Literasi di Kota Ketiga
Geliat literasi menjadi problem yang hanya diperhatikan oleh segelintir kalangan, kelompok, orang. Bahkan pemerintah pun kadang alpa untuk melihat sudah sejauh mana literasi bergerak di daerah-daerah, apalagi yang jauh dari akses. Padahal jelas, literasi menjadi bagian dalam rangka mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Pembangunan taman baca, lingkaran diskusi, koleksi buku di perpustakaan, dan festival bazar buku menjadi serentetan aktivitas yang dijalankan dengan ngos-ngosan oleh segelintir kalangan, komunitas, orang.
Seperti cerita yang datang dari salah satu teman saya di malam itu. Ia datang dari Kota Reog, Ponorogo. Kota yang menyimpan salah satu warisan budaya yang dielu-elukan di negeri ini. Meskipun tepuk tangan dan apresiasi dari pemerintah hanya didapat dengan kadang-kadang.
Ia datang malam itu dengan wajah yang segera ingin mendapatkan jawaban. Beberapa persoalan disodorkan dan kami obrolkan. Ada banyak bahan, kami meloncat dari satu topik ke topik yang lain. Tidak menentu. Namun saya terbatas untuk menggurat semua obrolan pada malam itu. Saya hanya tertarik soal jerih payahnya nguri-nguri literasi yang ada di daerahnya.
Ia mengawali ceritanya dengan nada inferior. Ia mengatakan bahwa geliat literasi di daerahnya tidak sesemarak seperti kota-kota besar di negeri ini. Sebut saja di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Solo, Malang, dan Surabaya. Kota-kota yang memang menjadi tujuan banyak orang untuk beradu nasib, termasuk soal literasi. Kota-kota yang dituduh sebagai gembong lahirnya penulis-penulis tersohor di negeri ini.
Meski begitu, ia masih punya senyum jika membandingkan literasi di daerahnya dengan daerah sekitar. “Literasi di kota ketiga”, katanya menamai. Nama yang mungkin dicomot dan diduplikat dengan sedikit edit dari dunia ketiga, mungkin begitu.
Ia melanjutkan dengan menuturkan problem lumrah dalam dunia literasi. Kalau saya tidak salah tangkap, ada dua hal yang ia garis bawahi. Pertama, soal daya beli buku. Ia menyayangkan banyak orang yang meremehkan buku. Baginya buku bisa menjadi semacam investasi di masa depan. Tidak hanya soal koleksi kertas dijilid berjejer rapi, tapi soal ilmu pengetahun dengan ideal pemikiran di dalamnya.
Soal harga buku yang dianggap oleh kebanyakan orang masih mahal, juga ia singgung. Ia menggarisbawahi orang-orang yang tiap bulannya jika dikalkulasi bisa mengeluarkan kisaran tiga ratus sampai lima ratus ribu, namun masih mengeluh kemahalan untuk membeli buku seharga lima puluh ribu. Padahal, pengeluaran itu hanya habis untuk ngopi, jajan, jalan-jalan, dan aktivitas yang menurutnya sayang sekali jika harus mengeluarkan banyak uang. “Mending ditabung atau dibelikan buku”, tandasnya.
Problem ini secara tidak langsung menggiring orang untuk membeli buku bajakan. Buku bajakan yang menjadi momok dan menghancurkan banyak penerbit. Karena menurunkan harga buku tanpa ada rasa bersalah dan pertimbangan lain yang harus dipenuhi. Memang tarifnya lebih murah, bisa hemat sampai 60% dari harga buku aslinya. Menyebalkan bukan?
Ia bercerita seperti itu sembari menggelengkan kepala. Mungkin itu tanda semacam tidak percaya dengan apa yang sudah ditemuinya. Dan saya rasa itu wajar. Perasaan yang muncul dari segelintir orang dengan kesadaran literasi, kemudian terkungkung dengan lingkungan yang menunjukkan wajah sebaliknya. Ya, tentu saja asa dengan gelimang khayal terciptanya masyarakat berbudaya literasi mengempis, kalau tidak mau dikatakan musnah.
