Laku Hidup Seorang Pemimpin
Tak berapa lama lagi kita akan dihadapkan pada hajatan negeri yang dihelat lima tahun sekali, Pilpres 2019, 17 April mendatang. Orang-orang yang memiliki kepentingan kekuasaan akan berlomba-lomba mencitrakan dirinya atau jagoannya sebagai pilihan terbaik. Padahal di era yang serba maju dan sliwar-sliwer informasi ini, kita kerap kali kebingungan dan resah mana yang sejatinya baik atau cuma berpenampilan baik saja demi bisa jadi pemimpin. Kita sama setuju bahwa orang baik itu bukanlah yang saban hari ceramah atau ngomong kebaikan melulu dan kerap mondar-mandir naik mimbar. Tapi ialah yang menjadikan kebaikan sebagai laku kehidupan saban harinya. Untuk itu, penulis hendak mengkisahkan salah satu orang baik tersebut, namanya Umar bin Abdul Azis. Penulis tidak akan membahas konsep-konsep muluk dari Umar. Namun hanya mengisahkan perjalanan hidup Khalifah Umar yang menyimpan banyak filosofi dan bejibun pelajaran dalam tindakan dan pribadinya.
Beliau menjadi khalifah saat berumur 35 tahun. Masa menjabatnya sebagai khalifah hanya sekitar 2 tahun 9 bulan. Tak ada satu periode presiden negeri kita. Namun Umar sudah bisa membuat negerinya gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Bangsanya adil, makmur dan sejahtera. Ia wafat pada usia 38 tahun. Umar bin Abdul Azis sukses menjadi salah satu tokoh besar dalam kekhalifahan Islam.
Umar bukanlah anak putra mahkota yang berhak menjadi khalifah. Namun karena Khalifah Sulaiman bin Hakam yang mewasiatkan kepada sepupunya ini untuk melanjutkan jabatan sebagai khalifah. Umar bin Abdul Azis adalah cicit dari Umar bin Khathab. Khalifah Sulaiman bukan asal pilih atau bertindak memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Tapi karena sosok Umar. Umar sendiri sudah alim sejak kecil. Di masa dulu sudah hal biasa hafal Quran sejak kecil, seperti halnya Umar. Ia memiliki 33 guru langsung dari sahabat dan tabi’in. Hingga kini, membaca buku tentang hidup Umar yang kaya akan teladan seperti Nabi Muhammad Saw dengan sifat Quran berjalannya dan Umar dengan teladan kepemimpinannya.
Umar sungguh tidak mengira dengan wasiat yang menunjuk dirinya sebagai khalifah. Kebanyakan orang akan senang ketika ditunjuk sebagai pemimpin. Bahkan sejarah sebelumnya sampai terjadi bunuh-bunuhan demi menjadi khalifah. Namun Umar justru sedih, merasa sumpek dan tidak mau menjadi khalifah. Padahal semua rakyat saat itu bersuka cita dengan ditunjuknya Umar. Pidato pertamanya setelah tahu ia dipilih, yang intinya adalah, ia tidak pernah meminta dan berdoa kepada Allah untuk menjadi khalifah, menjadi raja, menjadi orang penting. Sementara itu juga wasiat dan penunjukkannya sebagai khalifah tidak ditanyakan dan dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan dirinya. Sedangkan kita di sekarang ini justru saling sikut, saling jegal, rebutan dan kampanye ke mana-mana agar dipilih jadi pemimpin. Sampai-sampai Umar meminta melepaskan penunjukan dirinya dan sebaiknya dilakukan pemilihan ulang.
Namun rakyat kadung suka cita dan Umar tetap menjadi khalifah. Umar sampai menangis menderu hingga istrinya bingung bagaimana dapat menghiburnya. “Alangkah besarnya ujian Allah padaku” begitu ucap Umar. Ia menerima jabatan sebagai khalifah dengan menangis, bukannya sujud syukur lho, ya. Karena ini adalah amanah, bebannya dobel, kepalang tanggungjawabnya besar. Dari sini kita dapat mengambil idealnya seorang pemimpin adalah yang tidak berambisi menjadi pemimpin. Tidak perlu juga mencalonkan diri. Tidak perlu mengobral janji dan kebaikan-kebaikan. Menjadi pemimpin bukanlah tujuan utama. Jika Allah menghendaki, dan masyarakat sekitar tahu kualitas dirinya, Allah sendiri yang akan meninggikan derajatnya.
Kemudian, apa yang dilakukan Umar setelah menjadi khalifah? Ia langsung sowan menemui ulama besar Hasan Basri. Ia mendatanginya langsung. Bukannya terbalik, bukan Hasan Basri yang diundang ke istana. Umar diberi nasihat untuk menjadi pemimpin yang adil, yang bisa momong rakyat. Mampu menampung, menerima, mengarahkan, mengatur dan merawat yang dipimpin. Pelajaran pada titik ini, posisi seorang ulama jangan ditinggal. Harus selalu didengar nasihat-nasihatnya. Kadang-kadang kita hari ini kebolak-balik. Sejak zaman dahulu, raja-rajalah yang mendatangi sufi-ulama, karena sufi-ulama tidak mau datang ke istana. Jabatan jangan dicari, jika sudah dapat, minta nasihat pada ahlinya.
