Lawh Mahfuzh

slider
17 Oktober 2019
|
1021

Nabi Muhammad Saw yang merupakan insan kamil betul-betul cemerlang keseluruhan dari diri beliau. Kalau roh dan akalnya tak lain merupakan induk dari seluruh kitab suci yang diturunkan kepada kepada para nabi, para rasul, dan pada dirinya sendiri, maka hati beliau adalah lawh mahfuzh yang dengan seksama dan sempurna menampung catatan dan ketentuan segala sesuatu.

Menurut Syaikh ‘Abdul Karim al-Jili (767-805 H) dalam kitabnya, al-Insan al-Kamil fi Ma'rifah al-Awakhir wa al-Awail, yang disebut lawh mahfuzh itu adalah cahaya Ilahi yang samar tapi sekaligus mengejawantah pada segala yang ada, baik yang konkret maupun yang abstrak. Sama sekali tidak menunjuk pada sebuah ruang atau papan raksasa yang padanya tertulis secara gamblang ketentuan segala sesuatu.

Berarti dengan demikian dapat ditarik seutas konklusi bahwa tidak ada apa pun di dunia ini dan di akhirat nanti kecuali pada semua itu berpendar cahaya spiritual Sang Nabi Saw. Ini merupakan suatu keniscayaan. Sebab, tak mungkin ada sebutir debu pun yang tidak tercakup dan tidak diliputi oleh cahaya suci itu. Pengetahuan beliau, karena itu, dapat dipastikan merupakan “pengendali” yang tidak terbantahkan bagi segalanya, baik secara ijmali maupun tafshili, secara global dan terperinci.

Tidak ada satu pun ilmu pengetahuan di dunia ini dan di akhirat nanti kecuali hal itu merupakan hasil kulakan dari tambang ilmu pengetahuan beliau. Tentu saja kulakan ilmu pengetahuan itu ditempuh dengan cara yang berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain. Kebanyakan orang menempuh proses kulakan ilmu pengetahuan itu secara manual. Yaitu dengan menyelami berbagai macam persepsi agar sampai pada konsepsi. Atau secara langsung menerima “konsepsi” tentang sesuatu lewat orang lain.

Pasti tidak terlalu mudah untuk memahami bahwa seluruh ilmu pengetahuan di dunia ini merupakan cipratan dari telaga ilmu pengetahuan beliau. Apalagi dengan hanya menggunakan paradigma yang biasa dipakai oleh para saintis yang berkecimpung di tengah arus ilmu pengetahuan empirik. Pasti kesulitan. Seolah tidak ada penghubung sama sekali antara ilmu pengetahuan mereka dengan hamparan luas ilmu pengetahuan Nabi Muhammad Saw.

Untuk memahami beliau sebagai tambang dan asal-usul segala ilmu pengetahuan, bukan terutama membutuhkan ketekunan dalam melakukan investigasi, akan tetapi murni disyaratkan adanya keimanan terhadap Allah Ta”ala yang mewartakan dalam salah satu hadis kudsi-Nya, bahwa andaikan bukan karena berkehendak untuk menciptakan Nabi Muhammad Saw, maka Dia tidak akan turun tangan untuk menciptakan semua makhluk yang lain. Dengan kalimat lain bahwa seluruh makhluk yang ada itu sesungguhnya “berhutang jasa” kepada beliau.

Dan kalau penciptaan seluruh makhluk itu ditangguhkan pada tauladan paling terpuji tersebut, tentu beliaulah yang menjadi fokus perhatian-Nya, dan beliau pula yang menjadi tajalli-Nya yang paling utuh. Termasuk dalam perkara ilmu pengetahuan dan seluruh tajalli yang lain.

Barangsiapa semakin dekat kepada beliau, tentu semakin dekat pula kepada Allah Ta’ala. Juga akan semakin banyak pula mendapatkan curahan ilmu pengetahuan dari genangan asal-usulnya yang tersimpan rapi di keluasan batin Nabi Muhammad Saw. Salah seorang yang istimewa di hadapan Allah Ta”ala dan Rasul-Nya, Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili, dengan keyakinan tak terbantahkan pernah menyatakan pada suatu hari, “Andaikan diperbolehkan oleh syariat, aku bisa dengan gamblang dan detail menyebutkan seluruh peristiwa dari awal mula penciptaan sampai akhirnya orang-orang masuk surga dan neraka.”

Wallahu alamu bish-shawab.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Kuswaidi Syafiie

Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul. Pengampu Ngaji Ruba'iyat Rumi dan Tarjuman al-Asywaq Ibn Arabi Masjid Jendral Sudirman