Soal kedua, ia menggugat dengan tajam budaya fanatik. Budaya yang sampai hari ini banyak dikritik dengan argumen kitab suci dan rasio manusia. Namun kadang kala, kitab suci justru dijadikan legitimasi kemudian rasio mengamininya dengan argumen kesalehan.
Ia gerah dan gelisah dengan budaya semacam itu. Budaya yang menurutnya bisa mengkerdilkan pemikiran manusia, lebih-lebih generasi yang datang belakangan. Budaya itu bisa mengerikan jika diakumulasikan dengan kesadaran literasi yang tidak digalakkan. Kita boleh menebak arahnya akan jatuh pada kemapanan. Menurutnya, mapan itu belum tentu benar, dan saya mengiyakan tanpa ada sanggah. Budaya semacam ini secara tidak langsung juga membatasi manusia dalam berliterasi. Manusia mau membaca jika bukunya memuat pemikiran satu frekuensi, mau ikut diskusi jika seafiliasi, dan mau menulis jika ada nada kritik untuk menjatuhkan kelompok lain.
Ia memberikan prototipe soal dunia pendidikan yang dialaminya. Mulai dari pondok pesantren sampai ke universitas, ia dicekoki dengan buku yang wajib dibaca khatam. Membaca selain itu dianggap pelanggaran. Ia mempertanyakan kenapa bisa demikian? Bukankah dunia pendidikan ada untuk mencerdaskan? Padahal bisa jadi, di luar buku-buku yang telah disediakan, si murid bisa menemukan jawaban yang tidak tersedia di buku wajib. Jawaban yang diperoleh melalui dialektika panjang membaca ragam buku. Pikirannya bisa terbuka, sikapnya bisa melunak, dan menerima kebhinekaan.
Tiga poin terakhir ini secara tidak langsung punya kontribusi besar terhadap nalar kritis murid. Sudah barang tentu, murid kritis jika berada di tempat yang mengkultuskan fanatik, akan dicap sebagai pemberontak. Murid nakal, tidak bisa diatur, dan adabnya disangsikan. Padahal ia hanya mempertanyakan ulang kenapa bisa begini, dan kenapa bisa begitu. Lebih jauh lagi, si murid akan disebut sebagai pembangkang yang ngeyelan. Tidak mau mendengar dan menurut terhadap titah yang telah disampaikan. Padahal dalam dunia pendidikan, kritis itu sah-sah saja. Bukankah keberhasilan pendidikan itu ketika si murid bisa mengembangkan pemikiran gurunya? Dan indikasi mudah untuk melihat itu adalah melalui nalar kritisnya.
Saya agak kurang mufakat dengan konsep nalar kritis yang ia sampaikan. Bahwa nalar kritis berangkat dari diksi meragukan, itu iya. Ragu untuk mendapat jawaban baru. Ia berangkat dari pertanyaan, dan mempersangsikan setiap jawaban yang ada. Saya kira baiknya tidak seperti itu. Mungkin dari sekian jawaban yang tersedia, dipilih satu dua jawaban yang dirasa mendekati benar. Jawaban itu yang dipegang dan ditahan sampai mendapat jawaban baru yang lebih relevan.
Begitu ia ceritakan ihwal literasi di daerahnya sebagai kota ketiga: literasi yang berjalan dengan kembang kempis; literasi yang mungkin juga tidak masuk dalam serentetan penilaian statistik. Malah bisa jadi, angka-angka statistik yang selama ini digemborkan bahwa Indonesia berada di peringkat bawah dari sekian negara tidak menyentuh geliat literasi seperti ini. Begitu juga literasi di kota-kota lainnya. Demikian.
Category : kolom
SHARE THIS POST