Setidaknya ada lima karakter Umar sebagai khalifah. Pertama, takut kepada Allah. Pemimpin yang takut hanya pada Allah adalah pemimpin yang kuat. Ia tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh, rusak dan menyengsarakan rakyat. Namun jika pemimpin takut dengan embargo negara lain, khawatir pendapatan negara menurun, takut dengan koalisi partai yang menyokong, ia akan menjadi pemimpin yang lemah. Sebagaimana yang diteladankan Umar, pagi melayani rakyat, malam berduaan selalu bermunajat bersama Allah. Umar mudah sekali menangis, ciri pribadi yang hatinya lembut. Pemimpin seperti ini, dunia tidak bikin ia menjadi gentar.
Kedua, wira’i yaitu kondisi jiwa yang hati-hati, jauh dari sesuatu yang makruh dan subhat, tak hanya menjauhi yang haram saja. Umar ketika menjadi khalifah, semua hartanya diserahkan ke negara. Hingga anaknya sendiri protes. Di masa Umar, keluarga raja justru hidup tidak bergelimang harta dan terjamin segala fasilitas. Salah satu kisah masyhur tentang kewira’ian Umar tentang penggunaan lampu. Jika urusan negara ia akan menggunakan lampu negara, jika urusan pribadi, ia akan mengganti lampu yang digunakan itu dengan lampu pribadi, padahal masih di ruangan yang sama. Gegara sifat ini pula pernah suatu ketika anaknya kembali memprotes Umar dengan mengatakan bahwa teman-temannya makan lebih enak dibanding dirinya yang notabene anak raja. Lalu Umar mengatakan, “Anakku, apa kamu senang makan enak tapi bapakmu masuk neraka?”
Ketiga, sederhana. Umar sebelum menjadi khalifah hidupnya justru mewah. Sebelum menjabat khalifah, kekayaannya mencapai 40 ribu dinar. Setelah meninggal hartanya hanya 400 dinar, malah mungkin kurang dari jumlah terakhir tersebut. Suatu ketika Umar sakit. Ia dijenguk oleh para pejabat. Mereka menanyakan kepada istri Umar, kenapa pakaian yang dikenakan khalifah terlihat sangat sederhana begitu? Pakaian yang dikenakan Umar memang hanya itu-itu saja. Tidak ada pakaian khusus untuk acara tertentu atau kondisi tertentu, semuanya sama, sekalipun seorang khalifah. Kita mungkin tidak bisa membayangkan memiliki baju yang itu-itu saja. Justru kita malah sering gonta-ganti pakaian disesuaikan dengan acara yang hendak didatangi. Kadang sampai pusing mikir harus berpakai apa untuk sekedar kondangan, tapi waktu salat memakai baju itu-itu juga. Para pejabat yang menjenguk Umar tadi hanya disuguhi kacang. Ya, hanya kacang. Karena itulah yang selalu dimakan Umar. Hal-hal sederhana inilah yang membuat rakyat jadi mantap dan percaya terhadap apa yang Umar perintahkan.
Keempat, bersifat sama; sederajat. Di masa sebelum Umar, kaum Mawali (orang Islam non-Arab) diharuskan membayar pajak lebih. Umar kemudian menghapuskan dan menyamakan hak-haknya dengan orang Islam Arab. Umar juga dekat dengan para pembantunya dan memperlakukannya dengan sangat manusiawi. Suatu ketika hawa sangatlah panas. Umar kemudian dikipasi oleh pembantunya itu, hingga Umar terlelap dan juga lama-kelamaan pembantunya itu juga ikut terlelap. Saat Umar bangun lebih dahulu, ia gantian mengipasi pembantunya itu. Pembantunya bangun dan dia sangat sungkan serta meminta maaf kepada Umar. Namun Umar tetap melakukan hal yang sama. Bagi Umar hal tersebut bukanlah perbuatan yang tak sepantasnya.
Kelima, tawaduk. Sikap rendah hati, tidak ingin menjadi terkenal dan tidak ingin menonjolkan diri mencari perhatian. Umar sangat jauh dari sikap sombong, bangga diri atau pamer. Pernah suatu saat Umar khutbah Idul Fitri. Umar ahli pidato, apa yang disampaikannya membuat jamaah terharu dan menangis. Mengetahui apa yang terjadi dengan jamaahnya, sontak Umar menghentikan khutbah sekalipun belum semua ia sampaikan. Ada pejabat yang keberatan kenapa khutbah yang bagus itu dihentikan begitu saja. Apa jawabnya Umar? Ia tidak suka disanjung, dibanggakan, nanti pasti ada yang memuji, “Wah, khalifah Umar khutbahnya bagus banget.” Barangkali kalau di era sekarang khutbah Umar sudah viral di media sosial.
Kisah lain, saking cintanya rakyat kepada Umar, mereka hendak memakamkan Umar disamping makam Nabi Muhammad Saw ketika wafat. “Demi Allah, menghadap Allah dengan segala dosaku selain kemusyrikan lebih aku sukai daripada menganggap diriku layak mendapat penghormatan seperti itu!” Lalu, bagaimana dengan kita saat ada orang menyanjung? Hati meninggi bukan. Duh, Umar. Seolah sosok Umar ini berada di negeri dongeng!
*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-25 Jumat, 29 Maret 2019/22 Rajab 1440 H
Category : buletin
SHARE THIS POST