Kritik Ekofeminisme dalam Pembangunan Dunia Ketiga
Sejak Perang Dunia Kedua berakhir, banyak daerah jajahan meraih kemerdekaan dan bergabung dengan sistem perekonomian dunia yang saat itu dominan: kapitalisme atau sosialisme.
Namun, setelah Uni Soviet runtuh pada awal 1990-an, sistem ekonomi dominan sudah dapat dipastikan berada di tampuk negara-negara dunia pertama yang menganut sistem kapitalisme dengan pasar bebas sebagai andalannya. Sementara itu, sistem sosialisme seolah tak lagi menemukan jalan dan bahkan jalan di tempat dengan birokratisasi yang rumit.
Oleh karena itu, kapitalisme dengan pasar bebasnya menawarkan konsep pembangunan yang bertumpu pada industrialisasi sebagai indikator pertumbuhan ekonomi. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai proses modernisasi, baik secara struktural maupun kultural.
Bagi negara yang menganut kapitalisme sebagai jalan ekonominya, industrialisasi dianggap sebagai jalan mengatasi kemiskinan. Negara-negara Barat maju dan kaya menawarkan bantuan pembangunan dalam bentuk suntikan modal yang bertujuan mendorong perekonomian untuk mencapai titik pertumbuhan ekonomi.
Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi jargon penting yang mendominasi kebijakan-kebijakan lembaga keuangan internasional, bahkan benar-benar mengendalikan setiap segi tata kelola perekonomian dan perpolitikan. Kinerja PDB pun telah menjadi prioritas nomor satu di hampir seluruh negara di dunia. PDB sendiri merupakan indikator dari kepentingan berbasis sistem kapitalisme (Fioramonti,2019).
Tentu saja, munculnya Amerika Serikat sebagai negara yang menghegemoni sangat memungkinkan bagi mereka untuk mengekspor desain sistem yang sejalan dengan kepentingan mereka (Robinson,1996).
Oleh sebab itu, model pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi ala Barat pun diadopsi oleh negara-negara Dunia Ketiga.
Akan tetapi, mengadopsi sistem yang mengacu pada sistem pertumbuhan tersebut bukan tanpa risiko. Salah satu dampak dari model tersebut adalah disparitas yang semakin timpang.
Hal tersebut sebagaimana yang terjadi di India, alih-alih meningkatkan kesejahteraan, model pembangunan yang diadopsi dari negara-negara Barat tersebut justru menguntungkan segelintir minoritas elite perkotaan. Dan masalah kemiskinan secara umumnya, terutama yang terjadi pada masyarakat perdesaan tetap tidak teratasi (Mosse,2007).
Selain itu, model pembangunan sejenis juga pernah diterapkan di Indonesia pada masa Orde Baru, yang kemudian nyatanya mengalami kegagalan dan menyebabkan Indonesia mengalami krisis besar-besaran pada 1997-1998.
Salah satu model pembangunan yang dipilih oleh Orde Baru di latar belakangi oleh lingkungan internasional melalui slogan program-program penyesuaian struktural, para pejabat pemerintah Indonesia mengalami pendiktean secara halus konsep pembangunan oleh lembaga seperti Bank Dunia dan IMF.
Tentu saja, dampak dari model pembangunan yang dipilih oleh Orde Baru tersebut masih terasa sampai era reformasi ini (Chaniago, 2012).
Dampak buruk lainnya yang juga tidak kalah penting, yakni memicu kerusakan ekologis seperti persoalan perubahan iklim (Abdoellah,2020).
Tidak mengherankan, model pembangunan negara Barat yang berusaha diterapkan kepada Dunia Ketiga ini kemudian menuai banyak kritik, salah satunya dari kalangan ekofeminis. Ekofeminisme sendiri merupakan aliran dalam feminisme yang mengafirmasi semangat ekologis (Abdoellah dan Mulyanto,2019).
Ekofeminisme: Suara Kritis Perempuan Dunia Ketiga
Awumbila dan Momsen (1995) mengatakan bahwa para feminis merumuskan teori ekofeminisme pada saat gerakan ekologis populer. Oleh karena itu, meskipun etika ekologis merupakan perhatian utamanya, ekofeminisme pertama-tama adalah gerakan feminisme.
Rentang gagasan yang tercakup dalam paradigma ini amat beragam dari upaya akademis hingga yang mengusulkan daya pemeliharaan spiritual bawaan perempuan atas alam. Tidak sedikit penulis yang mengingatkan bahwa beberapa isu kerusakan lingkungan punya dampak yang merugikan terhadap perempuan, khususnya ketika perempuan terikat pada pencarian nafkah dan pengelolaan rumah tangga.
Masalah tersebut contohnya adalah pembangunan pangan berkelanjutan, deforestasi, desertifikasi, akses air aman, banjir, perubahan iklim, akses ke lahan subur, polusi, pembuangan limbah beracun, pengelolaan lingkungan bertanggung jawab dan pabrik, dan lenyapnya keragaman hayati (Abdoellah dan Mulyanto,2019).
Sebagai pengelola rumah tangga, perempuan yang pertama-tama menderita ketika akses penghidupan berkelanjutan tak seimbang. Kasus ini antara lain ketika air menjadi langka, sumber pangan mengering, pohon langka, tanah tak lagi subur, dan kerja lebih keras untuk menjamin keberlangsungan hidup keluarga.
Ditemukan bahwa ketika krisis ekonomi melanda, perempuanlah yang pundaknya menanggung beban dan mereka menjadi pihak pertama yang harus memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, dan pendidikan anak-anak (Abdoellah dan Mulyanto,2019).
Salah satu teoretisi terkemuka ekofeminisme, Vandana Shiva, pemikir ekofeminisme dari India, dikenal begitu kritis terhadap model pembangunan Barat yang diterapkan kepada Dunia Ketiga.
Dapat dikatakan bahwa ekofeminisme yang diwakili oleh Shiva ini merupakan bentuk suara kritis yang datang dari seorang perempuan Dunia Ketiga.
Bagi Shiva, pembangunan yang berwatak mementingkan kelompok tertentu dan merampas hak kelompok lain akan memperkokoh dan memperdalam proses kolonial yang merusak ekologi dan proses susutnya kendali politik atas sumber daya alam. Pertumbuhan ekonomi menjadi kolonialisme baru yang merampas sumber daya dari mereka yang paling memerlukannya.
Bedanya dengan kolonialisme dulu yang dilakukan oleh kekuasaan kolonial yakni saat ini, kelompok elite nasional yang merancang eksploitasi memiliki dalih kepentingan nasional sekaligus untuk meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Eksploitasi tersebut diwujudkan dengan menggunakan berbagai teknologi untuk melakukan penggusuran dan pengrusakan (Shiva,1997).
Shiva menyoroti bagaimana perempuan digusur dari kegiatan produktifnya oleh pembangunan yang makin meluas. Proyek-proyek pembangunan menyita dan merusak sumber daya yang menjadi landasan bagi produksi pangan guna untuk kelangsungan hidup.
Pembangunan menghancurkan produktivitas perempuan karena merebut pengelolaan dan pengendalian lahan dan sumber daya dari tangan kaum perempuan.
Hal tersebut menurunkan produktivitas dan daya alam untuk memulihkan diri. Meski penindasan gender dan patriarki merupakan bentuk penindasan tertua, tetapi keduanya muncul dalam bentuk-bentuk baru yang lebih rakus, yaitu melalui proyek pembangunan.
Dalam kategori patriarki, proses eksploitasi alam yang merusak disebut dengan produksi. Sementara pemulihan atas lingkungan hidup dianggap sebagai krisis kelangsungan hidup. Fragmentasi dan keseragaman yang dianggap kategori kemajuan dan pembangunan tersebut, akhirnya merusak kekuatan alam yang timbul dari hubungan di dalam jaring kehidupan dan keanekaragaman yang dimilikinya (Shiva,1997).
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulan bahwa apa yang disebut sebagai pembangunan memiliki keberkaitan dengan isu gender. Setiap pembangunan yang diterapkan punya implikasi erat dalam proses marginalisasi kelompok tertentu, dalam konteks ini perempuan.
Selain itu, dalih pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui angka-angka PDB, bukan menjadi jaminan terwujudnya kesejahteraan, melainkan menjadi jalan maraknya kerusakan ekologis.
Daftar Pustaka
Abdoellah, Oekan. S. (2020). Dari Ekologi Manusia ke Ekologi Politik. Jakarta: Gramedia.
Abdoellah, Oekan. S dan Dede Mulyanto. (2019). Isu-isu Pembangunan: Pengantar Teoretis. Jakarta: Gramedia.
Chaniago, Andrinof. (2012). Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Fioramonti, Lorenzo. (2019). Problem Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi. (Terj.Lita Soerjadinata)
Moses, Julia. C. (2007). Gender dan Pembangunan. (Terj.Hartian Silawati). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robinson, Wiliam. I. (1996). Promothing Polyarchy: Globalization, U.S. Intervevention, and Hegemony. Cambridge: Cambridge University Press.
Shiva, Vandana. (1997). Bebas dari Pembangunan. (Terj. Hira Jhamtani). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST