Luruhnya Kesadaran Humanis dan Nalar Trasendental

slider
03 April 2020
|
1315

Tulisan ini berangkat dari kegelisahan penulis sekaligus sebagai ekspresi duka terkait musibah yang masih menimpa banyak negara, termasuk Indonesia. Sudah tidak asing lagi kita dengar ganasnya corona sebagai virus yang luar biasa bahkan penyebaranya yang sangat cepat. Tulisan ini akan memfokuskan pada aspek kesadaran humanis dan nalar trasendental, mengingat ada berbagai respons masyarakat yang berbeda-beda dengan dasar argumen yang berbeda pula. Tulisan ini bertujuan mengajak pembaca untuk melakukan refleksi kritis guna membangun kesadaran humanis dan nalar trasendental dalam menyikapi persoalan terkait corona virus.

Dunia sedang dalam keadaan duka yang mendalam karena banyaknya korban yang berjatuhan karena terjangkit corona virus. Banyak para tenaga medis yang menangani para pasien juga menjadi korban keganasan virus ini. Meskipun demikian faktanya, tidak menjadi masalah bagi penganut pandangan fatalistik yang memiliki argumen khas yang serat dengan ketuhanan. Menurut pandangan kalangan fatalistik, virus ini tidak dapat membunuh manusia karena yang berkuasa mematikan manusia hanya Pencipta. Jadi tidak ada yang perlu ditakuti dan beraktivitas seperti sediakala tanpa memedulikan ekses yang terjadi.

Dalam Islam, dijelaskan bahwa hanya Tuhan yang berkuasa untuk mematikan makhluknya, dan setiap yang mati sudah ditentukan dalam ketetapan dan kehendak Sang Pencipta. Pemahaman ini dapat ditemukan lewat pembelajaran yang fokus melalui nalar kritis yang juga disertai proses intensif dalam bimbingan guru yang ahli dalam bidangnya. Juga dianjurkan dalam Islam supaya bertanya kepada ahlinya yang memiliki kompetensi dalam menjawab setiap permasalahan dan persoalan. Islam mengajarkan untuk menyesuaikan kondisi sebagai bentuk keadilan, artinya Islam mengajarkan pemeluknya untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sehingga dapat diperoleh jawaban yang tepat, kedudukan yang pas dalam menghadapi berbagai permasalahan dan persoalan.

Lebih jelasnya, keadilan dalam hal ini ialah seperti mengajukan persoalan terkait tauhid kepada ahli tauhid, persoalan fikih kepada ahli fikih, persoalan yang lainnya juga demikian. Dengan demikian, bila diterapkan pada persoalan corona sebagai virus ganas dan berdampak pada kehidupan manusia, adilnya tanyakan kepada ahlinya yakni para pakar medis atau ahli kesehatan. Dari sini terdapat kesesuaian antara persoalan dan jawaban yang tentunya dapat diterima secara rasio dan menuntut untuk menemukan kebijaksanaan (keadilan).

Berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi kini yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, terkhusus manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan bekal (fitrah) akal sebagai alat berpikir dalam menjalani aktivitas sehari-hari, seharusnya menjadikan lebih sadar kondisi dalam menghadapi corona virus. Akal dalam diri manusia gunanya untuk menemukan sesuatu perkara dengan kebijaksanaan. Kita tentunya bisa belajar dari para filosof seperti Socrates, Plato, Aristoteles, bahwa fungsi akal untuk menuju pada kebahagiaan. Demikian juga disampaikan Jeremy Bentham, bahwa setiap manusia mayoritas ingin menuju pada kebahagiaan dan menjauhi penderitaan yang kental dengan kesengsaraan.

Berbeda dengan muridnya, yakni John Stuart Mill yang lebih mendalam dalam mengkaji, pemikiran humanis Mill termaktub dalam etika teleologisnya yang dapat dipahami bahwa kebahagian terletak pada banyaknya objek dan kebahagiaan dirinya. Lebih jelasnya, jika seseorang melakukan kebaikan untuk sedikit orang, hal itu bukan suatu kebahagiaan meskipun dicapai dengan cara baik, artinya kebaikan itu tentang berapa banyak orang yang dibahagiakan. Meskipun kebahagiaan itu dicapai dengan cara yang tidak baik, hal ini dapat digolongkan sebagai kebaikan jika dapat membahagiakan banyak orang.

Dalam konteks virus sebagai pendemik, sangat berdampak menyengsarakan banyak orang dan dapat menular kepada siapa pun. Dari sini sikap humanisme perlu dibangun dalam kesadaran kritis. Kita perlu mempertimbangkan banyak hal untuk membahagiakan banyak orang. Hal demikian bagi Mill merupakan wujud dari etika teleologis utilitarianisme yang memfokuskan pada kebahagiaan orang banyak sebagai tujuan kebahagiaan. Oleh karena itu, kesadaran humanis perlu dibangun melalui nalar kritis untuk mengurangi tingkat penderitaan dan meningkatkan kebahagiaan diri dan orang banyak.

Keganasan virus dan pernyebarannya yang mudah, kurang disadari oleh sebagian banyak orang. Banyak orang yang menganggap dirinya sehat, kemudian ‘ngeyel’ diberikan masukan, acuh pada anjuran, dan berimbas pada sikap terserah diri sendiri yang seolah tidak akan terkena virus dan melakukan kegiatan seperti biasanya. Lebih parah lagi sampai meninggikan ego, berhak untuk menentukan diri sendiri dan mau bertindak sesuka hati. Alhasil penularan terjadi, dan korban terus bertambah. Orang-orang semacam ini tidak menyadari seandainya dirinya terjangkit, yang kemungkinan besar akan terkena ke banyak orang, termasuk keluarganya, dan ketika sudah banyak orang yang terjangkit perlu dirawat dan diawasi. Dengan bertambah banyaknya orang yang terkena virus, menambah banyak tugas para medis, juru rawat, dan dokter yang menangani, dan semakin sedikit waktu mereka untuk istirahat. Kesehatan tubuh mereka pun berkurang, bahkan sampai meninggal karena kurangnya istirahat serta kontak dengan pasien positif.

Luruhnya kesadaran sebagai makhluk yang lemah dan dapat menyengsarakan siapa saja boleh jadi telah mendaging dalam pikiran kalangan fatalistik. Menurut Mill, mereka ini layak untuk disingkirkan karena hanya akan menjadi sebab ketidakbahagiaan orang banyak. Bagi Mill, melakukan satu hal yang tidak baik untuk kebaikan orang banyak dan diri merupakan bentuk kebahagiaan didasarkan pada konsep etikanya yang fokus pada tujuan kebahagiaan orang banyak (utilitarianisme) meskipun di dalamnya terdapat cara-cara ‘picik’.

Korban juga akan terus bertambah apabila masih banyak orang yang berpandangan fatalistik, dan sama sekali tidak menghiraukan himbauan dengan dasar bahwa tidak boleh takut kepada selain Pencipta. Dalam Islam diajarkan untuk adil atau mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, artinya sebagai individu yang bertuhan berupaya menyelamatkan jiwa dan raganya dari berbagai penyakit. Dalam ajaran Islam sendiri menganjurkan untuk menjaga kesehatan lahir maupun batin. Jalannya dengan menerapkan hidup sehat, meskipun tidak dimungkiri sakit itu merupakan ketetapan dan kuasa Allah, namun manusia memiliki peluang untuk berusaha sehat dan menjaga kesehatannya.

Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk tidak menyengsarakan orang lain. Apabila seseorang sudah terkena virus kemudian ia meremehkannya, orang tersebut menjadi awal datangnya sengsara bagi orang lain. Perihal sakit maupun tertular merupakan sebagai takdir yang sudah ditentukan, namun manusia lebih dahulu harus berusaha untuk tidak sakit. Seperti ketika api didekatkan pada kertas, kertas itu akan terbakar, dan yang menjadikan terbakar itu takdir Pencipta. Tetapi bisa jadi kertas tidak menjadi terbakar sebab usaha kita memadamkan api atau menyingkirkan kertas. Jika dipahami, usaha manusia untuk mendekatkan api itu pada kertas sehingga kertas itu terbakar, begitupun virus yang ganas dan mudah tersebar, perlu dihindari dan benar-benar diperhatikan anjuran sebagai usaha manusia yang berakal untuk tidak menyengsarakan orang lain.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Khusnun Niam

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta