye memiliki ciri khas dan ceritanya masing-masing dari mulai keindahan, sejarah, dan kelengkapan fasilitasnya. Hampir setiap masjid di Turkiye terbuka bagi siapa pun yang ingin beribadah dan mengabadikan berbagai momen di dalamnya.

Apabila kita perhatikan secara seksama, sebagaian besar masjid di Turkiye, terutama yang berada di kota besar, hampir semuanya memiliki kedai teh di dalamnya. Kedai teh tersebut biasanya menyatu dengan bangunan masjid. Tak hanya itu, biasanya masjid juga menyediakan perpustakaan yang memuat berbagai macam buku dan arsip yang siap dibaca oleh para jamaah yang berkunjung.

Ada banyak bangsa yang memiliki kaitan erat dengan tradisi minum teh, salah satunya adalah Bangsa Turkiye. Karena itu, setidaknya 96% orang Turkiye minum satu cangkir teh setiap hari. Orang Turkiye menyesap teh dari gelas kecil yang unik berbentuk bunga tulip.

Karena itu, apabila kita berkunjung ke Turkiye, sudah dipastikan kita akan menemui kedai teh yang tersebar hampir di seluruh sudut kota. Teh ini tidak hanya dijual dalam bentuk siap minum saja, melainkan beberapa kedai juga menyediakannya dalam bentuk racikan atau kemasan yang bisa diolah sendiri di rumah.

Turkiye sendiri merupakan salah satu negara populer sebagai tujuan destinasi wisatawan di seluruh dunia. Hal itu karena Turkiye memiliki banyak tempat bersejarah, budaya, arsitektur bangunan yang menawan, dan makanan cukup lezat yang bisa dinikmati. Selain itu, Turkiye merupakan salah satu negara yang terletak di antara dua benua, yakni benua Asia dan benua Eropa.

Tak hanya itu, Turkiye juga dianggap sebagai salah satu daerah tertua yang dihuni oleh manusia. Hal itu karena, Turkiye memiliki topografi yang bervariasi dari mulai dataran rendah, dataran pantai yang sempit, dan beberapa pegunungan besar. Titik tertinggi Turkiye adalah Gunung Ararat yang menjadi tempat persinggahan bahtera Nabi Nuh, yang saat ini diabadikan sebagai situs bersejarah di dunia.

Lain halnya dengan Indonesia, di Turkiye urusan agama terpisah dengan urusan negara dan pemerintahan. Karena itu, beberapa hal terkait dengan keagamaan tidak bisa begitu saja diekspresikan di tempat umum. Lain halnya dengan di Indonesia, kita bisa mengadakan pengajian, istighosah, tahlil, dan bahkan sholat berjamaah di tempat umum seperti lapangan, atau bahkan di jalanan kampung-kampung.

Bangsa Turkiye saat ini tersebar di hampir seluruh wilayah bekas Kesultanan Utsmaniyah dan komunitas Turkiye yang tersebar di Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Bangsa Turkiye ini memiliki karakter yang hampir sama dengan Bangsa Indonesia, yakni suka gotong royong, ramah, dan terbuka bagi orang asing. Karena itu, Turkiye memiliki tingkat kriminalitas yang cukup rendah.

Meskipun hal-hal yang terkait dengan agama dipisahkan dengan kepentingan umum. Namun, semangat masyarakat Turkiye untuk menjalankan nilai-nilai agama itu tidak luntur begitu saja. Mereka bahkan mengimplementasikannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari seperti menjaga kebersihan, tidak boros, dan selalu menambah wawasan dengan membaca buku dan berdiskusi.

Hal itu dapat kita lihat dengan adanya perpustakaan yang dipenuhi oleh banyak pengunjung. Selain itu juga, di Turkiye kita akan mudah sekali menemui “Kitap Kahve” atau kedai kopi yang melebur bersama perpustakaan dan toko buku. Sementara itu, di masjid-masjid di Turkiye juga menyediakan ruang perpustakaan, ruang museum, dan bahkan kedai teh.

Ekosistem yang menarik ini tentu mendukung dalam hal ibadah, literasi, sejarah, dan interaksi sosial antar sesama manusia. Empat komponen yang saling terkait satu sama lain tersebut, menurut penulis cukup relevan dengan pembentukan karakter, identitas, dan pencarian jadi diri seseorang.

Ibadah sebagai suatu kewajiban akan menjadi menyenangkan apabila didukung lingkungan yang menarik pula. Misalnya, masjid yang nyaman dilengkapi dengan perpustakaan, museum, dan bahkan kedai teh. Dengan demikian, akan lebih mudah menarik generasi muda untuk aktif menghidupkan masjid.

Ketika berkunjung ke masjid-masjid Turkiye, kita bisa membayangkan apa yang dilakukan oleh ulama-ulama pada zaman dahulu di era kejayaan Turki Utsmani. Mereka seperti sengaja membentuk dan merawat ekosistem yang menarik di masjid-masjid. Hal itu tentu selaras dengan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat, yakni menjadikan masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, namun sebagai pusat peradaban.

Dalam hal ini, kualitas masjid tentu akan lebih dibutuhkan ketimbang kuantitas masjid yang semakin menjamur, namun minim aktivitas. Dalam artian, masjid hanya digunakan sebagai tempat ibadah, yang minim interaksi dengan lingkungan sosial.

Padahal, Rasulullah Saw, para sahabat, dan ulama-ulama pada zaman dahulu senantiasa berusaha menjadikan masjid sebagai pusat dari segala aktivitas masyarakat. Oleh karenanya, di era digital saat ini bukan tidak mungkin masjid beserta unsur-unsur yang ada di dalamnya juga ikut turut serta berkontribusi dalam aktivitas dakwah di era digital.

Memakmurkan Masjid

Nah, hal ini tentu selaras dengan apa yang sudah dilakukan oleh teman-teman Takmir Masjid Jendral Sudirman di Yogyakarta. Masjid yang berdiri sejak 1394 H ini kemudian menjelma menjadi suatu “punjer” dalam aktivitas ibadah/spiritual, keilmuan/intelektualitas, dan tradisi serta budaya.

Para takmir berpandangan bahwa, memakmurkan masjid berarti menjadikan masjid tidak hanya sekadar sebagai tempat peribadatan ritual, namun juga menjadi tempat kajian, diskusi, dan membudayakan literasi.

Slogan “Menuju Masjid Membudayakan Sujud” ini tentu tidak sekadar dibuat untuk indah-indahan dan gagah-gagahan belaka. Melainkan ada makna dan nilai yang cukup dalam dari slogan tersebut.

Setidaknya kata “sujud” dapat kita maknai dalam dua konteks, yakni sujud ritual dan sujud sosial. Sujud ritual secara sederhana dapat kita maknai sebagai penundukan diri secara total dengan meletakkan wajah ke tanah secara khusyuk dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.

Sedangkan sujud sosial dapat kita maknai sebagai sujud dalam rangka menghormati dan mengakui hak-hak orang lain. Dalam artian, sebagai seorang muslim kita sudah selayaknya tidak merasa sombong, gengsi, hebat, dan merasa paling benar.

Kembali pada soal masjid dan tradisi minum teh di Turkiye, aktivitas ini kemudian menjadikan masjid tidak hanya sebagai tempat sujud ritual saja, melainkan juga sebagai tempat sujud sosial. Yakni, dengan menjadikan masjid nyaman, bersih, ramah anak, menyediakan kebutuhan sosial, dan lain sebagainya.

Sehingga kemudian, banyak orang berbondong-bondong ke masjid tidak hanya sekedar beribadah ritual, namun juga sebagai bentuk ibadah sosial. Bayangkan ketika sebelum dan sesudah shalat fardhu kita nyeruput teh atau kopi sambil berdiskusi di masjid, bukankah itu nikmat yang hakiki?

Dengan membudayakan sujud ritual dan sujud sosial di masjid, insya Allah generasi kita tidak akan mudah di adu domba. Sebab, mereka sibuk dengan ibadah, kajian, dan berdiskusi sambil menikmati teh atau kopi di masjid-masjid.

Barangkali tidak keberatan bila Takmir Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, bisa mulai mengintegrasikan konsep masjid, perpustakaan, toko buku, dan angkringan. Sehingga harapannya, generasi muda di Yogyakarta dan sekitarnya bisa nongkrong di angkringan masjid sambil ngobrol banyak hal menyangkut problem keumatan, keagamaan, keintelektualan, dan lain sebagainya di era digital.

Barangkali dari sanalah kemudian muncul intelektual-intelektual muda muslim yang cerdas, berani, dan tidak apatis dengan lingkungan sosial.

 

NB: Doa untuk masyarakat Turkiye dan Suriah yang mengalami musibah gempa bumi pada Senin 6 Februari 2023. Al-Fatihah.


Category : kebudayaan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

A. Fikri Amiruddin Ihsani

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Gusdurian Surabaya